Jumat, April 17, 2009

Makalah Manajemen Pendidikan Islam

KONSEP DASAR ORGANISASI
(Kajian Manajemen Pendidikan Islam)
Oleh: Muhammad Kosim

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial (al-insānu madaniyyun bi at- thab’i atau zoon politicon). Karenanya, setiap manusia akan saling memerlukan dalam memenuhi kebutuhannya. Antara sesama manusia juga dituntut untuk saling bekerja sama, saling menghargai dan menghormati untuk mempertahankan hidupnya di muka bumi ini.

Adanya alasan sosial (social reasons) di atas menjadi salah satu pendorong bagi manusia untuk membentuk suatu perkumpulan yang biasa disebut "organisasi". Organisasi ini amat dibutuhkan untuk mewujudkan setiap cita-cita yang disepakati oleh anggota organisasi secara bersama. Oleh karena itu, organisasi tumbuh dan berkembang begitu pesat di tengah-tengah masyarakat. Organisasi itu juga dibentuk dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pemerintahan, perusahaan, politik, hukum, ekonomi, dan termasuk bidang pendidikan.

Dalam perkembangannya, organisasi telah menjadi disiplin ilmu tersendiri seiring dengan berkembangnya pemikiran dan pengetahuan manusia. Teori-teori organisasi yang terbangun dalam kajiannya sebagai suatu disiplin ilmu tertentu, selanjutnya akan dibutuhkan oleh masyarakat dalam membentuk suatu organisasi sesuai dengan bidang yang diinginkan. Demikian halnya di bidang pendidikan Islam, teori-teori organisasi turut dibutuhkan untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang lebih profesional dan berkualitas.
Makalah yang sederhana ini akan mencoba menguraikan konsep-konsep organisasi. Adapun persoalan-persoalan yang akan diuraikan di bawah ini akan berusaha untuk menjawab beberapa hal, yaitu:
1. Bagaimanakah pengertian organisasi dan perbedaannya dengan pengorganisasian?
2. Bagaimanakah sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi?
3. Bagaimanakah prinsip-prinsip, fungsi, dan urgensi organisasi?
4. Bagaimanakah bentuk-bentuk organisasi?
5. Bagaimana pula organisasi dalam lembaga pendidikan Islam?

Untuk menjawab lima pertanyaan di atas, penulis akan menguraikan beberapa teori organisasi lalu mencoba menganalisisnya dengan kacamata pendidikan Islam. Karena keterbatasan kemampuan dan referensi yang digunakan, khususnya yang berkenaan dengan konsep pendidikan Islam tentang organisasi, maka dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari forum diskusi ini.

B. Pengertian Organisasi dan Pengorganisasian
Organisasi (organization) dan pengorganisasion (organizing) memiliki hubungan yang erat dengan manajemen. Organisasi merupakan alat dan wadah atau tempat manejer melakukan kegiatan-kegiatannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara Pengorganisasian merupakan salah satu fungsi organik dari manajemen dan ditempatkan sebagai fungsi kedua setelah perencanaan (planning). Dengan demikian, antara organisasi dan pengorganisasian memiliki pengertian yang berbeda.

James L. Gibson c.s., sebagaimana yang dikutip oleh Winardi, berpendapat bahwa:
"...organisasi-organisasi merupakan entitas-entitas yang memungkinkan masyarakat mencapai hasil-hasil tertentu, yang tidak mungkin dilaksanakan oleh individu-individu yang bertidak secara sendiri"

Organisasi-organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang pada dasarnya menginginkan terwujudnya suatu hasil atau tujuan tertentu. Tujuan yang diinginkan tersebut tidak dapat diperoleh secara individu tetapi perlu dilakukan upaya secara bersama dan terpadu.
Stephen R. Robbins memberikan rumusan pengertian organisasi sebagai berikut:
"... An organization is a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals".

Entitas sosial yang dikemukakan dalam definisi di atas berarti bahwa kesatuan tersebut terdiri dari orang-orang atau kelompok orang yang saling berinteraksi. Pola-pola interaksi yang diikuti orang-orang di dalam suatu organisasi tidak muncul begitu saja, akan tetapi mereka dipertimbangkan sebelumnya. Mengingat bahwa organisasi-organisasi merupakan entitas-entitas sosial, maka pola-pola interaksi para anggotanya perlu dipertimbangkan pula serta diharmonisasi guna tercapainya tujuan yang diinginkan.

Prajudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa organisasi adalah struktur tata pembagian kerja dan struktur hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.

Barnad, seperti yang dikutip Asnawir, organisasi adalah suatu sistem mengenai usaha kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa organisasi adalah tempat atau wadah berkumpulnya beberapa orang yang secara sadar berinteraksi dan saling bekerja sama untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati bersama. Meskipun terdapat perbedaan definisi tentang organisasi, akan tetapi secara umum organisasi itu memiliki ciri-ciri yang sama. Edgar H. Schein, seorang psikolog keorganisasian terkemuka berpendapat bahwa semua organisasi memiliki empat macam ciri atau karakteristik sebagai berikut.

1. Koordinasi Upaya; Para individu yang bekerja sama dan mengkoordinasi upaya mental atau fisikal mereka dapat mencapai banyak hal yang hebat dan yang menakjubkan.
2. Tujuan Umum Bersama; Koordinasi upaya tidak mungkin terjadi, kecuali apabila pihak yang telah bersatu, mencapai persetujuan untuk berupaya mencapai sesuatu yang merupakan kepentingan bersama. Sebuah tujuan umum bersama memberikan anggota organisasi sebuah rangsangan untuk bertindak.
3. Pembagian Kerja; Dengan jalan membagi-bagi tugas-tugas kompleks menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terspesialisasi, maka sesuatu organisasi dapat memanfaatkan sumber-sumber daya manusianya secara efisien. Pembagian kerja memungkinkan para anggota organisasi-organisasi menjadi lebih terampil dan mampu karena tugas-tugas terspesia¬lisasi dilaksanakan berulang-ulang.
4. Hierarki Otoritas; Para teoretisi organisasi telah merumuskan otoritas sebagai hak untuk mengarahkan dan memimpin kegiatan-kegiatam pihak lain. Tanpa hierarki otoritas yang jelas, koordinasi upaya akam mengalami kesulitan, bahkan kadang-kadang tidak mungkin diilaksanakan. Akuntabilitas juga dibantu apabila orang-orang be kerja dalam rantai komando ((he chain of command).

Lebih lanjut, Malayu S.P. Hasibuan menyimpulkan bahwa aspek-aspek penting dari berbagai definisi organisasi adalah:
1. adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai;
2. adanya sistem kerja sama yang terstruktur dari sekelompok orang;
3. adanya pembagian kerja dan hubungan kerja antara sesama karya wan;
4. adanya penetapan dan pengelompokan pekerjaan yang terintegrasi;
5. adanya keterikatan formal dan tata tertib yang harus ditaati;
6. adanya pendelegasian wewenang dan koordinasi tugas-tugas;
7. adanya unsur-unsur dan alat-alat organisasi;
8. adanya penempatan orang-orang yang akan melakukan pekerjaan.

Untuk lebih memahami hakikat organisasi, perlu diketahui pula unsur-unsurnya, yaitu:
1. Manusia (human factor), artinya organisasi baru ada jika ada unsur manusia yang bekerja sama, ada pemimpin dan ada yang dipimpin (bawahan).
2. Tempat Kedudukan, artinya organisasi baru ada, jika ada tempat kedudukannya.
3. Tujuan, artinya organisasi baru ada jika ada tujuan yang ingin dicapai.
4. Pekerjaan, artinya organisasi baru ada, jika ada pekerjaan yang akan dikerjakan serta adanya pembagian pekerjaan.
5. Struktur, artinya organisasi baru ada, jika ada hubungan dan kerja sama antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
6. Teknologi, artinya organisasi baru ada, jika terdapat unsur teknis.
7. Lingkungan (Environment External Social System), artinya organi¬sasi baru ada, jika ada lingkungan yang saling mempengaruhi mi-salnya ada sistem kerja sama sosial.

Adapun pengorganisasian, juga didefinisikan oleh para pakarnya. Asnawir mengemukakan bahwa istitah "organizing mempunyai arti yaitu berusaha untuk menciptakan suatu struktur dan bagian untuk dapat berinteraksi dan saling pengaruh-mempengaruhi antara satu sama lainnya. Pengorganisasian tersebut juga dapat diartikan sebagai penyusunan tugas dan tanggung jawab para personil dalam organisasi.

George R. Terry, seperti yang dikutip Malayu S.P. Hasibuan, menuliskan: Organizing is the establishing of effective behavioral relationships among persons so that they may work together efficiently and gain personal satisfaction in doing selected tasks under given environmental conditions for the purpose of achieving some goal or objective.

Dari dua definisi di atas jelaslah bahwa pengorganisasian merupakan salah satu fungsi manajemen setelah fungsi perencanaan sehingga masing-masing anggota organisasi mendapat tugas dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Kemudian, proses pengorganisasian juga mencakup kegiatan-kegiatan berikut:
1. Pembagian kerja yang harus dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok tertentu.
2. Pernbagian aktivitas menurut level kekuasaan dan tanggungjawab.
3. Pengelompokan tugas menurut tipe dan jenisnya.
4. Penggunaan mekanisme koordinasi kegiatan individu /kelompok.
5. Pengaturan hubungan kerja antara anggota organisasi.

Adapun langkah-langkah pengorganisasian dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Tujuan, manajer harus mengetahui tujuan organisasi yang ingin dicapai; apa profit motive atau service motive.
2. Penentuan kegiatan-kegiatan, artinya manajer harus mengetahui, merumuskan dan mengspesifikasikan kegiatan-kegiatan yang diper¬lukan untuk mencapai tujuan organisasi dan menyusun daftar kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.
3. Pengelompokan kegiatan-kegiatan, artinya manajer harus mengelompokkan kegiatan-kegiatan ke dalam beberapa kelompok atas dasar tujuan yang sama; kegiatan-kegiatan yang bersamaan dan berkaitan erat disatukan ke dalam satu departemen atau satu bagian.
4. Pendelegasian wewenang, artinya manajer harus menetapkan besarnya wewenang yang akan didelegasikan kepada setiap departemen.
5. Rentang kendali, artinya manajer harus menetapkan jumlah karya¬wan pada setiap departemen atau bagian.
6. Perincian peranan perorangan, artinya manajer harus menetapkan dengan jelas tugas-tugas setiap individu karyawan, supaya tumpang-tindih tugas terhindarkan.
7. Tipe organisasi, artinya manajer harus menetapkan tipe organisasi apa yang akan dipakai, apakah "line organization, line and staff organization ataukah function organization".
8. Struktur organisasi (organization chart = bagan organisasi), artinya manajer harus menetapkan struktur organisasi yang bagaimana yang akan dipergunakan, apa struktur organisasi "segitiga vertikal, segitiga horizontal, berbentuk lingkaran, berbentuk setengah lingkaran, berbentuk kerucut vertikal/horizontal ataukah berbentuk oval".

Jika proses pengorganisasian dalam suatu organisasi di atas dilakukan dengan baik dan berdasarkan ilmiah, maka organisasi yang disusun akan baik, efektif, efisien dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam mencapai tujuannya.

Dengan demikian, antara organisasi (organization) dengan pengorganisasian (organizing) memiliki hubungan yang sangat erat. Pengorganisasian yang baik akan menghasilkan organisasi yang baik pula. Pengorganisasian diproses oleh organisator (manajer) sehingga pengorganisasian itu bersifat dinamis dan hasilnya adalah organisasi yang bersifat statis.

Akan tetapi, hakikat organisasi juga bisa dipandang sebagai statis dan dinamis. Statis bila organisasi sebagai wadah, tempat kegiatan administrasi dan manajemen. Sedangkan dinamis ketika organisasi sebagai suatu proses, interaksi hubungan, formal (nampak di bagan organisasi) dan informal (tidak diatur, tidak nampak dalam struktur). Hubungan informal timbul, karena hubungan pribadi, kesamaan kepentingan, dan kesamaan interest dengan kegiatan di luar.

Berangkat dari pengertian di atas maka dalam perkembangannya dan karena tuntutan globalisasi muncul berbagai hal berkenaan dengan pengorganisasian, seperti struktur organisasi yaitu pola formal bagaimana orang dan pekerja dikelompokkan dalam suatu organisasi yang biasa digambarkan dengan bagan organisasi. Perilaku organisasi, yang ditekankan pada perilaku manusia dalam kelompok, iklim organisasi yaitu serangkaian sifat lingkungan kerja, kultur organisasi yaitu sistem yang dapat menembus nilai-nilai, kepercayaan dan norma-norma di setiap organisasi, desain organisasi yaitu struktur organisasi spesifik yang dihasilkan dari keputusan dan tindakan manajer, pengembangan organisasi, politik organisasi, proses organisasi yaitu aktivitas yang member! nafas pada kehidupan struktur organisasi, dan profil organisasi yaitu suatu diagram yang menunjukkan respons anggota organisasi.

Berkaitan dengan pengertian organisasi, dalam Alquran dicontohkan beberapa surat yang berkaitan dengan organisasi, sebagaimana Firman Allah SWT yang berkaitan dengan:
a. perlunya persatuan, dalam surat: 2:43, 4:71, 37:1,
b. perlunya berbangsa-bangsa, dalam surat: 5:48, 22:34,67, 49:13
c. perlunya bersatu dan mengikuti jalan yang lurus, dalam surat: 30:31,32, 2:103,105, 6:59, 8:46 dan
d. perlunya saling tolong-menolong dan kerja sama, dalam surat: 5:2, 8:74, 9:71.
Jadi, organisasi ada karena untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini merupakan tujuan organisasi.

Demikian pula dalam pendidikan Islam, organisasi juga dibutuhkan. Organisasi pendidikan Islam dapat dipahami sebagai wadah berkumpulnya beberapa orang yang saling bekerja sama dan beriteraksi dalam menerapkan dan mewujudkan tujuan pendidikan Islam dengan tetap berlandaskan kepada nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

C. Sejarah Perkembangan Organisasi
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa manusia adalah makhluk sosial. Hal ini turut mendorong manusia membentuk organisasi untuk mewujudkan cita-citanya. Karena itu, organisasi muncul ketika manusia itu berkumpul dua orang atau lebih.

Bahkan, sebelum manusia terlahir ke muka bumi ini, benih-benih organisasi juga telah tersirat sejak awal proses penciptaan manusia di alam rahim. Seperti yang dijelaskan oleh ilmu kedokteran, sel sperma seorang laki-laki dikatakan normal apabila berjumlah minimal 20 juta sel sperma. Padahal, hanya satu sel yang dibutuhkan untuk melakukan pembuahan dengan sel telur milik sang istri. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa manusia memang ditakdirkan untuk berorganisasi dalam mencapai tujuan.

Demikian pula kisah nabi Adam as sebagai manusia pertama yang diungkap dalam al-Qur'an, ia juga membentuk kelurga bersama istrinya Hawa. Ketika mereka memiliki anak, maka anak-anak tersebut mereka dididik dan diorganisir sedemikian rupa dengan pekerjaan yang berbeda sesuai dengan bakat dan minat mereka. Seperti Qabil bekerja sebagai petani, sedangkan Habil sebagai peternak. Hal ini terungkap dalam firman Allah SWT:

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (Qs. al-Maidah/5: 27)

Sepanjang sejarah perkembangan manusia, juga ditemukan bukti-bukti bahwa organisasi itu telah muncul di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan orang-orang Yunani, kerajaan-kerajaan yang telah dibangun pada masa Romawi juga menunjukkan bahwa mereka telah membentuk dan membangun organisasi yang baik.

Dengan demikian, manusia dan organisasi serta aktivitasnya telah berlangsung lama sejak ribuan tahun silam, tapi yang dibutuhkan dan perlu untuk diketahui adalah akar perkembangan organisasi pada abad ke-18 dan ke-19, yaitu:

1. Masa Praktik Awal
Ada tiga nama penting yang mempunyai pengaruh besar dalam menentukan arah dan batasan dari perilaku organisasi, mereka itu adalah Adam Smith, Charles Babbage, dan Robert Owen.

a. Adam Smith, 1776; Adam Smith telah memberikan kontribusi yang sangat penting dengan doktrin ekonominya, yaitu spesialisasi bidang kerja atau pembagian tugas dengan berbagai argumentasi yang sangat dalam. Adam Smith memberikan contoh pembagian tugas dengan spesialisasi bidang kerja tertentu dalam pabrik pembuatan peniti. Ada sepuluh orang pekerja dalam pabrik tersebut, setiap orang mempunyai tugas tertentu dengan mengerjakan suatu bagian kerja tertentu. Sepuluh orang pekerja tersebut dapat membuat 48.000 buah peniti tiap harinya. Selanjutnya, jika setiap pekerja mengambil kawat sendiri-sendiri kemudian meluruskannya, membuatkan ujung batangnya, hasilnya setiap pekerja mampu membuat satu peniti dalam satu hari. Kalau ada sepuluh pekerja maka dapat membuat sepuluh peniti setiap hari. Dan spesialisasi bidang pekerjaan tertentu pada masa sekarang ini sudah barang tentu termotivasi oleh keuntungan yang berlipat ganda dari doktrin Adam Smith pada 2 abad silam.

b. Charles Babbage, 1832; Charles Babbage adalah seorang profesor matematika dari Inggris yang telah mengembangkan sistem pembagian tugas yang telah diartikulasikan pertama kali oleh Adam Smith. Babbage menambahkan beberapa keuntungan dengan sistem pembagian tugas, yang telah dikemukakan oleh Adam Smith. Selain keterampilan, menghemat waktu yang terkadang sering disia-siakan terbuang ketika penggantian tugas satu ke tugas yang lain.

Keuntungan tersebut yaitu:
a) Mempersingkat waktu yang diperlukan untuk belajar suatu pekerjaan.
b) Menghemat pemborosan material yang diperlukan dalam pelajaran pada tiap tingkatan.
c) Memungkinkan untuk menghasilkan tingkat keteram¬pilan yang tinggi.
d) Memungkinkan kemampuan untuk membandingkan keterampilan seseorang dan bakat fisik dengan tugas-tugas tertentu.

c. Robert Owen, 1825; Robert Owen adalah orang periling dan berjasa dalam sejarah perilaku organisasi karena ia adalah seorang industrialis pertama yang mengingatkan bagaimana sistem pabrik yang sedang tumbuh dan berkembang telah merendahkan para pekerja. Ia menolak praktik-praktik kekerasan yang ia lihat di pabrik-pabrik, seperti anak yang bekerja di bawah umur 10 tahun, 13 jam kerja tiap hari dengan kondisi kerja yang menyedihkan. Owen menjadi seorang reformer, ia mencek para pemilik pabrik yang memperlakukan peralatan lebih baik dibandingkan dengan para karyawannya, ia mengkritik mereka yang membeli mesin dengan harga mahal sementara membayar para pekerja yang menjalankan mesin tersebut dengan harga sangat murah. Owen mengatakan bahwa mempergunakan uang untuk meningkatkan para pekerja merupakan salah satu investasi terbaik yang menjadi pilihan para eksekutif bisnis, ia mengklaim bahwa memperlihatkan concern kepada para karyawan akan sangat menguntungkan untuk manajemen dan membebaskan kesengsaraan manusia. Untuk ukuran zaman Owen ia tentu sangat idealis tapi seratus tahun setelah tahun 1825 ditetapkan jam kerja untuk semua, undang-undang perburuhan anak, pendidikan untuk umum, perusahaan memberikan makan pada waktu kerja.

2. Masa Klasik
Masa Klasik meliputi tahun 1900-1930. Selama periode ini, untuk pertama kali teori-teori manajemen secara umum mulai dikembangkan, pada masa ini yang banyak kontribusi dalam perilaku organisasi, mereka itu adalah Frederick W. Taylor, Henry Fayol, Max Weber, Mary Panther Follet, dan Chester Bernard telah meletakkan dasar praktik-praktik manajemen sekarang.

Manajemen secara Ilmiah
a. Frederick W Taylor; Frederick W Taylor menggambarkan prinsip-prinsip manajemen secara ilmiah menampilkan tiga bab sebagai tujuan dari gerakannya:
a) Untuk menegaskan bahwa Amerika Serikat telah dirugi-kan karena tidak adanya efisiensi.
b) Maka solusi terletak pada manajemen yang sistematis bukan pada usaha mencari orang yang istimewa.
c) Untuk membuktikan bahwa manajemen yang baik ada¬lah suatu ilmu yang tepat yang berdasarkan pada hukum-hukum yang jelas, aturan-aturan, dan prinsip-prinsip. Awal penggunaan manajemen yang ilmiah membuahkan hasil yang gemilang. Perusahaan motor Ford berusaha melaksanakan prinsip-prinsip manajemen ilmiah di tahun 1908 dan berhasil merakit suatu mobil hanya dalam waktu 14 menit. Dari pandangan ilmu perilaku, pelaksanaan manajemen ilmiah mencoba memadukan asumsi-asumsi mekanik terhadap ilmu-ilmu perilaku organisasi.

b. Teori Administratif dari Henry Fayol; Henry Fayol seorang industriawan Perancis menerbitkan bukunya pada tahun 1919 yakni General and Industrial Administration. Yang banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran manajemen di Eropa. Pandangan-pandangannya dianggap sebagai suatu pemikiran tentang organisasi adminis¬tratif. Fayol berpendapat bahwa semua organisasi terdiri dari unit atau subsistem sebagai berikut:
a) Aspek teknik dan komersial dan dari kegiatan pembelian, produksi dan penjualan.
b) Kegiatan-kegiatan keuangan.
c) Unit-unit keamanan dan perlindungan
d) Fungsi perhitungan
e) Fungsi administratif dari perencanaan, organisasi, pengarahan, koordinasi, dan pengendalian.
c. Teori Struktural dari Max Weber; Max Weber adalah pemikir dalam ilmu sosial dari Jerman. Dua aspek kerja Weber yang relevan dengan perilaku organisasi yaitu:
Pcrtama, seorang ahli ilmu sosial, ia tertarik untuk menjelas-kan preskripsi dari pertumbuhan organisasi yang besar.

Kedua, ia terkesan akan kelemahan-kelemahan manusia dan pertimbangan yang kadang-kadang tidak realistis bahwa manusia mempunyai rasa emosi.
Teori Max Weber memiliki sifat:
a) Adanya spesialisasi atau pembagian kerja
b) Adanya hierarki yang berkembang
c) Adanya suatu sistem atau aturan dari suatu prosedur
d) Adanya hubungan kelompok yang impersonalitas
e) Adanya promosi dan jabatan yang berdasarkan kecakapan.

3. Gerakan Hubungan Kemanusiaan
Raymond Miles menyatakan bahwa pendekatan hubungan kemanusiaan secara sederhana menempatkan karyawan sebagai manusia, tidak sebagai mesin yang dipergunakan dalam berproduksi. Pada sejarah hubungan kemanusiaan ini terdapat tiga kejadian yang memberikan kontribusi dalam penelaahan ilmu perilaku organisasi. Tiga kejadian itu antara lain sam masa-masa depresi yang hebat, gerakan kaum buruh, dan basil penemuan Howthorne.
a. Masa depresi; depresi yang terjadi pada tahun 1930-an menyebabkan goncangan yang hebat di bidang keuangan. dan perekonomian pada umumnya. Penyebab depresi pada umumnya antara lain:
a) Akumulasi stok barang yang baru yang besar di tangan konsumen
b) Konsumen menolak naiknya harga
c) Jarang investasi dalam skala usaha
d) Melemahnya kepercayaan dan harapan-harapan
e) Akumulasi yang besar dari kemampuan produksi sebagai basil pengembangan teknologi.

Ledakan depresi menyadarkan manajemen untuk menghayati bahwa produksi tidak akan bertahan lama sebagai unsur yang bertanggung jawab dalam manajemen. Di saat itu lalu timbul gagasan untuk meletakkan unsur manusia sebagai unsur yang amat dominan dalam manajemen, sebagai basil dari depresi hubungan kemanusiaan dan perilaku organisasi mendapatkan tempat yang dominan dan perhatian yang seksama.

b. Gerakan Serikat Buruh; di tahun 1935 serikat buruh secara sah diakui (legally entranced), banyak para manajer menjadi sadar dan mulai banyak memberikan perhatiannya kepada buruh. Gerakan serikat buruh ini secara langsung ataupun tidak langsung memberikan dampak yang besar terhadap studi perilaku organisasi individu-individu yang mendukung kerja sama dalam suatu organisasi tertentu. Gerakan serikat buruh tercatat dalam sejarah pengembangan studi perilaku organisasi, sebagai titik awal dalam masa embrio berkembang gerakan kemanusiaan.

c. Penemuan Howthorne; Howthome mengadakan penelitian dengan tujuan untuk mencari sampai di mana pengaruh hubungan antara kondisi fisik lingkungan kerja dengan produktivitas karyawan. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa langkah. Langkah pertama, percobaan tentang cahaya lampu antara tahun 1924-1927, hasilnya bahwa cahaya penerangan lampu pada tempat kerja hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil kerja dan pengaruhnya kecil sekali. Langkah kedua, Howthorne menyediakan ruang istirahat bagi karyawan. Hasilnya dari fase ini hampir sama dengan fase pertama. Langkah ketiga, studi tentang ruang bank tilgram. Tujuannya untuk melakukan analisis pengamatan terhadap kelompok pekerja informal.
Ternyata dalam fase ketiga ini tidak ada kenaikan pro¬duktivitas yang tinggi. Implikasi penemuan Howthorne terhadap pengembangan tentang ilmu perilaku organisasi ternyata amat besar dan penting sekali. Usaha-usaha penemuan ini merupakan satu dasar yang amat berharga terhadap pendekatan perilaku di dalam segala aspek manajemen.

4. Organisasi Modern
Asumsi dasar tentang sifat manusia menurut ilmu organisasi modern adalah bukan baik dan bukan buruk. Beberapa orang beranggapan bahwa manusia mempunyai keunikan dalam perilaku hal yang terarah, lainnya beranggapan bahwa perilaku manusia dalam banyak hal menunjukkan sebagai sasaran yang tidak teratur.
Pendekatan yang dipakai untuk menganalisis perilaku ma¬nusia menurut ahli perilaku organisasi modern, yaitu pada hakikatnya juga menggunakan metode eksperimen, dengan memberi¬kan penekanan pada observasi terkendali dan generalisasi data. Pengharapan-pengharapan pada manajemen modern, yaitu pemahaman-pemahaman dari perilaku manusia yang selalu bertambah dengan pemahaman ilmiah yang akan membawa ke arah penyempurnaan kerja.

Selain dari sejarah perkembangan organisasi sebagai suatu ilmu yang terjadi di kalangan ilmu barat, jauh sebelumnya juga ditemukan tokoh-tokoh dari Timur (baca: Islam) dalam mengemukakan berbagai teori yang berkenaan dengan organisasi. Salah satu di antaranya yang terkenal adalah Ibn Khaldun (1332 – 1406 M/732 – 808 H) diakui oleh para sarjana baik muslim maupun non-muslim di Barat sebagai seorang sosiolog ternama. Dalam kitab magnum opusnya, Muqaddimah, Ibn Khaldun banyak berbicara tentang teori masyarakat, peradaban, perkembangan profesi, serta pentingnya berkumpul (organisasi) dalam mewujudkan cita-cita bersama. Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun mengutip pendapat para filosof—di sini Ibn Khaldun tidak menyebutkan nama-nama filosof tersebut—“manusia adalah makhluk sosial” (al-insānu madaniyyun bit thab’i). Pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Lebih lanjut, ia menuliskan;

Pernyataan ini mengandung makna bahwa seorang manusia tidak bisa hidup sendirian, dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur kehidupannya dengan sempurna secara sendiri. Benar-benar sudah menjadi wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya. Mula-mula, bantuan itu berupa konsultasi, lalu kemudian berserikat serta hal-hal lain sesudahnya. Berserikat dengan orang lain, bila ada kesatuan tujuan, akan membawa kepada sikap saling membantu. Tapi jika tujuannya berbeda, akan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, sehingga muncullah sikap saling membenci, saling berselisih. Ini yang membawa peperangan atau perdamaian di kalangan bangsa-bangsa.

Dalam pernyataan di atas, Ibn Khaldun menyebutkan sebagai makhluk sosial, manusia selala berserikat (berorganisasi) jika memang ada kesatuan tujuan. Tampak jelas bahwa Ibn Khaldun—yang hidup sekitar empat abad sebelum Adam Smith (1776)—telah memahami teori organisasi. Dengan demikian, konsep organisasi sebenarnya telah dikemukakan oleh para tokoh intelektual Islam ketika masa kejayaannya sebelum berkembangnya peradaban Barat. Semua itu tidak terlepas dari isyarat-isyarat yang dikemukakan dalam al-Qur'an maupun Hadis sehingga melahirkan berbagai pemikiran yang brilliant dari generasi muslim pada masa-masa selanjutnya.

D. Prinsip-prinsip, Fungsi dan Manfaat Organisasi
Agar terwujudnya suatu organisasi yang baik, efektif, efisien serta sesuai dengan kebutuhan, secara selektif harus didasarkan pada prinsip-prinsip organisasi sebagai berikut.

1. Principle of Organizational Objective (prinsip tujuan organisasi). Menurut prinsip ini tujuan organisasi harus jelas dan rasional, apakah bertujuan untuk mendapatkan laba (business organization) ataukah untuk memberikan pelayanan (public organization). Hal ini merupakan bagian penting dalam menentukan struktur organisasi.
2. Principle of Unity of Objective (prinsip kesatuan tujuan). Menurut prinsip ini, di dalam suatu organisasi harus ada kesatuan tujuan yang ingin dicapai. Organisasi secara keseluruhan dan tiap-tiap bagiannya harus berusaha untuk mencapai tujuan tersebut. Organisasi akan kacau, jika tidak ada kesatuan.
3. Principle of Unity of Command (prinsip kesatuan perintah) Menurut prinsip ini, hendaknya setiap bawahan menerima perintah ataupun memberikan pertanggungjawaban hanya kepada satu orang atasan, tetapi seorang atasan dapat memerintah beberapa orang bawahan.
4. Principle of the Span of Management (prinsip rentang kendali). Menurut prinsip ini, seorang manajer hanya dapat memimpin secara efektif sejumlah bawahan tertentu, misalnya 3 sampai 9 orang. Jumlah bawahan ini tergantung kecakapan dan kemampuan manajer bersangkutan.
5. Principle of Delegation of Authority (prinsip pendelegasian wewenang) Menurut prinsip ini, hendaknya pendelegasian wewenang dari seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain jelas dan efektif, sehingga ia mengetahui wewenangnya.
6. Principle of Parity of Authority and Responsibility (prinsip keseimbangan wewenang dan tanggung jawab) Menurut prinsip ini, hendaknya wewenang dan tanggung jawab harus seimbang. Wewenang yang didelegasikan dengan tanggung jawab yang timbul karenanya harus samabesarnya, hendaknya wewenang yang didelegasikan tidak meminta pertanggungja wabany ang lebih besar dari wewenang itu sendiri atau sebaliknya. Misalnya, jika wewenang sebesar X, tanggung jawabnya pun harus sebesar X pula.
7. Principle of Responsibility (prinsip tanggung jawab). Menurut prinsip ini, hendaknya pertanggungjawaban dari bawahan terhadap atasan harus sesuai dengan garis wewenang (line autho¬rity) dan pelimpahan wewenang; seseorang hanya bertanggung jawab kepada orang yang melimpahkan wewenang tersebut.
8. Principle of Departmentation (principle of devision of work-prinsip pembagian kerja). Menurut prinsip ini, pengelompokan tugas-tugas, pekerjaan-pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang sama ke dalam satu unit kerja (departemen) hendaknya didasarkan atas eratnya hubungan pekerjaan tersebut.
9. Principle of Personnel Placement (prinsip penempatan personalia). Menurut prinsip ini, hendaknya penempatan orang-orang pada setiap jabatan harus didasarkan atas kecakapan, keahlian dan keterampilannya (the right men, in the right job); mismanajemen penempatan harus dihindarkan. Efektivitas organisasi yang optimal memerlukan penempatan karyawan yang tepat. Untuk itu harus dilakukan seleksi yang objektif dan berpedoman atas job specification dari jabatan yang akan diisinya.
10. Principle of Scalar Chain (prinsip jenjang berangkai). Menurut prinsip ini, hendaknya saluran perintah/wewenang dari atas ke bawah harus merupakan mata rantai vertikal yang jelas dan tidak terputus-putus serta menempuh jarak terpendek. Sebaliknya pertanggungjawaban dari bawahan ke atasan juga melalui mata rantai vertikal, jelas dan menempuh jarak terpendeknya. Hal ini penting, karena dasar organisasi yang fundamental adalah rangkaian wewenang dari atas ke bawah; tindakan dumping hen¬daknya dihindarkan.
11. Principle of Efficiency (prinsip efisiensi). Menurut prinsip ini, suatu organisasi dalam mencapai tujuannya harus dapat mencapai hasil yang optimal dengan pengorbanan yang minimal.
12. Principle of Continuity (prinsip kesinambungan). Organisasi harus mengusahakan cara-cara untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
13. Principle of Coordination (prinsip koordinasi). Prinsip ini merupakan tindak lanjut dari prinsip-prinsip organisasi lainnya. Koordinasi dimaksudkan untuk mensinkronkan dan mengintegrasikan segala tindakan, supaya terarah kepada sasaran yang ingin dicapai.

Dalam konteks pendidikan Islam, prinsip-prinsip ini haruslah berlandaskan kepada landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan Sunnah. Di antara prinsip organisasi yang tersirat dalam al-Qur'an dan Hadis adalah sebagai berikut:
1. Tujuan organisasi secara umum harus mencari dan menemukan keridhaan Allah SWT. Meskipun tujuan lain dibangun bernuansa duniawi, akan tetapi hal-hal yang bersifat duniawi tersebut adalah sesuatu yang diridhai oleh Allah SWT. Firman-Nya:

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Qs. al-Jumuah: 9-10)

2. Kerja sama yang dilakukan dalam suatu organisasi—termasuk segala proses yang dijalankan—hanya dalam kebaikan, bukan dalam hal kemaksiatan, keburukan, atau kemungkaran. Firman-Nya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Qs. Al-Maidah/5: 2)
3. Pemberian tugas dan wewenang kepada anggota organisasi berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Dalam ajaran Islam, banyak hal hukum yang diterapkan berdasarkan kemampuannya, seperti shalat duduk atau berbaring bagi orang yang sakit, mengganti puasanya dengan fidyah bagi yang sakit dan sulit akan sembuh, dan sebagainya. Demikian pula perintah memberi nafkah, juga berdasarkan kemampuan seseorang, sebagaimana firman-Nya:

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. ath-Thalaq/65: 7)

Dalam hal ini, juga diperlukan penyerahan tugas sesuai dengan keahliannya. Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا وُسِّدَ اْلأَمْرُ اِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila suatu perkara/urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (HR. Bukhari).

4. Masing-masing anggota organisasi harus menjalankan tugasnya dengan baik dan mempertanggungjawabkan setiap tugas yang diembannya. Rasulullah SAW bersabda:
كُلَُكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ...
Kalian semua adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya… (muttafaq 'alaih).

Mengenai tanggung jawab ini, juga dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat ar-Ra’du/13 ayat 11:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka.

5. Seluruh anggota organisasi secara kolektif bertanggung jawab terhadap individu-individu yang ada dalam organisasi tersebut sehingga diperlukan adanya pembinaan (supervisi), pendidikan, dan perhatian kepada mereka. Jika tidak, maka kesalahan yang dilakukan oleh individu tertentu bisa merusak citra organisasi. Hal ini tersirat dalam firman Allah SWT dalam surat al-Anfal/8 ayat 25:
Artinya: dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.

6. Komunikasi yang digunakan dalam organisasi hendaklah dengan lemah lembut, tegas, perkataan yang benar serta mengandung keselamatan, sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Mengenai pentingnya berkomunikasi dengan baik dan lemah lembut ini Allah SWT berfirman:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Qs. Ali Imran/3: 159)

Dalam al-Qur'an juga ditemukan beberapa istilah komunikasi seperti:
a. qaulan sadida/perkataan yang benar (Qs. an-Nisa'/4: 9 dan al-Ahzab/33: 70);
b. qaulan karima/perkataan yang mulia (Qs. al-Isra'/17: 23);
c. qaulun ma'rufun atau qaulan ma'rufa/perkataan yang baik (Qs. al-Baqarah/2: 2235 dan 263; Muhammad/47: 21 juga al-Ahzab/33: 32 dan an-Nisa'/4: 8);
d. qaula al-haq/perkataan yang benar (Qs. Maryam/19: 34); dan
e. qaulan baligha/perkataan yang sampai berbekas pada jiwa mereka (Qs. an-Nisa'/4: 63).

Berbagai bentuk kata yang menunjukkan etika dan cara komunikasi tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi lawan bicara dan materi yang dibicarakan. Penerapan komunikasi seperti ini akan sangat efektif dalam membangun organisasi yang profesional dan menyenangkan.

7. Selain menggunakan kata-kata yang baik, hendaklah saling memberi nasehat di jalan yang benar, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-'Ashr ayat 1-3:
وَالْعَصْرِ ١ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ٢ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya menetapi kesabaran.

8. Dalam pengambilan kebijakan dan keputusan, hendaklah dilakukan dengan prinsip musyawarah dan diiringi dengan sifat tawakal. Sebagaimana firman-Nya:
Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. Ali Imran/3: 159)

9. Menegakkan prinsip keadilan. Islam sangat menekankan pentingnya menegakkan keadilan, termasuk dalam urusan kemasyarakat dan berorganisasi. Bahkan Ali ibn Abi Thalib kw. pernah berkata: "Tuhan akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir dan akan menghancurkan negara yang zhalim meskipun Islam". Al-Qur'an juga banyak membicarakan tentang prinsip keadilan, salah satu di antaranya adalah:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. surat al-Maidah/5 ayat 8)

10. Jabatan dan tugas yang diberikan dalam organisasi pada hakikatnya sebagai amanah yang harus dijalankan dengan sifat amanah (dapat dipercaya) pula. Pentingnya sifat amanah ini juga ditegaskan dalam al-Qur'an bahwa watak manusia memang suka menerima amanah, akan tetapi agar tidak termasuk orang yang zalim lagi bodoh, harus mampu mengemban amanah tersebut sebagaimana mestinya. Dalam konteks berorganisasi, maka setiap anggota organisasi harus menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing sesuai dengan job description yang diberikan. Firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (Qs. al-Ahzab/33: 72)

11. Dalam menjalankan organisasi pendidikan Islam hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, jujur, tranparan, dan sifat-sifat terpuji lainnya sebagaimana yang dituntun dalam ajaran Islam, khususnya yang berkenaan dengan ajaran akhlaqul Islam.
Adapun yang menjadi fungsi dari sasaran organisasi tersebut antara lain:
1. Dapat merumuskan serta memusatkan perhatian atau mengarahkan para manajer dalam usaha memperoleh dan mempergunakan sumber daya organisasi.
2. Dapat digunakan sebagai dasar dan alasan peng-orgairisasian.
3. Sebagai suatu standar penilaian terhadap organisasi, dan daprt dijadikau sebagai ukuran terhadap derajat efektivitas dan efisiensi organisasi dalam mencapai tujuannya.
4. Sebagai sumber legitimasi yang membenarkan kegi¬atan dan eksistensinya terliadap kelornpok-kelompok yang beraneka ragam seperti para penanaman modal, anggota, pelanggan dan masyarakat secara keseluruhan dan sebagainya.
5. Dapat membantu organisasi untuk memperoleh suinberdaya manusia yang dibutuhkan.

Fungsi yang menjadi sasaran bagi para anggota perseorangan dalam suatu organisasi adalah:
1. Dapat memberikan pengarahan kerja sehingga mendorong para pekerja untuk memusatkan perhatian dan usahanya secara lebih ielas ke arah tujuan yang telah ditetapkan.
2. Memberikan alasan sebagai dasar untuk bekerja dan dapat memberikan arti pada pekerjaan yang kelihatannya tidak terarah.
3. Dapat dijadikan sebagai sasaran pencapaian keinginan pribadi.
4. Dapat membantu individu merasa terjarnin bahwa Organisasi akan tenis berjalan untuk masa selanjut-nya.
5. Dapat memberikan identifikasi dan status bagi para pekerjanya

Sementara manfaat dari adanya organisasi adalah:
1. Organisasi sebagai penuntun pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan akan lebih efektif dengan adanya organisasi yang baik.
2. Organisasi dapat mengubah kehidupan masyarakat. Jika organisasi itu di bidang pendidikan, maka akan turut mencerdaskan masyarakat serta membimbing masyarakat agar tetap menerapkan nilai-nilai ajaran Islam.
3. Organisasi menawarkan karier. Karier berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan. Jika kita menginginkan karier untuk kemajuan hidup, berorganisasi dapat menjadi solusi.
4. Organisasi sebagai cagar ilmu pengetahuan. Organisasi selalu berkembang seiring dengn munculnya fenomena-fenomena organisasi tertentu. Peran penelitian dan pengembangan sangat dibutuhkan sebagai dokumentasi yang nanti akan mengukir sejarah ilmu pengetahuan.

Dalam ajaran Islam, juga diperlukan organisasi. Rasulullah SAW bersabda bahwa Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian 27 derajat. Hadis ini mengisyaratkan tentang:
a. Keutamaan shalat berjamaah
b. Aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat bahwa hidup secara berjamaah atau berorganisasi dengan dipimpin oleh seorang pemimpm/imam lebih besar keuntungannya dari¬pada tanpa berorganisasi atau berjamaah.

Begitu pula pernyataan Ali bin Abi Thalib: "al-haqqu bila nizhamin sayaghlibuhu al-bathil bi nizhamin", (Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir). Pernyataan ini menunjukkan begitu pentingnya organisasi untuk mewujudkan suatu tujuan, termasuk dalam menerapkan kebenaran.

E. Bentuk-bentuk Organisasi

Bentuk-bentuk organisasi dapat dilihat dari beberapa segi, di antaranya:
1. Berdasarkan tipe-tipe strukturnya.
2. Berdasarkan proses pembentukannya;
3. Berdasarkan kaitan hubungannya dengan pemerintah;
4. Berdasarkan skala (ukuran) besar-kecilnya;
5. Berdasarkan tujuannya;
6. Berdasarkan organization chartnya;

Bentuk-bentuk organisasi di atas akan dijelaskan berikut ini:
1. Berdasarkan Tipe-tipe Struktur Organisasi
Jika dilihat dari strukturnya, organisasi dapat dibagi kepada beberapa tipe, yaitu: (1) organisasi dalam bentuk lini (line organization), (2) organisasi dalam bentuk lini dan staf (line and staf organization), (3) organisasi dalam bentuk fungsional {functional, organization), dan (4) organisasi dalam bentuk panitia (committe organization). Untuk lebih jelasnya pemahaman mengenai bentuk-bentuk orgaisasi tersebut dapai dilihat pada uraian berikut ini.

a. Organisasi dalam bentuk lini (line Organization)
Bentuk lini juga disebut "bentuk lurus", "bentuk jalur", atau "bentuk militer". Bentuk ini adalah bentuk yang dianggap paling tua dan digunakan secara luas pada masa perkembangan industri pertama. Organisasi Lini ini diciptakan oleh Henry Fayol dan biasanya orga¬nisasi ini dipakai oleh militer dan perusahaan-perusahaan kecil saja.

Dalam organisasi lini ini pendelegasian wewenang dilakukan secara vertikal melalui garis terpendek dari seorang atasan kepada bawahannya. Pelaporan tanggung jawab dari bawahan kepada atasannya juga dilakukan melalui garis vertikal yang terpendek. Perintah-perintah hanya diberikan seorang atasan saja dan pelaporan tanggung jawab hanya kepada atasan bersangkutan.

Adapun ciri-ciri dari organisasi dalam bentuk ini adalah:
1) Garis komando langsung dari atasan ke bawahan atau dari pimpinan tertinggi kepada berbagai tingkat operasional.
2) Masing-masing pekerja bertanggungjawab penuh terhadap semua kegiatannya.
3) Otoritas dan tanggung jawab tertinggi terletak pada pimpinan puncak (top Management).
4) Ruang lingkup Organisasinya lebih kecil dan jumlah anggota juga sedikit.
5) Hubuilgan kerja antara atasan dan bawahan berbsifat langsung.
6) Tujuan. alat-alat yang digunakan dan struktur organisasi bersifat sederhana.
7) Pemilik organisasi biasanya menjadi pimpinan yang tertinggi.
8) Tingkat spesialisasi yang dibiltuhkan masih sangat rendah.
9) Semua anggota organisasi masih kenal antara satu sama lainnya.
10) Produksi yang dihasilkatt belum beraneka ragam (defersified).

Organisasi bentuk lini ini mengandung beberapa keuntungan, di samping itu juga mengandung beberapa kelemahan. Di antara keuntungan dari organisasi dalam bentuk lini ini antara lain:
1) Kekuatan dan tanggung-jawab dapat ditetapkan secara pasti.
2) Orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan tanggung-jawab diketahui oleh semua pihak.
3) Proses pengambilan kepuiusan berjalan dengan tepat karena jumlah orang yang perlu diajak berkonsultasi tidak banyak.
4) Disiplin kerja mudah dipertahankan dan penga-wasan dari pimpinan mudah dilaksanakan.
5) Besarnya solidaritas para anggota karena satu sa¬ma lainnya saling kenal-mengenal.
6) Tersedianya kesempatan yang banyak bagi pim¬pinan organisasi untuk melatih bakat-bakat yang dipunyai bawahan.
7) Kesempatan bagi para anggota organisasi untuk mengembangkan spesialisasinya sangat terbatas.

Di samping itu beberapa kelemahan dari organisasi dalam bentuk lini tersebut antara lain:
1) Tujuan organisasi cenderung sama, atau paling ti¬dak didasarkan atas tujuan pribadi pimpinan ter¬tinggi dari organisasi dimaksud.
2) Pimpinan organisasi cenderung bertindak otoriter, karena organisasi dipandang milik pribadi.
3) Seluruh kegiatan organsasi tertalu tergantung ke¬ pada seseorang, dan kelangsungan hidup organisasi sangat ditentukan oleh orang bersangkutan.
4) Kesempatan bagi para anggota organisasi untuk mengembangkan spesialisasinya sangat terbatas.









b. Organisasi dalam bentuk staf (Staff Organization)
Organisasi dalam bentuk staf hanya mempunyai hubungan dengan pucuk pimpinan dan berfungsi memberikan bantuan baik berupa pikiran maupun bantuan lain demi kelancaran tugas pimpinan dalam mencapai tujuan secara keseluruhan. Bentuk ini tidak mempunyai garis komando ke bawah.




c. Organisasi dalam bentuk lini dan staf (tine and staf or¬ganization)
Organisasi Lini dan Staf (Line and Staff Organization) ini pada dasarnya merupakan kombinasi dari organisasi lini dan organisasi fungsional. Kombinasi ini dilakukan dengan cara memanfaatkan kebaikan-kebaikannya dan meniadakan keburukan-keburukannya.
Biasanya organisasi bentuk lini dan staf ini terjadi pada organisasi yang lebih besar, di mana penyediaan tenaga spesialis sudah semakin dirasakan untuk memberikan nasehat- nasehat atau saran-saran teknis dan memberikan jasa-jasa kepada unit-unit operasional. Tenaga semacam itu biasanya disebut "staff personnel" yaitu orang yang melaksanakan fungsi staf (staff function), yang dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu: para penasehat (advisor) dan personil yang melakukan kegiatan penunjang (auxiliary personnel) demi lancarnya mekanisme organisasi. Ada beberapa karakteristik atau ciri utama; dari organisasi yang berbentuk lini dan staf ini adalah:
1) Pucuk pimpinannya hanya satu orang dan dibantu oleh para staf.
2) Terdapat dua kelompok wewenang, yaitu wewenang lini dan wewenang staf.
3) Kesatuan perintah tetap dipertahankan, setiap atasan mempunyai bawahan tertentu dan setiap bawahan hanya mempunyai seorang atasan langsung.
4) Organisasinya besar, karyawannya banyak dan pekerjaannya bersifat kompleks.
5) Hubungan antara atasan dengan para bawahan tidak bersifat langsung.
6) Pimpinan dan para karyawan tidak semuanya saling kenal-mengenal.
7) Spesialisasi yang beraneka ragam diperlukan dan digunakan secara optimal.

Organisasi yang berbentuk lini dan staf ini memberikan bebe¬rapa keuntungan/kebaikan antara lain:
1) Adanya pembagian tugas yang jelas antara kelompok lini yang melakukan tugas pokok organisasi dan ke¬lompok staf yang melakukan kegiatan penunjang.
2) Asas spesialisasi yang ada dapat dilanjutkan menurut bakat bawahan masing-masing.
3) Prinsip "the right man on the right place" dapat diterapkan dengan mudah.
4) Koordinasi dalam setiap unit kegiatan dapat diterapkan dengan mudah.
5) Dapat digunakan dalam organisasi yang lebih besar.

Perintah lini dan perintah staf sering membingungkan anggota organisasi, karena kedua jenis hirarki ini sering tidak seirama dalam memandang sesuatu Sedangkan kelemahan-kelemahan dari orgainsasi dalam bentuk lini dan staf ini adalah:
1) Pimpinan lini sering mengabaikan nasehat atau saran dari staf.
2) Pimpinan staf sering mengabaikan gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh pimpinan lini.
3) Adanya kemungkinan pimpinan staf melampaui'batas kewenangannya.
4) Perintah lini dan perintah staf sering membingungkan anggota organisasi karena kedua jenis hirarki sering tidak seirama dalam memandang sesuatu.






Gambar di atas menunjukkan bahwa kekuasaan pimpinan diharapkan secara lurus, penuh dan vertikal kepada pejabat yang memimpin satuan-satuan di bawahnya, yaitu orang-orang lini yang melaksanakan tugas pokok organisasi dalam rangka pencapaian tujuan. Begitu juga orang-orang staf yang sifat tugasnya menunjang tugas-rugas pokok, sesuai dengan keahliannya baik bersifat menasehati, maupun yang memberikan jasa-jasa kepada unit-unit operasional dalam bentuk "auxilary service", misalnya dalam bidang kepegawaian, keuangan, ketatalaksanaan, perlengkapan kantor dan lain sebagainya.

Tegasnya, wewenang lini (line authority) adalah kekuasaan, hak dan tanggung jawab langsung bagi seseorang atas tercapainya tujuan; ia berwenang mengambil keputusan, kebijaksanaan dan berkuasa serta harus bertanggung jawab langsung tercapainya tujuan perusahaan. Sedangkan wewenang staf (staff authority) adalah kekuasaan dan hak hanya untuk memberikan data, informasi, pelayanan dan pemikiran untuk membantu kelancaran tugas-tugas manajer lini.

d. Organisasi dalam bentuk fungsional
Organisasi fungsional adalah bentuk organisasi di mana kekuasaan pimpinan dilimpahkan kepada para pejabat yang memimpin satuan di bawahnya dalam satuan bidang pekerjaan tertentu. Setiap kepala dari satuan mempunyai kekuasaan untuk memerintah dan mengawasi semua pejabat bawahan sepanjang mengenai bidangnya. Organisasi tidak terlalu menekankan pada struktural akan tetapi lebih banyak berdasarkan pada sifat dan macam fungsi yang harus dijalankan.

Pada tipe organisasi fungsional ini masalah pembagian kerja men¬dapat perhatian yang sungguh-sungguh. Pembagian kerja didasarkan pada "spesialisasi" yang sangat mendalam dan setiap pejabat hanya mengerjakan suatu tugas/pekerjaan sesuai dengan spesialisasinya. F. W. Taylor yang menciptakan organisasi fungsional ini.

Adapun ciri-ciri tipe ini adalah sebagai berikut:
1) Pembidangan tugas secara tegas dan jelas dapat dibedakan.
2) Bawahan akan menerima perintah dari beberapa orang atasan.
3) Penempatan pejabat berdasarkan spesialisasinya.
4) Koordinasi menyeluruh biasanya hanya diperlukan pada tingkat atas.
5) Terdapat dua kelompok wewenang, yaitu wewenang lini dan wewenang fungsi.

Ada beberapa kebaikan dari organisasi yang berbentuk fungsional ini antara lain:
1) Adanya pembagian tugas antara kerja pikir (mental) dan fisik,
2) Dapat dicapai tingkat spesialisasi yang baik.
3) Solidaritas antara orang-orang yang menjalankan fungsi yang sama umuinirya tinggi.
4) Moral serta disiplin keija yang tinggi.
5) Koordinasi antara orang-orang yang ada daiam satu fungsi mudah dijalankan.

Sedangkan yang menjadi kelemahan dari organisasi berbentuk fungsional antara lain:
1) Insiatif perorangan sering tertekan karena sudah dibatasi pada satu fungsi.
2) Sulit mengadakan pertukaran tugas, karena terlalu menspesialisasikan diri dalam satu bidang saja.
3) Koordinasi yang sifatnya menyeluruh sulit diadakan karena orang-orang yang bergerak dalam satu bidang mementingkan fungsinya saja.






e. Organisasi dalam bentuk panitia (committee)
Organisasi panitia/komite adalah suatu organisasi yang masing-masing anggota mempunyai wewenang yang sama dan pimpinannya kolektif. Organisasi Komite (Panitia = Committee Organization) mengutamakan pimpinan, artinya dalam organisasi ini terdapat pimpinan "kolektif/ presidium/plural executive" dan komite ini bersifat manajerial. Komite dapat juga bersifat formal atau informal; komite-komite itu dapat dibentuk sebagai suatu bagian dari struktur organisasi formal, dengan tugas-tugas dan wewenang yang dibagi-bagikan secara khusus.
Jadi, organisasi dalam bentuk panitia ini adalah organisasi di mana para pelaksana dibentuk dalam kelompok-kelompok yang bersifat panitia. Di sini ada unsur pimpinan dan ada unsur pelaksana yang disebut dengan "task force" atau "satgas". Adapun ciri-ciri dari organisasi dalam bentuk panitia ini adalah:
1) Strukutur organisasi tidak begitu kompleks. Biasanya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, ketua-ketua seksi, dan para perugas.
2) Struktur organisasi secara relatif tidak permanea. Or¬ganisasi ini hahya dipakai sesuai kebutuhan atau kegiatan.
3) Tugas pimpinan dilasanakan secara kolektif.
4) Semua anggota pimpinan mempunyai hak, wewenang dan tanggung jawab yang sama.
5) Para pelaksana dikelompokkan menurut tugas-tugas tertentu dalam bentuk satgas.
Para pelaksana dikelompokkan menurut tugas-tugas tertentu dalam bentuk satgas Ada beberapa keuntungan dari orgaai-sasi yang berbentuk panitia ini, antara lain:
1) Keputusan dapat diambil dengan baik dan tepat
2) Kecil kemungkinan penggunaan kekuasaan secara berlebihan dari pimpinan.
3) Usaha kerjasama bawahan mudah digalang.

Adapun yang menjadi kelemahan dari organisasi da¬lam bentuk panitia ini adalah:
1) Proses pengambilan keputusan agak larnban karena harus dibicarakan terlebih dahulu dengan anggota or¬ganisasi.
2) Kalau terjadi kemacetan kerja, tidak seorang pun yang mau bertanggung jawab melebihi yang lain.
3) Para pelaksana sering bingung, karena perintah datangnya tidak dari satu orang saja
4) Kreativitas nampaknya sukar dikembangkan, karena perintah pelaksanaan didasarkan pada kolektivitas.
Organisasi panitia biasanya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan beberapa seksi.




2. Berdasarkan Proses Pembentukannya
Jika dilihat dari proses pembentukannya, organisasi terbagi kepada dua bentuk, yaitu organisasi formal dan organisasi informal.
a. Organisasi Formal adalah organisasi yang dibentuk secara sadar dan dengan tujuan-tujuan tertentu yang disadari pula yang diatur dengan ketentuan-ketentuan formal, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Kegiatan-kegiatan/hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya adalah kegiatan (hubungan) jabatan sebagaimana diatur dalam keten-tuan-ketentuan tertulis. Ikatan-ikatan yang terdapat dalam organisasi adalah berdasarkan ikatan-ikatan formal.
b. Organisasi Informal adalah organisasi yang terbentuk tanpa disadari sepenuhnya, tujuan¬nya juga tidak jelas, anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya tidak ada dan hubungan-hubungan terjalin secara pribadi saja (per¬sonal/private relationship bukan formal relationship).
Lebih lanjut Chester I Barnard mengemukakan bahwa organisasi informal adalah sejumlah hubungan yangbersifat pribadi. Dalam organisasi formal sering terdapat organisasi informal dari para karyawannya; organisasi formal sering terbentuk dari organisasi in¬formal. Sedangkan G.R. Terry berpendapat bahwa "Organisasi Non-Formal" yaitu organisasi yang terbentuk di dalam suatu organisasi formal yang anggota-anggotanya terdiri dari para karyawan perusahaan bersangkutan. Misalnya: organisasi arisan karyawan, koperasi karyawan, organisasi olahraga karyawan, organisasi kesenian karyawan dan lain-lainnya. Organisasi nonformal ini akan membahayakan organisasi formal, jika bidang kegiatannya sama dengan organisasi formalnya. Misalnya: Bank di dalam bank, koperasi di dalam koperasi.

Dengan demikian, setiap anggota dari kedua bentuk organisasi ini sejatinya melaksanakan aktivitasnya masing-masing tanpa harus mengganggu pihak lain, tetapi sebaliknya saling melengkapi.

2. Berdasarkan Kaitan Hubungannya dengan Pemerintah
Dalam hubungannya dengan pemerintah, organisasi dibagi kepada dua bentuk, yaitu:
a. Organisasi resmi, adalah organisasi yang dibentuk oleh (ada hubungannya) dengan pemerintah dan atau harus terdaftar pada Lembaran Negara. Misalnya: Jawatan-jawatan, lembaga-lembaga pemerintahan, yayasan-yayasan, dan perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum.
b. Organisasi tidak resmi, adalah organisasi yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan atau tidak terdaftar padaLembaran Negara, seperti organisasi-organisasi swasta; mungkin juga suatu organisasi yang dibentuk oleh pemerintah,
tetapi organisasi ini merupakan unit-unit yang sifatnya swasta. Misalnya: Klub Bola Voli, Klub Sepak Bola, Group Kesenian, Organisasi pendaki gunung, Kelompok belajar dan lain-lain¬nya.

3. Berdasarkan Skala (Ukuran) Besar-Kecilnya
Jika dilihat dari skala (ukuran) organisasi tersebut secara kuantitas, maka organisasi dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Organisasi Besar;
b. Organisasi Sedang (Menengah); dan
c. Organisasi Kecil.
Tolok ukur (skala) besar-kecilnya organisasi ini sifatnya relatif, karena ditentukan oleh banyak faktor. Tetapi besar-kecilnya organisasi perlu diketahui, karena akan mempengaruhi pilihan manajemen yang akan diterapkan.

4. Berdasarkan Tujuannya
Berdasarkan tujuannya, organisasi dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:
a. Public Organization (organisasi sosial), adalah organisasi yang (nonprofit) yang tujuan utamanya untuk melayani kepentingan umum, tanpa perhitungan rugi-laba. Tujuannya adalah memberikan pelayanan dan bukan memperoleh laba (nonprofit
motive). Misalnya: Pemerintah, yayasan-yayasan sosial dan lain-lain¬nya.
b. Business Organization (organisasi perusahaan) adalah organi¬sasi yang didirikan untuk tujuan komersial (mendapatkan laba) dan semua tindakannya selalu bermotifkan laba (profit motive). Jika organisasi perusahaan tidak memberikan laba/keuntungan lagi, maka tidak rasional untuk melanjutkannya lagi. Dilihat dari bidang usaha organisasi perusahaan ini dikenal perusahaan-perusahaan produksi, perdagangan dan pemberi jasa. Namun jika dilihat dari sudut hukum, organisasi dapat dibedakan perusahaan perseorangan (single proprietorship), dan perusahaan milik bersama (part¬nership). Misalnya: "Firma, CV, PT, Koperasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)."

5. Berdasarkan Organization Chart/Bagan Organisasinya
Apabila dilihat dari bentuk bagan organisasi yang digunakan, maka organisasi dapat dikelompokkan menjadi lima bentuk, yaitu:

a. Berbentuk segitiga vertikal (Arrangement Chart);
Puncak segitiga (A) merupakan kedudukan Top Manager
Kebaikannya:
1) Tingkatan manajer dan kedudukan setiap karyawan jelas dan mudah diketahui.
2) Garis perintah dan tanggung jawab jelas dan mudah kelihatan.
3) Rentang kendali setiap bagian jelas dan mudah diketahui.
4) Posisi kedudukan setiap karyawan (manajerial/operasional) jelas dan mudah diketahui.
5) Jenis wewenang yang dimiliki setiap pejabat jelas dan mudah diketahui.
6) Pimpinan organisasi (Top Manager), jelas kelihatan.
7) Berapa tingkat (golongan) organisasi mudah diketahui.
Kelemahannya:
1) Pimpinan kolektif (presidium) tidak dapat digambarkan.
2) Top Manager kelihatan hanya mempunyai authority ke dalam organisasi saja.
3) Bentuk struktur organisasi segitiga ini paling banyak dipergunakan oleh organisasi/perusahaan.

b. Berbentuk Lingkaran
Keterangan:
1) Top Manager berada pada titik pusat lingkaran (A).
2) Kedudukan yang mempunyai jarak yang sama dari pusat lingkaran punya posisi (golong¬an) yang sama.
3) Semakin dekat kedudukan pada pusat lingkaran maka semakin tinggi kedudukannya dan se-baliknya.
4) Top Manajer, C = Middle Mana¬ger dan B = Lower Manager, padahal B itu bawahan dari C.
Kebaikannya:
1) Top Manager kelihatan mempunyai wewenang ke setiap penjuru.
2) Top Manager, kelihatan sebagai sentral keputusan dan kebijaksanaan.

Kelemahannya:
1) Untuk mengetahui kedudukan atasan dan bawahan agak sulit dan kurang jelas.
2) Pendelegasian wewenang dan pertanggung jawab tidak jelas ke¬lihatan.
3) Kedudukan seorang bawahan dapat kelihatan sebagai atasan (B) terhadap C, sebab ia lebih dekat pada A.
4) Demikian juga misalnya bawahan B, bisa lebih dekat pada A, jadi seperti bawahannya B.
5) Kedudukan (posisi) staf sulit digambar dalam bentuk struktur ini. Struktur organisasi yang berbentuk lingkaran ini jarang dipergunakan dan kurang populer.

c. Berbentuk lingkaran dan atau setengah lingkaran;

Struktur organisasi yang berbentuk setengah lingkaran ini, pada prinsipnya samadenganyangberbentuk lingkaran.Perbedaannya hanya terletak,bahwa bawahan Middle Manager terletak di luar lingkaran pertama. Bentuk ini kurang populer dan jarang digunakan orang.
Keterangan:
1) A. Top Manager 1,2,3,4, dan 5 Middle Manager (B), sedangkan (C) Lower Manager.
2) Kedudukan yang jaraknya sama dari (A), mempunyai posisi yang sama.
3) Semakin dekat kepada (A), maka semakin tinggi kedudukannya dan sebaliknya.
Kelemahan bentuk struktur ini pada dasarnya sama dengan bentuk struktur lingkaran, seperti untuk menggambar posisi staf sulit.

d. Berbentuk kerucut vertikal/horizontal

Struktur organisasi yang berbentuk "kerucut vertikal ataupun hori¬zontal" ini pada prinsipnya sama dengan struktur organisasi yang berbentuk "segitiga vertikal atau horizontal". Perbedaannya terletak pada struktur yang berbentuk segitiga, menunjukkan bahwa "pimpinan puncak (Top Manager)-nya tunggal atau seorang". Sedang struktur organisasi yang berbentuk kerucut, menunjukkan bahwa "pimpinan puncak (Top Manager)-nya kolektif (presidium = beberapa orang)".

Pimpinan kolektif ini sering d ilakukan pada organisasi "komi te atau perusahaan FIRMA", Karena perusahaan Firma, diharuskan bahwa semua kekayaan pribadi anggota ikut dipertaruhkan untuk membayar utang-utang Firma, jika Firma tersebut dilikuidasi. Hal inilah yang men-dorong anggota Firma menganut "pimpinan kolektif" pada "puncak pimpinannya" untuk menghindari tindakan-tindakan negatif jika Firma pimpinan puncaknya tunggal (seorang).
Pada organisasi komite tujuannya pimpinan puncak kolektif untuk menghindari kepemimpinan "otoriter" atau diktator jika pimpinan puncaknya seorang.

Keterangan:
1) A dan B merupakan pimpinan puncak kolektif.
2) Tingkatan-tingkatan lain dari departemen seorang/tunggal.
3) Posisi yang semakin dekat ke A-B, kedudukan semakin tinggi dan sebaliknya.
4) Jarak yang sama dari A dan B punya kedudukan (golongan) yang sama pula.

e. Berbentuk bulat telor (Oval).
Keterangan:
1) Yang duduk pada lingkaran I (A-B-C-D-E) punya posisi sama.
2) Yang duduk pada lingkaran II punya posisi yang sama.
3) Yang duduk pada lingkaran III, juga posisi yang sama.

Struktur organisasi berbentuk "OVAL atau BULAT TELUR" ini sering dipergunakan dalam perundingan-perundingan politik. Dalam perundingan politik antara negara yang berselisih, biasanya soal meja tempat berunding digunakan meja yang berbentuk oval. Hal ini mencerminkan bahwa setiap negara punya kedudukan (posisi) yang sama tinggi derajatnya. Barisan depan (dekat) meja duduk wakil-wakil tertinggi dari negaranya (lingkaran I), lingkaran II, lingkaran III dan seterusnya. Jadi setiap tempat duduk pada lingkaran yang sama punya peranan yang sama pula dalam perundingan bersangkutan. Semakin dekat tempat duduknya ke meja perundingan, semakin besar peranannya (posisi)-nya dalam perundingan tersebut. Struktur organisasi bentuk ini kurang populer dan jarang dipakai dalam perusahaan.
Bentuk-bentuk organisasi di atas dapat diterapkan dalam organisasi pendidikan Islam, baik dalam satu bentuk saja atau mengkombinasikan antara beberapa bentuk lalu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Jelasnya, bentuk-bentuk di atas menjadi pertimbangan dalam merumuskan jenis organisasi yang akan diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan Islam dalam suatu lembaga organisasi.

F. Organisasi Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan, dalam bahasa Inggris disebut institute (berbentuk fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam bentuk fisik disebut juga bangunan, sedangkan non-fisik disebut pranata.

Secara terminologi, lembaga pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah sustu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, idiologi-idiologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid, sekolah kuttab dan sebagainya.
Dengan demikian, untuk menerapkan pendidikan Islam perlu suatu lembaga dan lembaga tersebut harus terorganisir sedemikian rupa sehingga tujuan pendidikan Islam dapat dicapai secara efektif dan efisien. Tegasnya, diperlukan organisasi lembaga pendidikan yang profesional.
Berbicara tentang lembaga pendidikan Islam, dapat dilihat dari segi proses pembentukannya, yaitu formal, nonformal, dan informal. Akan tetapi, lembaga pendidikan Islam dalam bentuk institute biasanya dikelola oleh lembaga Departemen Agama dimana di dalamnya terdapat lembaga pendidikan formal dan nonformal.

1. Lembaga Pendidikan Islam di Lingkungan Departemen Agama
Pendidikan Islam dipetakan ke dalam tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan agama Islam pada satuan pendidikan, pendidikan umum berciri Islam, dan pendidikan keagamaan Islam. Pendidikan Islam pada satuan pendidikan dilakukan melalui koordinasi antara Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ditjen Pendidikan islam bertangg/ung jawab.'aias!: pengembangan kurikulum dan pembinaan guru. Sedangkan Depdiknas atas pelaksanaahnya. pada tingkat satuan pendidikan.

Pendidikan umum berciri Islam, pada jalur formal diselenggarakan oleh satuan pendidikan Raudhatul/Busthanul Athfal (RA/BA) pada anak usia dini, Madrasah Ibtidaiyah (Ml) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada pendidikan dasar. Madrasah Aliyah (MA) dan MA Kejuruan pada pendidikan menengah, dan Perguruan Tinggi Islam (PTI) pada jenjang pendidikan tinggi.
Pada jalur non-formal, diselenggarakan melalui Program Paket A dan Program Paket B pada pendidikan dasar serta Program Paket C setara pendidikan menengah. Pendidikan keagamaan Islam diselenggarakan dalam bentuk pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren yang melingkupi berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren pada berbagai jenjang dan jalur pendidikan.

Pada jalur formal, pendidikan diniyah mencakup Pendidikan Diniyah Dasar (PDD) dan Pendidikan Diniyah Menengah Pertama PDMP pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan Diniyah Menengah Atas (PDMA) pada jenjang pendidikan menengah, dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) pada jenjang pendidikan tinggi. Pada jalur non-formal, pendidikan diniyah diselenggarakan secara berjenjang mulai dari pendidikan anak usia dini pada Taman Kanak-kanak al-Qur'an (TKQ), jenjang dasar oleh lembaga pendidikan Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA) dan Diniyah Takmiliyah Wustha (DTW) dan jenjang pendidikan menengah oleh Diniyah Takmiliyah Ulya (DTU), DT Aly untuk jenjang pendidikan tinggi, serta non-jenjang pada lembaga pendidikan al-Qur'an dan Majlis Taklim.

Dengan demikian, organisasi lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non-formal seperti pesantren, pada dasarnya dikelola oleh Departemen Agama. Sementara lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP, dan SMA Swasta yang dimiliki oleh organisasi Islam juga dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam, namun tetap berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional.

Di tingkat daerah, Pesantren sebagai lembaga pendidikan formal biasanya menerapkan kurikulum madrasah sehingga tingkatan dalam pesantren juga meliputi madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Dalam struktur organisasi, pesantren ini berada di bawah departemen agama, tepatnya di bagian Pekapontren. Madrasah juga meliputi jenjang madrasah ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Ketiga jenjang ini juga berada dalam departemen agama tepatnya di bagian Mapenda. Sedangkan sekolah yang diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan yang biasanya dimiliki oleh organisasi Islam, seperti Sekolah Dasar Islam (SDI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau nama-nama lain yang sejenis dengannya, termasuk SD Islam Terpadu.

Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga pendidikan formal yang di dalamnya terdapat kepala sekolah, guru-guru, pegawai tata usaha, siswa, dan sebagainya memerlukan adanya organisasi yang baik agar tujuannya dapat dicapai. Menurut sistem persekolah di negeri kita, pada umumnya Kepala Sekolah/Madrasah merupakan jabatan yang tertinggi di sekolah itu sehingga dengan demikian kepala sekolah memegang peranan dan pimpinan segala sesuatunya yang berhubungan dengan tugas sekolah/medrasah ke dalam maupun ke luar. Maka dari itu dalam struktur organisasi lembaga ini pun kepala sekolah biasanya selalui ditempatkan yang paling atas.

Faktor lain yang menyebabkan perlunya organisasi sekolah/madrasah yang baik ialah karena tugas guru-guru tidak hanya mengajar saja, juga pegawai-pegawai tata usaha, pesuruh sekolah, dan sebagainya semuanya harus bertanggung jawab dan diikutsertakan dalam menjalankan roda organisasi itu secara keseluruhan. Dengan demikian, agar tidak overlapping dalam memegang/menjalankan tugasnya masing-masing, diperlukan organisasi sekolah/madrasah yang baik dan teratur.

Sebagai organisasi, sekolah atau madrasah tersebut tentu memiliki visi dan misi tertentu dengan mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam. Kemudian di dalamnya terdapat struktur organisasi yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah/madrasah dan dibantu oleh beberapa orang wakil, seperti wakil bidang kurikulum, wakil bidang sarana prasarana, dan wakil bidang kesiswaan. Para guru juga diorganisir sesuai dengan kebutuhan, seperti wali kelas, koordinator masing-masing mata pelajaran, pembina OSIS, dan sebagainya.

Adapun sistem penanggung jawab lembaga tersebut awalnya bersifat sentralistik. Namun dewasa ini, seiring dengan otonomi daerah, sistem sentralistik secara berlahan mulai berubah ke arah desentralistik, meskipun belum sepenuhnya, khususnya di lingkungan Departemen Agama. Sedangkan sekolah umum yang dimiliki oleh organisasi Islam cenderung lebih desentralisasi karena mereka berada di bawah departemen pendidikan nasional.

Mengenai pengelolaan madrasah/pesantren di lingkungan Departemen Agama yang masih bersifat sentralistik memiliki kelebihan dan kekurangan. Lembaga pendidikan formal di bawah Departemen Agama seperti Madrasah cenderung hanya memperoleh anggaran biaya dari Departemen Agama pusat dan terkesan kurang perhatian dari pemerintah daerah. Padahal madrasah juga berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat lokal di tingkat daerah tersebut. Meskipun demikian, ada juga pemerintah daerah yang menganggarkan biaya untuk madrasah tersebut, sesuai dengan kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan ini tentu terkait dengan besarnya APBD yang dimilikinya.

Di sisi lain, pembiayaan madrasah—khususnya yang berstatus negeri—yang dianggarkan dari DIPA Departemen Agama justru memperoleh anggaran yang lebih besar jika dibandingkan dengan sekolah di lingkungan dinas pendidikan, sebab jumlah lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum yang ada. Terutama di daerah yang memiliki APBD relatif kecil, jangankan menganggarkan biaya yang cukup untuk madrasah yang masih bersifat sentralistik ke departemen Agama, untuk menganggarkan dana pengelolaan sekolah umum yang berada di bawah lingkungan dinas pendidikan kota/kabupaten saja akan mengalami kesulitan mengingat jumlah sekolah umum yang lebih besar dari pada jumlah madrasah.

Namun, yang menjadi persoalan berikutnya adalah madrasah yang memperoleh dana cukup dari departemen agama tersebut justru lebih terfokus kepada madrasah negeri, sementara madrasah swasta kurang mendapat perhatian. Padahal, jumlah madrasah swasta jauh lebih banyak dari pada madrasah negeri. Akhirnya, madrasah swasta yang memperoleh "penghidupan" dari masyarakat setempat cenderung mengalami kesulitan dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan yang berkualitas.

Mengenai perbandingan madrasah negeri dengan swasta dapat dilihat pada tabel ini:
No Jenis Lembaga Jumlah Jumlah Total Porsentase Sebaran
Negeri (%) Swasta (%)
1 Madrasah Ibtidaiyah (MI) 1.567 19.621 21.188 36%
(7.4%) (92,6%)
2 Madrasah Tsanawiyah (MTs) 1.259 11.624 58.288 22%
(9,8%) (90,2%)
3 Madrasah Aliyah (MA) 644 4.754 5.398 9%
(11,9%) (88,1%)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa MI yang negeri hanya 7.4 % dari 21.188 MI yang ada, MTs berstatus negeri sebanyak 9,8% dari 58.288 dan MA berstatus negeri hanya 11,9% dari 5.398 dari total MA yang ada. Data ini diperoleh pada T.P. 2007/2008. Dengan demikian, persentase madrasah swasta jauh lebih besar jumlahnya dari pada madrasah negeri.

Besarnya jumlah madrasah swasta ini memang berkaitan dengan sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Islam; di mana peran serta masyarakat dalam pengembangan madrasah dan pesantren sangat besar. Anggota masyarakat karena motivasi agama, banyak yang menyediakan tanah wakaf atau dana pembangunan madrasah dan pesantren, sehingga jumlah madrasah swasta demikian banyak seperti terlihat pada data di atas. Prakarsa dan peran serta masyarakat yang demikian besar dalam bidang pendidikan tersebut, khususnya madrasah dan pesantren, memang patut dihargai dan perlu terus dibantu pengembangannya.

Namun, dan yang dapat dikumpulkan oleh masyarakat muslim dalam pengembangan pendidikan modern dewasa ini sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus-menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan madrasah terus-menerus ketinggalan dengan dunia pendidikan yang lain. Pada umumnya, madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung siswa-siswa dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Akibatnya, biaya untuk menunjang kegiatan proses belajar-mengajar kurikulum yang tinggi tingkat relevansinya dengan jenis-jenis pekerjaan yang berkembang di dunia bisnis dan di masyarakat dewasa ini yang mengarah ke masyarakat industri, masih sangat terbatas.

Di sisi lain, karena kemampuan dalam penyelenggaraan pendidikan masih terbatas, Pemerintah masih mengutamakan strategi pengembangannya pada sekolah-sekolah negeri, khususnya dalam penyediaan tenaga guru dan pembagian alokasi dana pembiayaan pendidikan lainnya. Padahal, berbeda dengan Diknas, proses penegerian madrasah di Departemen Agama berjalan sangat lambat, sehingga jumlah madrasah negeri masih sangat kecil. Kelambatan itu disebabkan karena Departemen Agama dianggap bukan sebagai unit yang memeriukan perhatian dan prioritas untuk memperoleh dukungan dana dan dukungan kelembagaan seperti Diknas. Masalah kecilnya jumlah madrasah-madrasah negeri tersebut menjadi salah satu kendala dalam menyusun langkah-langkah pembinaan madrasah.

Lebih besarnya perhatian pemerintah terhadap madrasah negeri dari pada swasta juga dapat dilihat dari persentase madrasah penerima bantuan dari Program Bantuan Direktorat Pendidikan pada Madrasah tahun 2007, sebagaimana yang terlihat dalam tabel berikut ini:
No Jenis Lembaga Jumlah Lembaga
Negeri (%) Swasta (%)
1 Madrasah Ibtidaiyah (MI) 1.567 19.621
(11,5 %) (4.3 %)
2 Madrasah Tsanawiyah (MTs) 1.259 11.624
(10,6 %) (7.3 %)
3 Madrasah Aliyah (MA) 644 4.754
(15,5 %) (10,5 %)

Jika diperhatikan pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara kuantitas, jumlah madrasah negeri memang lebih besar dari pada madrasah negeri. Namun, jika dilihat dari persentase jumlah madrasah secara keseluruhan, maka madrasah swasta jauh lebih kecil dari pada yang negeri. Itu artinya, masih banyak madrasah negeri yang tidak memperoleh bantuan, akan tetapi jauh lebih banyak madrasah swasta yang tidak memperoleh bantuan tersebut. Oleh karena itu, madrasah swasta sulit mengembangkannya sebagai lembaga pendidikan yang bermutu dengan sistem pengelolaan seperti ini, apalagi jika kurang mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat.

Demikian pula dengan lembaga pendidikan pesantren dan diniyah yang nota benenya tumbuh dari masyarakat, juga semakin berkembang dan butuh perhatian dari pemerintah dan masyarakat sendiri. Berdasarkan tipe pondok pesantren, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
No Tipe Pondok Pesantren Jumlah Persentase
1 Salafiyah 8.001 37,2 %
2 Ashriyah 3.881 18,0 %
3 Kombinasi 9.639 44, 8 %
Jumlah 21.521 100%

Tabel: Jumlah Pondok Pesantren berdasarkan tipenya pada T.P. 2007/2008

Sementara jumlah madrasah diniyah pada tahun pelajaran 2007/2008 terdapat sebanyak 37.102. Jika dilihat dari lokasinya, terdapat 8.485 (22,9%) merupakan madrasah diniyah yang berada di dalam Pondok Pesantren, dan 28.617 (77,1%) merupakan madrasah diniyah yang berada di luar Pondok Pesantren.

Menyikapi persoalan di atas, seharusnya pemerintah daerah mengambil kebijakan yang proporsional (adil) terhadap pembangunan dan pengembangan lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren. Sebab, madrasah dan pesantren juga berperan besar dalam mencerdaskan masyarakat di tingkat daerah tersebut. Meskipun madrasah dikelola secara sentralistik, akan tetapi pemerintah daerah perlu menganalisis perbandingan antara anggaran yang diperoleh madrasah dengan anggaran yang diperoleh sekolah umum. Jika APBD di tingkat daerah memang relatif kecil, maka diharapkan pemerintah dapat memotivasi masyarakat untuk berperan aktif dalam membangun lembaga pendidikan di daerah tersebut, baik umum maupun lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi yang baik lagi harmonis antara departemen agama dengan dinas pendidikan dari pusat hingga di tingkat daerah kota/kabupaten, termasuk dengan pemerintah daerah. Dengan begitu diharapkan pengelolaan organisasi lembaga pendidikan Islam dilakukan secara profesional sehingga bermutu dan mampu bersaing di tingkat global.

2. Lembaga Pendidikan Masyarakat (Nonformal)
Selain dari bentuk lembaga pendidikan di atas, masyarakat juga melahirkan beberapa lembaga pendidikan nonformal sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan Islam. Masyarakat merupakan kumpulan individu dan kelompok yang terikat oleh kesatuan bangsa, negara, kebudayaan, dan agama. Setiap masyarakat, memiliki cita-cita yang diwujudkan melalui peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat, dia merupakan bagian yang integral sehingga harus tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Begitu juga dengan tanggungjawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan.

Adanya tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan, maka masyarakat akan menyelanggarakan kegiatan pendidikan yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan nonformal. Sebagai lembaga pendidikan non formal, masyarakat menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Meskipun demikian, lembaga-lembaga tersebut juga memerlukan pengelolaan yang profesional dalam suatu organisasi dengan manajemen yang baik.

Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikoitan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.

Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka lahirlah berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, TPA, wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Berpijak dari tanggung jawab masyarakat di atas, lahirlah lembaga pendidikan Islam yang dapat dikelompokkan dalam jenis ini adalah:
a. Masjid, Mushalla, Langgar, Surau atau Rangkang.
b. Madrasah Diniyah yang tidak mengikuti ketetapan resmi.
c. Majlis Ta'lim, Taman Pendidikan al-Qur'an, Taman Pendidikan Seni Al-Qur'an, Wirid Remaja/Dewasa.
d. Kursus-kursus Keislaman.
e. Badan Pembinaan Rohani.
f. Badan-badan Konsultasi Keagamaan.
g. dan lain-lain.
Lembaga-lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat ini sangat berperan dalam mendidik umat, sejak kanak-kanak hingga dewasa, bahkan lansia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan ini harus terorganisir dengan baik sehingga tujuan dari masing-masing lembaga tersebut dapat tercapai dengan baik pula.

3. Lembaga Pendidikan Keluarga (informal)
Perlu pula dijelaskan bahwa dalam literatur pendidikan Islam, keluarga juga dipandang sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk informal. Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Karenanya, keluarga juga dapat diperoleh melalui persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam diisyaratkan dalam al-Qur'an:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (Qs. al-Tahrim/66: 6)

Pada dasarnya, kegiatan pendidikan dalam lembaga ini tanpa ada suatu organisasi yang ketat, tanpa ada program waktu dan evaluasi. Namun, Islam memberikan tuntunan kepada orang tua untuk membina keluarga dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, keluarga juga merupakan organisasi yang dipimpin oleh seorang ayah untuk membina keluarga dan mendidik anak-anaknya sehingga diridhai oleh Allah SWT dengan terlebih dahulu pasangan suami-istri berupaya mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman-Nya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. ar-Rum/30: 21)

Dengan demikian, sebagai organisasi, keluarga memiliki tujuan tertentu. Secara umum tujuan tersebut adalah memelihara keluarganya dari api neraka dan mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Kemudian, keluarga juga mengorganisir anggota keluarganya untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan mereka bertanggung jawab terhadap tugas tersebut. Dalam konteks suami istri, Rasulullah SAW menegaskan:
كُلَُكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَاْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, وَاْلمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا...
Kalian semua adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin kelak dia akan diminta pertanggungjawabannya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki pemimpin istrinya, kelak dia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang perempuan (istri) pemimpin dalam rumah suaminya, kelak dia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya… (muttafaq 'alaih).

Sementara anak harus dididik sesuai dengan petunjuk Islam sehingga mereka potensi yang dimilikinya berkembang secara optimal dan mengantarkannya sebagai anak yang shaleh. Lagi-lagi dalam hal ini diperlukan manajemen yang baik dari kedua orang tuanya dan keluarga sebagai organisasi atau wadah untuk melaksanakan tujuan tersebut.

G. Penutup
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya sebagai berikut:
1. Organisasi dalam artian statis merupakan wadah berkumpulnya beberapa orang yang saling bekerja sama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan secara dinamis, organisasi merupakan proses mewujudkan tujuan dengan adanya kerja sama, tugas-tugas tertentu yang jelas dengan tanggung jawab yang kuat untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati bersama. Sementara organisasi pendidikan Islam dapat dipahami sebagai wadah berkumpulnya beberapa orang yang saling bekerja sama dan beriteraksi dalam menerapkan dan mewujudkan tujuan pendidikan Islam dengan tetap berlandaskan kepada nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.
2. Pada dasarnya organisasi merupakan sesuatu yang alamiah bagi manusia, sebab ia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu sama lain. Hanya saja secara teoritis, organisasi lebih berkembang dan muncul sejak abad ke 19 hingga saat ini dengan berbagai teori yang muncul, mulai dari klasik, ilmiah, hingga kepada perkembangannya di masa modern.
3. Prinsip-prinsip organisasi pendidikan Islam tersirat dalam al-Qur'an, seperti tujuannya harus mencari dan menemukan keridhaan Allah, proses yang dilakukan dengan cara yang baik, kerja sama dalam konteks kebaikan/ketakwaan bukan kemaksiatan, komunikasi dilakukan dengan cara yang baik/santun, adanya tanggung jawab masing-masing anggota organisasi, dan pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan dengan cara musyawarah dan tawakal. Semua itu relevan dengan temuan-temuan pakar organisasi modern.
4. Bentuk-bentuk organisasi, jika dilihat dari strukturnya ada beberapa bentuk, seperti tipe line, staf, line and staf, fungsional, dan panitia (committee). Semua itu dapat digunakan berdasarkan kebutuhan organisasi tersebut.
5. Secara garis besar lembaga pendidikan Islam dapat dikelompokkan kepada tiga bagian, yaitu formal (sekolah/madrasah/pesantren), informal (keluarga), dan nonformal (masyarakat). Namun dari segi pengelolaannya, lembaga pendidikan Islam itu bisa dikategorikan dalam bentuk lembaga pendidikan Islam di lingkungan Departemen Agama yang terdiri dari formal (seperti MI, MTs, dan MA) dan nonformal (seperti TQ, pengajian Kitab, Paket C, dll). Semua bentuk lembaga ini merupakan suatu organisasi yang harus dijalankan dengan profesional sehingga tujuan pendidikan Islam dapat dicapai secara efektif dan efisien.


BIBLIOGRAFI

Asnawir, Manajemen Pendidikan, Padang: IAIN IB Press, 2006
_______, Bagian I Manajemen Pendidikan, Kumpulan Print Out Slide Power Point, Padang: PPS IAIN IB Padang
Akkas, M. Amin, "Potret Kepemimpinan dalam Masyarakat Madani", dalam Nurcholish Madjid et.al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta: Mediacita, 2000
Atmosudirdjo, Prajudi, Dasar-dasar Ilmu Administrasi Umum, Jakarta: Galia Indonesia, 1982
Ditjen Pendidikan Islam Depag RI, Booklet, Jakarta: Dirtjen PI Depag RI, 2007
_____________, Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan T.P. 2007/2008, Jakarta: Ditjen PI Depag RI, 2008
Hasibuan, Malayu S.P., Organisasi dan Motivasi; Dasar Peningkatan Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, cet. ke-5
al-Hasyimi, Sayid Ahmad, Mukhtarul Ahadits an-Nabawiyah, Penj. Mahmud Zaini, Jakarta: Pustaka Amani, 1995
Hick, Herbert G. dan G. Ray Gullet, Organization: Theory and Behavior, Penj. G. Kartasapoetra, Jakarta:Bumi Aksara, 1995, cet. ke-2
Khaldun, Abdurrahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldūn; wa Hiya Muqaddimah al-Kitāb al-Musamma Kitāb al-Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-Arb wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sulthān al-Akbar, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Poerwanto, Ngalim, Administrasi Pendidikan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1988
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006
Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Schein, Edgar H., Organizational Psychology, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1980
Siagian, Sondang P., Teori Pengembangan Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007 cet. ke-5
Suyantoro, Darwis, organisasi, manajemen, dan manfaat organisasi, www.suryantara. wordpress. com
Terry, George R., Guide to Management, Penj. J. Smith D.F.M., Jakarta: Bumi Aksara, 2006, cet. ke-8
Winardi, J., Teori Organisasi dan Pengorganisasian, Jakarta: Rajawali Press, 2006
_______, Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta: Kencana, 2007, cet. ke-2, edisi revisi

Baco Tokhus....

Makalah Sejarah Pendidikan Islam

SISTEM PENDIDIKAN SURAU:
KARAKTERISTIK, ISI, DAN LITERATUR KEAGAMAAN
Oleh: Muhammad Kosim, MA

A. Pendahuluan

Pendidikan memiliki peranan penting dalam mewariskan nilai-nilai kebenaran yang diyakini oleh suatu generasi ke generasi berikutnya. Demikian halnya dengan ajaran Islam yang sarat nilai (full values), pendidikan—dalam konteks Islam biasa disebut pendidikan Islam—merupakan sarana yang paling efektif untuk mengembangkan potensi manusia secara optimal sesuai dengan fitrahnya. Dalam sejarah perkembangannya, pelaksanaan pendidikan Islam berkembang secara dinamis dan varian. Bahkan pendidikan Islam mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan sosial-cultural dimana ia berada.

Dalam konteks sejarah pendidikan di Minangkabau, lembaga "surau" memainkan peranan yang amat penting dalam membina dan mendidik masyarakat untuk memahami adat dan mengamalkan syariat. Dengan begitu, surau tidak hanya dipandang sebagai tempat beribadah secara mahdhah seperti shalat, akan tetapi surau juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam yang beradaptasi dengan budaya setempat. Fakta lain juga menunjukkan bahwa surau telah berhasil melahirkan ulama-ulama besar dari Minangkabau yang berperan di tingkat nasional, bahkan di tingkat internasional.

Oleh karena itu, sistem pendidikan surau yang pernah terlaksana di Sumatera Barat menarik untuk dikaji. Meskipun dewasa ini fungsi surau telah mengalami pergeseran, namun sistem pendidikan yang diterapkan di surau patut dipahami oleh generasi saat ini sehingga nilai-nilai pendidikannya dapat diaktualisasikan dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Untuk itu, makalah ini akan melacak akar sejarah surau di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan Islam serta mengkaji sistem pendidikan surau yang meliputi karakteristik, isi dan literatur keagamaan yang diterapkan. Metode kajian yang dilakukan dalam makalah ini adalah metode deskriptif-analitis, dengan menggunakan sumber kepustakaan (library research).

B. Awal Perkembangan Surau
Istilah Surau—kadang-kadang dibaca singkat suro—adalah kata yang banyak tersebar di Asian Tenggara. Sejak dulu, istilah ini tampaknya telah digunakan secara meluas di Minangkabau, Tanah Batak, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya dan Patani (Thailand Selatan) da¬lam arti yang sama. Secara linguistik, kata surau berarti "tem¬pat" atau "tempat ibadah". Jadi, surau adalah sebuah bangunan kecil yang aslinya dibangun untuk menyembah nenek moyang kuno. Karena alasan ini, surau paling awal biasanya didirikan di atas tempat yang paling tinggi atau setidaknya lebih tinggi dari bangunan lain. Juga sangat mungkin, bahwa surau berkaitan erat dengan kebudayaan desa, karena kebanyakan surau ditemukan di daerah pedesaan, meskipun dalam perkembangannya kemu¬dian surau juga dapat ditemukan di perkotaan.

Setelah Islam datang, surau mengalami proses Islamisasi. Hal itu dapat dilihat dari perubahan nama dan bentuk tempat peribadatan berhala kuno tersebut. Di beberapa daerah, bekas surau Hindu-Budha, terutama yang terletak di daerah terpencil seperti puncak bukit, hilang dengan cepat karena ekspansi Islam. Karena itu, surau Islam biasanya dapat ditemukan dekat tempat tinggal penduduk. Tetapi, sisa-sisa karakter sakral surau pra-Islam dalam beberapa kasus masih dapat dilihat, khususnya pada bagian atapnya yang bertingkat. Di Minangkabau, misalnya, banyak surau memiliki sejumlah puncak atau gonjong yang merefleksikan simbol-simbol adat. Disini tempak jelas bahwa Islam juga mengalami akuluturasi budaya dimana agama beradaptasi dengan simbol-simbol adat pra-Islam sekaligus sebagai bentuk suatu pengakuan Islam terhadap lingkungan dan budaya lokal yang masih hidup.

Selain itu, struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, juga membuktikan bahwa surau telah dikenal sebelum masuknya Islam ke Minangkabau. Dalam sistem matrilineal, kaum lelaki tidak memiliki kamar tidur di rumah orang tuanya. Karenanya mereka akan menempati surau di malam hari sebagai tempat tidur. Ketika mereka nikah, ia hanya tamu "yang berkunjung" di rumah istri-istrinya, dan bahkan di rumah asalnya. Pada masa tua, jika istrinya meninggal atau cerai, maka ia—yang telah berstatus duda—kembali tinggal di surau. Dengan demikian, surau dijadikan sebagai tempat berkumpulnya laki-laki lajang yang sudah baligh, laki-laki duda, serta tempat persinggahan laki-laki perantau. Jadi, surau memiliki fungsi sosial-budaya, yaitu sebagai tempat pertemuan para pemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka.

Dengan adanya fungsi surau seperti di atas, maka surau memiliki peran strategis sebagai lembaga pendidikan untuk mewariskan adat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ketika Islam datang, surau pun diberdayakan sebagai lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat persinggahan akan tetapi menjadi lembaga pendidikan, baik adat maupun syariat.

C. Surau sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, ketika Islam datang, surau diberdayakan sebagai lembaga pendidikan Islam. Mahmud Yunus menyebutkan, Syekh Burhanuddin adalah orang yang pertama kali menjadikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam.

Syekh Burhanuddin berjasa besar dalam mensyiarkan ajaran Islam di Minangkabau. Nama besar Syekh Burhanuddin sebagai penyiar agama Islam di Minangkabau tampaknya didukung oleh kemampuannya dalam mendesain surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Di surau ini, ia mendidik murid-muridnya untuk memahami ajaran Islam sekaligus menerapkan tarekat Syattariyyah. Surau tersebut terletak di Ulakan Pariaman.

Hanya saja tidak ditemukan penjelasan tentang cara dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam ketika itu, apa kitab yang mula-mula diajarkan dan kitan apa pula sambungannya sampai tamat dalam pembelajaran yang dilakukan.

Meskipun sistem pendidikan surau di era Syekh Burhanuddin tidak ditemukan secara jelas, akan tetapi pada era selanjutnya ditemukan beberapa bukti dan penjelasan tentang sistem pendidikan Islam di surau, termasuk yang dikembangkan oleh murid-muridnya. Oleh karena itu, berikut ini akan dijelaskan sistem pendidikan surau yang meliputi karakteristik, isi/materi pembelajaran, dan literatur keagamaan yang digunakan.

D. Karakteristik Sistem Pendidikan Surau
Karakteristik sistem pendidikan surau dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Klasifikasi surau berdasarkan jumlah murid
Verkerk Pistorious, seorang pejabat Belanda, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, pernah mengunjungi Minangkabau guna mengamati berbagai lembaga keagamaan di daerah ini. la pun membagi surau-surau yang dikunjunginya ke dalam tiga kategori: surau kecil, yang dapat menampung sampai 20 murid; surau sedang, 80 murid; dan surau besar antara 100 sampai 1000 murid. Surau kecil kurang lebih sama dengan surau keluarga—atau sedikit lebih luas dari itu, yang umumnya dikenal sebagai surau mangaji (surau tempat belajar membaca Al-Quran dan melakukan shalat). Surau kateogri ini lebih kurang sama dengan "langgar" atau musala. Jenis surau seperti ini biasanya hanya mempunyai seorang guru yang sekaligus bertindak sebagai imam surau. Sebaliknya, surau sedang dan besar dengan sengaja didirikan untuk tempat pendidikan agama dalam pengertian lebih luas. Dengan kata lain, surau sedang dan surau besar tidak sekadar berfungsi sebagai rumah ibadah seperti yang dilakukan surau mangaji, tetapi yang lebih penting, sebagai pusat pendidikan agama di mana ajaran Islam yang lebih luas dalam berbagai aspeknya diajarkan kepada murid-murid.

Surau sebagai lembaga pendidikan lengkap atau besar merupakan komplek bangunan yang terdiri dari masjid, bangunan-bangunan untuk tempab belajar, dan suaru-surau kecil yang sekaligus menjadi pemondokan murid-murid yang belajar di surau. Prototype suaru seperti ini adalah Surau Ulakan yang didirikan Syekh Burhanuddin. Selanjutnya surau seperti ini dikembangkan ke wilayah Darek, seperti Surau Koto Tuo (Tuanku Nan Tuo) Agam yang memiliki distingsi dalam bidang tafsir; Surau Kotogadang yang terkenal sebagai pusat ilmu mantiq dan ma'ani; Surau Sumanik, tersohor kuat dalam tafsir dan fara'id; Surau Kamang, terkenal karena kuat dalam ilmu-ilmu bahasa Arab; Surau Talang, dan Surau Salayo, yang keduanya terkenal dalam bidang Nahu-Sharaf. Keseluruhan surau ini mencapai puncak kejayaannya dalam masa pra-Padri.

Pasca perang Padri, surau besar dan terkenal yang masih bertahan adalah Surau Batuhampar, dekat Payakumbuh, yang dibangun Syekh 'Abdurrahman (1777-1889) . Kompleks surau terdiri dari sekitar 30 bangunan, termasuk beberapa bangunan utama, seperti masjid, penginapan bagi pengunjung, surau kecil untuk murid, surau untuk suluk, dan Iain-lain. Urang siak tinggal di banyak surau kecil sesuai dengan asal usul geografisnya. Karena itu, terdapat Surau Suliki, Surau Tilatang Kamang, Surau Solok, Surau Pariaman, Surau Padang, Surau Jambi, Surau Bengkulu, Surau Palembang, dan sebagainya. Nama-nama surau tersebut mengindikasikan bahwa urang siak di Surau Batuhampar berasal tidak hanya dari daerah Minangkabau, tetapi juga dari banyak bagian lain di Sumatera. Jumlah urang siak di Surau Batuhampar berkisar antara 1000 sampai 2000. Jumlah tertinggi murid dicapai ketika kepemimpinan surau dipegang Syekh Arsyad, anak Syekh 'Abdurrahman. Meskipun Surau Batuhampar mengalami banyak kemunduran, tetapi masih eksis di bawah kepemimpinan Syekh Dhamrah Arsyadi, cicit Syekh 'Abdurrahman, pendiri surau.

Wakil surau besar lainnya adalah Surau Tuanku Syekh Silungkang di daerah Solok. Surau ini pernah dikunjungi para pejabat Belanda pada 1860-an.52 Surau ini dibangun Tuanku Syekh dengan bantuan tidak hanya penduduk desa setempat, tetapi juga penduduk desa lain, persis setelah kepulangannya dari Makkah. la dianggap sebagai surau terindah dengan hiasan paling baik di Dataran Tinggi Minangkabau. Bangunan utama terdiri dari 7 rumah kayu, 2 di antaranya untuk murid-murid perempuan dan sisanya untuk murid laki-laki, yang sebagian besar berasal dari desa lain. Setiap surau kecil menampung 20 sampai 30 murid di bawah seorang guru tuo (guru senior). Selama siang hari, para murid membantu guru mereka di sawah dan kebun, menjadikan surau hampir kosong. Semua jenis pengajar-an, termasuk amalan tarekat, dilakukan pada sore dan malam hari di bawah bimbingan guru-guru dan Syekh sendiri. Seperti surau besar lainnya, Surau Silungkang membentuk suatu komunitas di mana masalah pengajaran agama tidak terpisah dari pengajaran kemampuan keterampilan yang diperlukan un¬tuk kehidupan sehari-hari. Tetapi, Surau Silungkang merosot de¬ngan cepat setelah meninggalnya Syekh Muhammad Saleh, sang pendiri, pada 1872, karena tak seorang pun di antara keturunan dan murid-muridnya yang cukup mampu melanjutkan kepe¬mimpinan itu.

Surau-surau besar yang berkembang dengan para tuanku yang terkenal biasanya mampu menarik ratusan bahkan ribuan murid. Surau besar seringkali terdiri dari sejumlah bangunan utama, termasuk masjid yang dimiliki Tuanku Syekh. Para murid tinggal di bangunan surau-surau yang lebih kecil di sekitar bangunan-bangunan utama. Surau besar bisa jadi memi¬liki sekitar 20 surau untuk pemondokan yang secara khusus diperuntukkan bagi murid-murid. Surau pemondokan dibagi-bagi di antara murid-murid yang datang dari berbagai wilayah geografis yang berbeda-beda; dan surau-surau pemondokan itu biasanya dibangun oleh murid-murid dari masing-masing wilayah asalnya. Jadi, setiap kelompok murid pada dasamya mewakili komunitasnya masing-masing dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Dan, setiap kelompok itu berada di bawah pengawasan seorang guru yang mengawasi kemajuan studi dan kesejahteraan mereka.

Untuk mendukung kebutuhan dan kesejahteraan murid-murid tersebut, surau diorganisasi atas dasar ekonomi. Terkadang murid-murid harus membantu Syekh atau guru mereka di kebun atau sawah yang umumnya diwakafkan orang-orang di sekitar kompleks surau. Proses belajar juga sering dihentikan selama kesibukan musim tanam dan musim menyabit. Hasil usaha pertanian itu biasanya digunakan untuk memelihara dan meningkatkan surau dalam berbagai segi. Beberapa surau besar memiliki lapau atau kedai di kompleksnya yang biasanya dikelola murid-murid sendiri. Para murid senior dan mereka yang merasa telah beberapa tahun mengabdikan dirinya dalam studi menekuni keahlian tertentu, seperti pekerjaan perkayuan, dan pertukangan, di mana mereka memperoleh pendapatan.

Organisasi kepemimpinan surau besar tampak begitu sederhana. Di puncak tertinggi adalah Tuanku Syekh dan wakil-wakilnya-anaknya atau menantunya jika ia tidak mempunyai keturunan laki-laki. Di bawah mereka adalah guru-guru, baik mereka yang merupakan murid-murid sangat senior ataupun mereka yang diundang mengajar di surau itu sesuai dengan kompetensi dan pengalaman mereka. Tuanku Syekh biasanya bertanggung jawab atas pengajaran murid-murid lebih tinggi atau senior, sementara guru-guru ditugaskan pada "tingkat" yang lebih rendah atau yunior. Masing-masing mereka mempu¬nyai kelompok murid sendiri-sendiri di bawah pengasuhannya.

2. Kepemimpinan dalam Sistem Pendidikan Surau
Tuanku Syekh adalah personifikasi dari surau itu sendiri. Karena itu, prestise surau banyak bergantung pada pengetahuan, kesalehan, dan karisma Tuanku Syekh. Tidak mengherankan bahwa surau yang terkenal dapat merosot dengan cepat atau sirna seketika setelah meninggalnya Tuanku Syekh, terutama jika tidak ada seorang anak laki-laki atau menantu laki-laki yang cukup kompeten untuk meneruskan kepemimpinannya atau cukup beruntung menerima aura Tuanku Syekh.

Tuanku Syekh tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sekaligus sebagai pe¬mimpin spiritual mereka yang ingin mengintensifkan ibadah-nya. Ia merupakan seorang ahli dalam ilmu-ilmu esoterik dan ilahiah, dan menjadi penghubung antara para penyembah de¬ngan Tuhan. Kepatuhan mutlak kepadanya merupakan syarat mutlak ke arah pencapaian pengetahuan tertinggi.

Meskipun posisi Tuanku Syekh atau guru surau tidak tercakup dalam hirarki resmi adat, namun pengaruh mereka tampak jelas terhadap posisi yang ditentukan adat bagi penghulu. Di nagarinya sendiri, Tuanku Syekh dapat memerintahkan kepatuhan penduduk di luar sukunya sendiri. Dalam lingkup supra-nagari, ia berada di luar komunitas adat nagari. Keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan keagamaan secara teoritis mengikat. Para fungsionaris keagamaan yang disebut dalam sistem adat, seperti imam, khatib atau malim hanya sekadar pelaksana hukum Islam. Mereka ditugaskan mengurusi masjid nagari dan melaksanakan ritual-ritual keagamaan, seperti perkawinan, penguburan, dan peringatan keagamaan; fungsi-fungsi yang terkadang juga dila-kukan Tuanku Syekh dan guru-guru surau. Sidang Jumat resmi yang diselenggarakan setelah salat Jumat di masjid hanya dapat mendiskusikan dan memberikan keputusan atas persoalan-per¬soalan keagamaan secara umum. Dalam persoalan khusus, Sidang Jumat harus bertanya kepada Tuanku Syekh untuk mendapatkan fatwa atau pandangan keagamaannya.

Menarik diketahui bahwa guru atau Syekh yang mengajar hanya karena Allah semata, tidak mengharapkan upah/gaji atau honorium. Mereka hanya mendapat pembagian zakat padi atau zakat fitrah sekali setahun, terutama dari murid-muridnya dan orang-orang di sekeliling kampung. Mereka juga memperoleh sedekah di bulan baik. Ada juga yang memperoleh penghasilan dari hasil sawahnya serta hasil ikan tebat di sekitar suraunya.
Di satu sisi, keikhlasan Syekh yang mengajar patut diteladani. Akan tetapi di sisi lain, pada surau-surau tertentu yang tidak memiliki sumber ekonomi cukup membuat kehidupan sebagian mereka "tergantung" dari "pemberian" orang lain. Bahkan tidak jarang di antara murid-murid berkeliling di kampung sambil membawa bungkusan sebagai tempat beras atau bahan pokok lainnya dari masyarakat. Artinya, secara duniawi mereka kurang kreatif, bahkan tidak merasa risih ketika "meminta-minta" dari masyarakat, padahal Islam mengajarkan "lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah".

3. Murid dalam Sistem Pendidikan Surau
Orang yang belajar di surau, disebut murid. Ini mencerminkan sifat sangat alamiah surau awal, karena istilah murid adalah terminologi sufi, yang merujuk kepada pengikut baru yang "bermaksud" mengamalkan tarekat. Dalam konteks sufi, murid menerima pengajaran dari Syekh atau khalifah, pemimpin resmi tarekat. Syekh biasanya memahami murid-muridnya, dan mengajari mereka sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual masing-masing, dan ia mengetahui secara intuitif kapan seorang murid naik dari satu maqat (tingkatan spiritual) ke tahap berikutnya sampai pada akhirnya menjadi penggantinya. Ketika seorang murid telah di¬anggap Syekh layak untuk menjadi penggantinya, ia akan dipanggil secara pribadi dan Syekh kemudian memberinya ijazah atau izin mengajar, dan memasukkan orang baru ke dalam tarekat itu, dan bertindak sebagai wakil Syekh selama ketidak-hadiran Syekh. Biasanya, barangkali sebagai tanda penghormat-an, hanya setelah meninggalnya Syekh, murid yang telah me¬nerima ijazah akan memperoleh gelar Syekh.

Suksesi otoritas dari seorang Syekh sebagai pemimpin tarekat kepada seorang murid tertentu berbeda dengan peralihan kekuasaan dari Syekh sebagai pemimpin surau. Dalam kasusa terakhir, otoritas biasanya diberikan kepada keturunan laki-laki Syekh atau menantu laki-lakinya. Juga penting dicatat murid sebagai seorang pelajar surau (tidak mesti sama murid dalam tarekat) tidak menerima ijazah atau diploma sebagai tanda selesainya studi agamanya di surau.

Dalam perkembangan selanjutnya, murid surau juga disebut urang siak, faqih, dan faqir. Istilah urang siak, faqih dan faqir lebih umum dipakai ketimbang "murid" untuk merujuk kepada orang yang belajar di surau setelah usainya Perang Padri. Istilah "murid" sendiri dalam nuansa lebih belakangan acapkali digunakan untuk merujuk kepada penuntut ilmu yang belajar, baik dalam sistem sekolah Barat maupun madrasah (Islam).

Tidak seluruh orang yang belajar di surau benar-benar ingin menjadi ulama; atau akhirnya betul-betul menjadi seorang ulama. Pendidikan surau umumnya dipandang lebih merupakan bagian penting dari proses di mana orang Minangkabau menjadi seorang Muslim yang baik, warga masyarakat yang patuh, dan anggota komunitas yang tercerahkan. Seseorang menghadiri pendidik¬an surau sesuai dengan kepentingan individuanya; ia menetap di surau selama ia masih belum puas dengan ilmu yang dia butuhkan, dan sebaliknya ia bisa meninggalkannya kapan saja, setelah ia merasa telah cukup "terpelajar". Jika urang siak me-rasa bahwa ia telah mempelajari semua yang disampaikan Syekh atau guru, dan ingin meneruskan kajiannya, ia boleh pindah ke surau lain yang lebih ringgi.

Karena itu, sejak hari-hari pertama pendidikan surau, tradisi murid-murid peripatetik telah berlangsung dengan baik. Urang siak selalu bepergian dari satu surau ke surau lain atau dari seorang Tuanku Syekh ke lainnya guna mempelajari kekhususan masing-masing, sebagaimana halnya yang dilakukan murid-murid kuttdb di Timur Tengah. Urang siak dapat menjadikan di-rinya sendiri sebagai guru di suatu surau, atau membangun surau sendiri ketika ia yakin bahwa ia telah cukup belajar. Tidak ada periode waktu tertentu yang disediakan bagi studi di surau. "Kelulusan" dari surau merupakan keputusan subyektif personal yang dibuat urang siak sendiri, bukan hasil dari kelulusan ujian komprehensif atau ujian lain dalam bentuk apapun. Karenanya, tidak ada ijdzah atau diploma yang dikeluarkan otoritas surau jika urang siak "menamatkan" pelajarannya.

E. Isi/Materi, Metode dan Literatur Keagamaan Sistem Pendidikan Surau
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau mengguna-kan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajar kan pada awalnya masih seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur'an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak, dan ibadat. Pada umumnya, pendidikan ini hanya dilaksanakan pada malam hari.

Sebelum Tahun 1900 M
Secara bertahap, pendidikan surau mengalamai kemajuan. Mahmud Yunus mengklasifikasikan materi pendidikan surau beberapa tahun sebelum tahun 1900 M kepada dua kelompok.

1. Pengajian al-Qur'an.

Pengajian al-Qur'an merupakan pendidikan Islam pertama yang diterima oleh murid di surau. Anak-anak yang belajar masih dalam bentuk halaqah, tanpa adanya bangku dan meja serta tidak berkelas-kelas. Jika dilihat dari tingkatannya, pengajian al-Qur'an ini ada dua tingkat, yaitu:
a. tingkatan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur'an (huruf hijaiyah) dan membaca al-Qur'an. Di samping itu, di tingkat rendah ini diajarkan pula cara-cara mengerjakan ibadah, seperti berwudhu', shalat, dan sebagainya. Begitu pula materi tauhid diajarkan di tingkat ini, seperti sifat dua puluh serta hukum akal yang tiga (wajib, mustahil dan jaiz). Sedangkan materi akhlak diajarkan melalui cerita-cerita seperti kisah Nabi-nabi dan orang-orang shaleh, serta keteladan guru yang diperlihatkan setiap harinya. Biasanya anak-anak belajar di malam hari saja, dan pagi hari sesudah shalat Shubuh.

b. tingkat atas, yaitu tambahan pelajaran tingkat rendah yang meliputi pelajaran membaca al-Qur'an dengan irama (tilawah/mujawad) serta lagu kasidah, barzanji, tajwid dan mengaji kitab perukunan. Dalam pengajian tingkat atas ini terdapat seorang guru yang masyhur, dinamai Qari. Qari ini memiliki beratus-ratus siswa. Qari yang terkenal pandai mengucapkan huruf-huruf al-Qur'an dengan tepat serta dengan lagu yang merdu adalah Qari Batu Hampar, Payakumbuh, Syekh Burhanuddin (w. 1317 H/1900 M).

Adapun lama pelajaran pengajian al-Qur'an tidak memiliki ketentuan baku, ada yang 2, 3, 4 atau 5 tahun lamanya, sesuai dengan kemampuan kecerdasan masing-masing anak. Penting pula disebutkan bahwa pada pengajian al-Qur'an ini anak-anak dilatih shalat berjamaah, khususnya Maghrib, Isya, dan Shubuh.

Tujuan pendidikan surau pada masa ini adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur'an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Jadi, dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca al-Quran dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman akan isi dan makna al-Qur'an tersebut.

Adapun cara mengajarkan huruf-huruf hijaiyah digunakan menurut tertib Qaidah Baghdadiyah. Pertama sekali diperkenalkan 30 huruf (termasuk lam alif), kemudian diajarkan huruf-huruf yang bertitik, satu, dua dan tiga. Setelah itu diajarkan pula tiga bentuk harkat fathah, kasrah dan dhummah dengan ejaan "alif di atas a, alif di bawah i, alif di depan u". Lalu diperkenalkan harkat tanwin fathatain, kasratain, dan dhummatain, dengan ejaan "alif dua di atas an, alif dua di bawah ini, alif dua di depan un". Kemudian diajarkan pula harkat lain, seperti sukun dan tasdid dalam berbagai bentuk kalimat. Butuh 2 atau 3 bulan mempelajari tahap ini.

Setelah anak-anak mengenal huruf dan bentuk-bentuk harkat, mereka diajarkan membaca juz 'Amma yang dimulai dengan surat al-Fatihah, lalu surat an-Naas, al-Falaq hingga ke surat ad-Dhuha. Barulah mereka membaca al-Qur'an pada mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, dan seterusnya hingga khatam.

Kelebihan metode pembelajaran membaca al-Qur'an dalam bentuk ini, anak-anak mengulang-ulang membaca al-Qur'an secara kontiniu hingga khatam dan membacanya dengan irama sehingga menarik hati anak-anak. Namun kekurangan metode ini adalah membutuhkan waktu relatif lama dan anak-anak tidak pandai menulis, padahal belajar membaca al-Qur'an sebaiknya diiringi dengan menulisnya. Agaknya, kekurangan terakhir ini didasari oleh keterbatasan alat tulis ketika itu.

Adapun cara mengajarkan ibadah melalui kitab perukunan yang bertulis Arab-Melayu. Membacanya dilagukan untuk menarik hati anak didik, lalu dijelaskan maksudnya oleh guru, terutama bagi anak di tingkat atas. Pelajaran keimanan dengan cara menghafal sifat 20 lalu menjelaskan maksudnya. Sedangkan pelajaran akhlak dilakukan dengan metode cerita/kisah dan keteladan dari guru. Metode terakhir inilah yang harus dipertahankan karena sangat dibutuhkan dalam mendidik akhlak peserta didik.

2. Pengajian Kitab
Setelah menyelesaikan kedua tingkatan pendidikan di atas, sebagian peserta didik ada yang langsung terjun ke masyarakat dan sebagiannya lagi melanjutkan ke tingkat berikutnya yang disebut "pengajian kitab". Pengajian kitab diajarkan oleh seorang Syekh yang memiliki ilmu agama dengan mendalam. Para murid berdatangan dari berbagai tempat. Mereka belajar tidak hanya di malam hari, tetapi juga di siang hari.

Adapun pengajian yang diajarkan di tingkat ini adalah pengajian kitab yang terdiri dari ilmu sharaf dan nahu (grametika bahasa Arab), ilmu fiqh, ilmu tafsir dan lain-lain seperti ilmu tasawuf. Ilmu-ilmu tersebut diajarkan satu per satu, yakni dimulai dengan ilmu sharaf, setelah tamat baru ilmu nahu, dan seterusnya. Dengan demikian, masing-masing murid hanya belajar satu kitab saja. Karena murid-murid yang ada relatif banyak, maka dihadirkanlah guru bantu yang dinamai guru tua. Sebenarnya guru tua ini adalah murid senior yang lebih pandai sehingga guru tua sesungguhnya adalah guru muda.

a. Ilmu Sharaf
Kitab yang dipakai dalam mengajarkan ilmu sharaf adalah "kitab dhammun", yaitu kitab tulisan tangan dan tidak diketahui siapa pengarang dan tahun terbitnya. Adapun cara mempelajarinya adalah dimuali dengan menghafal kata-kata Arab serta artinya dalam bahasa daerah. Menghafal ini dimulai dari tashrif yang sembilan, tashrif yang empat belas, tashrif mashdar, ismu fa'il dan sebagainya, dengan lagu yang menarik hati.

b. Ilmu Nahu
Kitab yang dipakai dalam mengajarkan ilmu Nahu adalah kitab al-'Awamil al-Mi'at karya 'Abd al-Qahir al-Jurjani yang ketika itu masih ditulis dengan tangan dan tidak kenal siapa pengarang dan tahun terbitnya. Setelah kitab ini tamat, dilanjutkan dengan kitab Muqaddimat al-Ajrumiyyah karya Abu 'Abd Allah al-Ajurrum (w. 723/1323), atau dikenal juga dengan sebutan kitab al-kalamu yang hingga kini masih digunakan di beberapa pesantren salafiyah. Adapun cara mempelajarinya melalui tiga tahap, yaitu membaca matan dalam bahasa Arab, menerjemahkan kata demi kata, dan menerangkan maksudnya.

c. Ilmu Fiqh dan Tafsir
Dalam mempelajari ilmu fiqh, hampir semua surau terkemuka di Sumatera Barat menggunakan kitab al-Minhaj al-Thalibin, karangan Imam Nawawi yang biasanya dikenal oleh masyarakat Minangkabau dengan sebutan "kitab fikih". Kitab ini ditulis tangan dan belum ada yang dicetak sehingga harganya sangat mahal. Sedangkan kitab tafsir yang digunakan adalah kitab tafsir Jalalain yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Mahally (w. 864 H/1460 M) dan Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1512). Kedua ilmu ini diajarkan dengan cara membaca matan berbahasa Arab, lalu menerjemahkan kata per kata dan menjelaskan maksudnya.

Dengan demikian, secara umum metode yang digunakan adalah pemberian ceramah, membaca, dan menghafal. Jelas Syekh atau guru-guru tidak menggunakan metode pembelajaran yang dapat merangsang urang siak berpikir secara kritis dan analisis. Pelajaran diberikan kepada urang siak yang duduk di atas lantai dalam suatu lingkaran di sekitar Syekh atau guru yang membacakan pelajaran tertentu. Metode ini disebut halaqah, dalam pesantren Jawa dikenal dengan metode bandongan. De¬ngan metode ini, seorang Syekh atau guru membaca dan men-jelaskan isi suatu kitab dalam lingkaran murid-muridnya, semen-tara para murid memegang bukunya sendiri; mereka mendengar-kan penjelasan guru dan membuat catatan pada sisi halaman kitab atau dalam buku catatan khusus. Tampaknya, Syekh atau guru juga menggunakan metode pesantren, sorogan, yakni suatu metode di mana seorang murid mengajukan sebuah kitab berbahasa Arab kepada gurunya, dan guru menjelaskan cara membaca dan menghafalnya; dalam hal murid yang sudah maju, guru juga memberikan penjelasan mengenai penerjemahan teks dan juga tafsirnya.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, murid-murid senior akan menjadi guru bagi murid-murid yunior. Para murid senior ini belajar kepada syekh dengan cara melingkar (halaqah). Lama mempelajari ilmu-ilmu di atas juga tergantung kepada kemampuan masing-masing murid. Tidak jarang di antara mereka yang malas dan rendah kemauan dan kemampuannya sehingga tidak bisa mengamalkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat.
Pelajar-pelajar yang telah tamat mempelajari kitab-kitab di atas belumlah diberi gelar Syekh. Mereka harus terlebih dahulu menjadi guru bantu (guru tua) di surau itu beberapa tahun. Jika ia sanggup mengajarkan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ada dalam kitab tersebut, maka murid-murid lain dan Syekh akan mengakui keilmuannya sehingga ia disebut engku muda ('alim muda), atau sebutan lainnya. Setelah itu ia pulang ke kampungnya dan bisa membuka surau baru dengan pola yang relatif sama. Setelah mengajar dalam beberapa tahun dan biasanya telah berusia lebih 40 tahun, barulah masyarakat memberi gelar Syekh (kiyai) atau guru besar. Demikianlah sistem pendidikan surau yang dapat dilacak sebelum tahun 1900.

3. Tarekat sebagai Pendidikan Tasawuf
Selain dari dua bentuk pendidikan—pengajian al-Qur'an dan pengajian kitab—yang diajarkan di Surau di atas, dalam sistem pendidikan surau juga diajarkan tarekat sebagai bentuk pendidikan tasawuf. Bahkan surau Syekh Burhanuddin yang sering disebut-sebut sebagai surau pertama yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam, juga dikenal dengan tarekat Syattariyah -nya. Itu artinya tarekat telah ada sejak awal pertumbuhan surau sebagai lembaga pendidikan Islam.
Melalui pendekatan ajaran tarekat (suluk) Sattariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan ajaran yang menekankan pada kesederhanaan, tarekat Sattariyah berkembang dengan pesat. Bahkan sampai saat ini, di Ulakan-Pariaman, tarekat Sattariyah tetap eksis. Namun, surau sebagai pusat tarekat di masa awal bukan saja mengajarkan tarekat an sich, akan tetapi surau tetap menjadi lembaga pendidikan agama Islam bagi masyarakat Minangkabau.

Pada masa selanjutnya, tampaknya urang siak yang datang untuk belajar, khususnya di surau Syattariyyah, diekspos pada pengajaran Islam secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, terdapat beragam surau Syattariyyah yang mengambil spesialisasi dalam cabang pengajaran Islam yang berbeda-beda. Misalnya, Surau Kamang spesialisasinya dalam ilmu alat, studi mengenai bahasa Arab dan subyek-subyek yang terkait; Surau Kota Gadang dalam 'ilmu mantiq ma'ani, pengungkapan logis makna al-Quran, yang menekankan lebih pada logika daripada perasaan; Surau Sumanik dalam studi hadits, tafsir, dan fara'id; Surau Talam da¬lam bidang nahw (tatabahasa Arab) sama dengan Surau Salayo; sedangkan Surau Koto Tuo dikenal dengan studi tafsirnya, karena ia memiliki seorang ulama dari Aceh yang datang mengajarkan materi itu. Sebuah kitab tipikal Syattariyyah yang disempurnakan seorang guru dari Surau Ulakan pada 1757 menunjukkan bahwa keragaman materi pelajaran tersedia bagi murid-murid Syattariyyah; ada catatan tentang tatabahasa Arab; penjelasan seorang pengarang Arab tentang tatabahasa Arab; catatan me¬ngenai ayat-ayat Al-Quran; catatan berbahasa Melayu menge¬nai pengobatan dan sejumlah cara membantu memilih hari yang baik dan menguntungkan; dan catatan mengenai sintaksis bahasa Arab.

Sejauh menyangkut kutub (buku-buku) tarekat tampaknya yang dipakai di surau sebagian besar adalah karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddiri, Pasai, Syekh Nur Al-Din Al-Raniri, dan 'Abdurrauf Al-Sinkili. Sebagaimana dikemukakan banyak ahli, termasuk Al-Attas, karya-karya para sufi terkemuka tersebut tersebar luas di seluruh Nusantara, termasuk Minangkabau. Pengaruh karya-karya sufi terhadap Minangkabau secara jelas dapat dilihat dalam konsep tentang penciptaan Alam Mi¬nangkabau, dan Syekh Burhanuddin, pendiri pertama surau sebagai lembaga pendidikan, merupakan murid 'Abdurrauf Al-Sinkili. Literatur yang paling terkenal mengenai amalan-amalan Syattariyyah adalah sebuah karya guru asal Gujarat, Al-Tuhfah Al-Mursalah ila Ruh Al-Nabiyy ("Hadiah yang Disampaikan ke-pada Ruh Nabi"). Selain itu, terdapat pula kitab Tanbih al-Mashi yang merupakan satu-satunya karangan Abdurrauf dalam bahasa Arab; judul lengkapnya tertulis sebagai Tanbih al-Mashi al-Mansub ila Tariq al-Qushashi (Petunjuk bagi orang yang menempuh tarekat al-Qushashi). Kitab ini menjadi pedoman dan semacam buku wajib bagi para khalifah serta pengikut tarekat Syattariyah di Indonesia, termasuk di Minangkabau.

Johns, seperti yang dikutip Azra, telah lama berargumen, bahwa Ibrahim Al-Kurani (w. 1689) membuat penjelasan mengenai subyek ini, yang ditujukan bagi kaum Muslim Indonesia atas perintah Ahmad Al-Qusyasyi, guru Ibrahim di Madinah, untuk menanamkan pemahanam yang benar mengenai teks tersebut. Ahmad Al-Qusyasyi juga meru¬pakan guru 'Abdurrauf al-Sinkili. Kemudian, Syamsuddin Pasai, Al-Raniri, dan 'Abdurrauf, semuanya, menggunakan Al-Tuhfah dalam tulisan-tulisannya, dan khususnya yang terakhir, menyebarluaskannya di Sumatera, Jawa, dan Nusantara secara keseluruhan, bersama-sama dengan karyanya sendiri, seperti Daqa"iq Al-Huruf, 'Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufradin, Majmu' Al-Masa'il, Al-Mawa'iz Al-Badi'ah, dan Risalat fi Bayan Syurut Al-Syekh wa Al-Murid.

Al-Tuhfah dan karya-karya 'Abdurrauf berusaha keras menyajikan kepada para pembacanya basis minimum amalan Islam. Tulisan-tulisan Syat¬tariyyah sampai derajat tertentu menjelaskan perlunya menempuh kewajiban syariat sebagai bimbingan kepada kehi-dupan yang benar di atas bumi ini. Hal ini berimplikasi kepada masa-masa selanjutnya dimana kitab-kitab tasawuf, sebagian besar merupakan terjemahan dari kitab yang aslinya berbahasa Arab dan bernuansa syariat semakin diperkenalkan di surau. Karya yang paling terkenal adalah Sayr Salikin, karena merupakan terjemahan atau tepatnya saduran dari karya Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum Al-Din. Penyaduran dilakukan 'Abdul Samad Al-Jawi Al-Palimbani, yang menyelesaikannya pada 1203/1803. Penyaduran kembali sebagian karya Al-Ghazali oleh penulis yang sama menghasilkan kitab Hidayat Al-Salikin. Sementara dalam tarekat Naqsabandiyyah kitab terpenting yang digunakan adalah Fath Al-'Arifin, yang ditulis dan diterbitkan Syekh Ahmad Khatib Al-Sambasi di Kairo dalam bahasa Melayu. Ahmad Khatib Sambas adalah seorang Syekh pembaharu Tarekat Naqsyaban¬diyyah dan Qadiriyyah. Buku terakhir yang juga sangat mungkin digunakan dalam lingkungan surau adalah Kitab Al-Hikam karya Ibn 'Ata'illah dari Iskandariah. Terjemahan bahasa Melayunya ditulis di Tanjung Pinang, Riau.

Masa Perubahan (Tahun 1900 – 1908 M)
Tahun 1900 hingga tahun 1908 disebut Mahmud Yunus dengan masa perubahan. Masa perubahan ini ditandai dengan banyaknya pelajar-pelajar dan guru-guru dari Minangkabau berangkat naik haji ke Mekah lalu menetap di sana untuk memperdalam ilmu agama. Terutama di saat itu ada ulama asal Minangkabau yang menjadi imam di masjid al-Haram Mekah, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Ketika para pelajar ini pulang ke tanah air, mereka pun mengajarkan kitab-kitab yang mereka dapatkan di Mekah. Adapun materi pendidikan Islam beserta literatur yang digunakan pada masa perubahan ini adalah:
1. Pengajian al-Qur'an, tetap dilaksanakan seperti masa sebelumnya.
2. Pengajian Kitab. Pengajian kitab ini mengalami perkembangan jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Ada beberapa tingkat dalam pengajian kitab, yaitu:
a. Mengaji Nahu, Sharaf, dan Fiqh dengan memakai kitab Muqaddimat al-Ajrmiyyah karya Abu 'Abd Allah al-Ajurrum (w. 723/1323), matan Bina, Fathul Qarib, dan sebagainya.
b. Mengaji Tauhid, Nahu, Sharaf dan Fiqh dengan memakai kitab: Sanusi, Syekh Khalid (Azhari, Asymawi), Kailani, Fathul Mu'in dan sebagainya.
c. Mengaji Tauhid, Nahu, Sharaf, Fiqh, Tafsir dan lain-lain dengan memakai kitab-kitab: Kifayatul 'Awam (Ummul Barahin), al-Fiyah, Ibn 'Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidhawi, dan sebagainya.

Selain dari pelajaran-pelajaran di atas, ditingkat terakhir juga diajarkan ilmu mantiq, Balaghah, Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab: Sullam, Idhahul Mubham, Jauhur Maknun/Talkhish, Ihya' Ulumuddin, dan sebagainya. Adapun kitab Dhammun dan al-'Awamil yang dulunya digunakan dengan tulisan tangan, tidak lagi dipakai pada masa perubahan ini. Kitab-kitab yang dipakai juga tidak lagi bertulis tangan, akan tetapi semuanya dicetak. Kitab dalam bentuk cetakan ini dibawa dari Mekah dan sebagiannya dari Mesir. Tetapi ada juga yang berasal dari Mesir, seperti yang banyak dipesan oleh toko buku Syekh Ahmad Khalidi Bukittinggi.

Melalui kitab yang terakhir inilah aliran baru mulai masuk ke ranah Minang, seperti majalah al-manar, dan pemikiran-pemikiran lain yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Said Rasyid Ridha, dan sebagainya. Kehadiran kitab-kitab ini turut mempengaruhi berkembangnya "kaum muda" yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah di Sumatera Barat, sebab K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri organisasi ini banyak terpengaruh dengan pemikiran ulama Mesir di atas. Biasanya pelajaran di atas berlangsung pada pukul 08 s.d. 10.30 untuk tiga mata pelajaran. Kemudian dilakukan lagi pada malah harinya sesudah Maghrib dari pukul 07. s.d. 09.30 untuk tiga mata pelajaran pula. Jadi ada enam pelajaran dalam sehari.

Metode yang digunakan pada masa perubahan ini masih menggunakan sistem halaqah. Hanya saja di tingkat atas, murid-murid banyak yang memiliki kitab sehingga ketika guru membaca kitab, setiap murid menyimak kitab mereka masing-masing. Untuk lebih jelasnya, Mahmud Yunus membandingkan sistem lama dengan sistem masa perubahan dalam pelaksanaan pendidikan surau:

No Sistem Lama Sistem Baru
1 Pelajaran ilmu-ilmu itu diajarkan satu demi satu Pelajaran ilmu-ilmu itu dihimpunkan 2 sampai 6 ilmu sekaligus.
2 Pelajaran ilmu Sharaf didahulukan dari ilmu Nahu Pelajan ilmu Nahu didahulukan/ disamakan dengan ilmu sharaf.
3 Buku pelajaran yang mula-mula dikarang oleh ulama Indonesia serta diterjamahkan dengan bahasa Melayu Buku pelajaran semuanya karangan ulama Islam dahulu kala, dan dalam bahasa Arab.
4 Kitab-kitab itu umumnya tulisan tangan Kitab-kitab itu semuanya dicetak (dicap).
5 Pelajaran suatu ilmu, hanya diajarkan dalam satu macam kitab saja. Pelajaran suatu ilmu diajarkan dalam beberapa macam kitab: rendah, menengah, dan tinggi.
6 Toko kitab belum ada, hanya ada orang pandai menyalin kitab dengan tulisan tangan. Toko kitab telah ada yang dapat memesankan kitab-kitab ke Mesir/ Mekah.
7 Ilmu agama sedikit sekali, karena sedikit bacaan. Ilmu agama telah luas berkembang, karena telah banyak kitab bacaan.
8 Belum lahir aliran baru dalam Islam. Mulai lahir aliran baru dalam Islam yang dibawa oleh majalah al-Manar Mesir.

Tabel: Perbedaan Sistem Pendidikan Surau antara Sistem Lama
(sebelum tahun 1900 M) dengan Sistem Perubahan (1900 – 1908 M).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa literatur keagamaan yang digunakan, jika ditinjau dari ilmu fiqh mereka menganut mazhab Syafi'i. Sedangkan kitab-kitab keimanan/tauhid bercirikan teologi Asy'ari dan kitab-kitab akhlak lebih terpengaruh dengan karya-karya al-Ghazali yang bernuansa akhlak-tasawuf.

Jika dilihat keseluruhan kitab yang digunakan di surau tersebut, sangat jelas bahwa semuanya ditulis pada abad pertengahan Is¬lam, yang merupakan periode di mana Islam tengah mengalami masa kemunduran. Terutama pada masa awal, seperti yang disebut Mahmud Yunus sebagai sistem lama, tidak ada kitab yang ditulis pada abad klasik, masa kegemilangan intelektual Islam, atau masa keemasan Is¬lam yang digunakan sebagai kitab standar di surau, apalagi kitab-kitab abad modern—zaman di mana Islam mulai memasuki peradaban modern. Karena alasan ini, tampaknya orang-orang surau umumnya tidak mempelajari Islam dari dua sumber utamanya, Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Tidak ada kitab standar apapun pada periode klasik yang memfokuskan isinya pada Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang digunakan di surau. Karena itu, orang-orang surau mengenal ajaran-ajaran Islam sebagian besar dari kutub tarekat atau kutub fikih. Ini tidak dapat dielakkan lagi mempengaruhi pandangan dunia (world-view) surau tentang Islam, baik tentang tarekat, pandangan sufi, maupun fikih, yang merupakan sudut pandang legalistik.

Selain itu, alasan ini juga turut mempengaruhi perkembangan Islam di Minangkabau pada era awal yang masih bernuansa bid'ah, tahayul, dan khurafat. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan pendidikan surau beberapa kali mendapat tantangan dan menimbulkan konflik, baik dari kalangan tarekat sendiri maupun dari kaum muda, seperti gerakan Padri dan tokoh-tokoh muda yang pernah belajar di Mekah, khususnya belajar kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy.

F. Melemahnya Sistem Pendidikan Surau
Pertanyaan yang sering muncul tentang sistem pendidikan surau adalah kenapa pendidikan surau tidak bertahan di Minangkabau seperti layaknya pesantren yang masih eksis di Jawa bahkan ke daerah-daerah lain di luar jawa?

Ada beberapa hal yang perlu dicermarti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, munculnya gerakan pembaharuan yang dipengaruhi oleh Modernisasi Islam. Seperti yang telah disinggung di atas, surau sebagai lembaga yang telah dikenal pra-Islam sesungguhnya telah diadaptasikan oleh para penyebar Islam dan dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam. Namun, proses adaptasi dan akulturasi ini mengakibatkan ajaran Islam bercampur dengan hal-hal yang bernuansa bid'ah dan tahayul. Hal ini juga turut disebabkan oleh kedatangan Islam yang banyak dipengaruhi dan dibawa oleh kaum sufistik yang juga memanfaatkan budaya lokal untuk mempertahankan ajarannya. Akibatnya, praktik ajaran Islam yang memanfaatkan surau akhirnya mendapat tantangan dari kaum terpelajar yang datang sesudanya.

Kehadiran kaum terpelajar—kaum muda—tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh modernisasi Islam yang berkembang di abad ke-19, khususnya gerakan pembaharu Mesir seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Itu sebabnya, sejak tahun 1890-an, Minangkabau kembali dilanda gerakan pembaharuan yang digerakkan oleh Syekh Khatib al-Minangkabawy terhadap murid-muridnya asal Minangkabau. Ketika mereka kembali ke Minangkabau, mereka dikenal sebagai kaum muda yang menggerakkan kembali serangan, khususnya terhadap tarekat dan surau-suraunya dan terhadap apa yang mereka sebagai bid'ah dalam amalan keagamaan. Serangan terhadap tarekat lebih difokuskan kepada sifat orang-orang tarekat yang menurut mereka suka lari dari kenyataan. Termasuk kecenderungan mereka hanya kepada pengajaran agama saja dan mengabaikan, bahkan mencegah kalangan muda menuntut ilmu pengetahuan yang berdasarkan nalar.

Kedua, pengaruh urbanisasi. Kebijakan ekonomi Belanda yang menghapuskan monopoli kopi dan memperkenalkan pajak pada tahun 1908 membuat kota-kota, seperti Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang, Pariaman dan sebagainya menjadi pusat-pusat ekonomi-administratif di daerahnya. Disinilah terjadi proses urbanisasi. Proses urbanisasi ini sangat mungkin memperlemah hubungan ¬mamak-kemanakan. Dengan kata lain, keluarga-keluarga Minangkabau cenderung menjadi keluarga inti yang mengikuti sistem keluarga patrilinial daripada sistem lama yang matrilineal. Akibatnya jumlah anak laki-laki yang tinggal di surau semakin menurun karena mereka telah memiliki kamar di rumahnya sehingga surau hanya berfungsi sebagai tempat mengaji al-Qur'an dan ilmu dasar Islam, tanpa tinggal beberapa tahun di sana. Jadi, fungsi surau sebagai lembaga pendidikan Islam untuk menempa masa depan anak-anak dengan menuntut ilmu agama mulai terabaikan, terutama oleh keluarga di pusat-pusat kota.

Ketiga, munculnya pendidikan sekuler yang digagas oleh penjajah Belanda. Kemenangan kaum liberal di parleman Belanda awal tahun 1900-an mebuat pemerintah kolonial Belanda harus menjalankan "etische politiek". Akibatnya mereka mendirikan sekolah pribumi tetapi sekuler. Bahkan guru berpendidikan Barat turut mempengaruhi masyarakat untuk menyekelohkan anaknya ke sekolah Belanda dan menganggap surau sebagai sekolah agama telah ketinggalan zaman. Meskipun tidak begitu banyak yang merespon propoganda tersebut, tetapi ia juga menjadi tantangan bagi pendidikan surau.

Keempat, munculnya pendidikan modern yang dibawa oleh kaum muda. Pendidikan modern yang dikembangkan oleh kaum muda ada yang berupa madrasah, seperti yang didirikan pertama kalinya oleh Haji Latif Syakur di Kamang Bukittinggi, Madrasah al-Tarbiyah al-Hasanah di Tengah Sawah Bukittinggi, Madrasah Diniyah dan sebagainya yang memperkenalkan sistem kelas dan belajar menggunakan kursi, meja dan papan tulis. Bahkan kaum muda juga ada yang mendirikan sekolah umum seperti Haji Abdullah Ahmad, tetapi tetap mengajarkan ilmu agama dan membaca al-Qur'an sehingga sekolah ini merupakan kombinasi antara "agama" dengan "sekuler". Dalam perkembangannya, sekolah dalam bentuk madrasah dan sekolah "kombinasi" sekolah sekuler dengan agama semakin berkembang dan diminati oleh masyarakat, sementara surau tidak mampu berkembang secara kreatif untuk menandingi perkembangan tersebut.

Keempat, karakteristik masyarakat Minangkabau yang inklusif dan merubah perubahan. Sistem matrilineal yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau turut mendorong anak laki-laki untuk merantau mencari nafkah buat anak kemanakannya. Budaya merantau yang sudah turun-temurun ini membuat masyarakat Minangkabau berkarakter inklusif, terbuka terhadap hal-hal yang baru dan cenderung menerimannya. Arus modernisasi yang semakin deras dengan paham materialismenya turut mempengaruhi masyarakat Minangkabau memiliki pola pikir yang serupa. Akibatnya, pendidikan surau dianggap tidak menjanjikan dari segi materil sehingga sekolah-sekolah umum yang dianggap lebih menjanjikan menjadi alternatif buat pendidikan anak-anak mereka.

Beberapa alasan di atas mengakibatkan pendidikan surau pun semakin ditinggalkan. Akhirnya surau tidak lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan seperti pada masa kejayaannya, melainkan hanya sebagai tempat shalat dan tempat mengaji al-Qur'an, seperti langgar atau mushalla yang juga dikenal di daerah-daerah lain. Dengan demikian, surau—meminjam istilah Azyumardi Azra—kian tarandam.

G. Reaktulisasi Sistem Pendidikan Surau dalam Konteks Kekinian
Beberapa tahun terakhir muncul gagasan tentang "Babaliak ka Surau". Namun konsep yang ditawarkan tidak menemukan formulasi yang jelas untuk diimplementasikan dalam konteks kekinian. Padahal, jika ditelusuri dalam perjalanannya, sistem pendidikan surau telah menghasilkan beberapa ulama besar, seperti Hamka, Muhammad Natsir, Bey Arifin, dan sebagainya.

Meskipunn sistem pendidikan surau yang pernah jaya tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, akan tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya patut untuk diaktulasasikan. Di antara nilai-nilai tersebut adalah: pertama, kharismatik dan keteladanan Syekh bagi murid-muridnya. Guru di sekolah, baik pesantren, madrasah atau sekolah umum saat ini mesti menjadi teladan bagi anak didiknya sekaligus berwibawa. Dengan keteladanan itu akan sangat efektif untuk membinda dan mendidik akhlak siswa.

Kedua, melaksanakan pendidikan terpadu antara rumah, sekolah, dan masjid. Jika dalam sistem pendidikan surau anak laki-laki lebih banyak mendapat pendidikan dalam surau, tetapi mereka juga memiliki latar belakang pendidikan dari orang tuanya di rumah. Karena pola seperti ini tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam kekinian, maka perlu dirumuskan formulasi pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan rumah, sekolah dan masjid. Lagi-lagi dalam hal ini peran guru sangat menentukan dengan keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa pendidikan di masjid.

Ketiga, meningkatkan pendidikan al-Qur'an. Seperti yang tampak dalam pendidikan surau, tingkat pertama yang diajarkan adalah pengajaran al-Qur'an. Hal ini mesti dikembangkan mengingat Sumatera Barat masih tetap memagang dan mengakui falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Pendidikan al-Qur'an tidak hanya dilakukan di masjid, akan tetapi harus dibiasakan di rumah dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah formal, baik berupa kurikulum muatan lokal maupun dalam bentuk pengembangan diri.
Dengan demikian, pola pendidikan "babaliak ka surau" tidak harus mengajak anak laki-laki tidur di masjid dan mengabaikan lembaga pendidikan, akan tetapi hemat penulis nilai-nilai pendidikan surau tersebut dapat diaktualisasikan di rumah dan sekolah.

H. Penutup
Dari uraian tentang sistem pendidikan surau di atas dapat disimpulkan bebarapa hal, yaitu: pertama, surau merupakan lembaga sosial budaya yang dikenal oleh masyarakat Minangkabau sebelum datangnya Islam. Para penyebar Islam, khususnya dari kalangan sufistik, menyebarkan Islam dengan cara fleksibel dengan melakukan adaptasi terhadap budaya lokal. Maka surau diadaptasi dan diislamisasikan untuk dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam, baik dalam mengajarkan al-Qur'an sebagai pedoman kehidupan umat, mempelajari ilmu-ilmu dasar Islam, termasuk sebagai lembaga pendidikan tarekat.

Kedua, karakteristik sistem pendidikan surau dapat dilihat dari segi jumlah muridnya yang dibagi kepada surau besar, sedang dan menengah. Selain itu, Syekh memiliki otoritas dan sangat menentukan kemajuan surau tersebut. Sedangkan murid-muridnya tidak hanya dari nagari setempat, tetapi ada juga dari daerah lain. Menariknya, pendidikan yang dilangsungkan tanpa pungutan biaya. Mereka hidup dari usaha masing-masing, atau hasil pemberian sedekah, hadiah atau bentuk lain dari masyarakat sekitar. Ada pula dari sawah atau tebat yang ada di sekitar surau tersebut.

Ketiga, isi pendidikan surau dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu pengajaran al-Qur'an dan pendidikan kitab. pengajaran al-Qur'an diberikan paling utama kepada peserta didik yang belajar agama di surau. Jika telah tuntas, mereka akan belajar kitab tentang grametika bahasa Arab (Nahu Sharar), kitab-kitab fiqh, akhlak, tauhid, fara'id, dan sebagainya yang berkenaan dengan ilmu-ilmu agama (tafaqqahu fi al-din). Metode yang dilakukan lebih banyak bersifat hafalan dan menggunakan sistem halaqah.

Keempat, literatur keagamaan yang berkembang saat itu lebih dipengaruhi oleh kitab-kitab yang datang dari Timur Tengah pasca kejayaan Islam. Dengan kata lain, kitab yang digunakan lebih banyak bernuansa sufistik Imam al-Ghazali, bermazhab Syafi'i dan berteologi al-Asy'ari. Karena perkembangan literatur keagamaan yang muncul di saat Islam mundur mengakibatkan pemahaman ajaran Islam tidak lagi murni, disamping adanya proses adaptasi budaya lokal yang bernuansa magis, tahayul dan bid'ah. Akibatnya, pendidikan surau beberapa kali mendapat tantangan dan konflik, baik dari antar tarekat sendiri (Naqsabandiyah dengan Syattariyyah), maupun dari gerakan kaum Padri dan gerakan kaum Muda awal abad ke-20.

BIBLIOGRAFI


Azra, Azyumardi, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003
_____________, Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Yakarta: Kencana, 2007
Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981
Fathurrahman, Oman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group bekerja sama dengan Ecole francaise d'Extreme-Orient, PPIM UIN Jakarta dan KITLV – Jakarta, 2008
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Nata, Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005
________, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo: 2001
Raharjo, Dawam (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, Yakarta: LP3ES, 1995
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung: 1993


Baco Tokhus....