Jumat, April 17, 2009

Makalah Sejarah Pendidikan Islam

SISTEM PENDIDIKAN SURAU:
KARAKTERISTIK, ISI, DAN LITERATUR KEAGAMAAN
Oleh: Muhammad Kosim, MA

A. Pendahuluan

Pendidikan memiliki peranan penting dalam mewariskan nilai-nilai kebenaran yang diyakini oleh suatu generasi ke generasi berikutnya. Demikian halnya dengan ajaran Islam yang sarat nilai (full values), pendidikan—dalam konteks Islam biasa disebut pendidikan Islam—merupakan sarana yang paling efektif untuk mengembangkan potensi manusia secara optimal sesuai dengan fitrahnya. Dalam sejarah perkembangannya, pelaksanaan pendidikan Islam berkembang secara dinamis dan varian. Bahkan pendidikan Islam mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan sosial-cultural dimana ia berada.

Dalam konteks sejarah pendidikan di Minangkabau, lembaga "surau" memainkan peranan yang amat penting dalam membina dan mendidik masyarakat untuk memahami adat dan mengamalkan syariat. Dengan begitu, surau tidak hanya dipandang sebagai tempat beribadah secara mahdhah seperti shalat, akan tetapi surau juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam yang beradaptasi dengan budaya setempat. Fakta lain juga menunjukkan bahwa surau telah berhasil melahirkan ulama-ulama besar dari Minangkabau yang berperan di tingkat nasional, bahkan di tingkat internasional.

Oleh karena itu, sistem pendidikan surau yang pernah terlaksana di Sumatera Barat menarik untuk dikaji. Meskipun dewasa ini fungsi surau telah mengalami pergeseran, namun sistem pendidikan yang diterapkan di surau patut dipahami oleh generasi saat ini sehingga nilai-nilai pendidikannya dapat diaktualisasikan dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Untuk itu, makalah ini akan melacak akar sejarah surau di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan Islam serta mengkaji sistem pendidikan surau yang meliputi karakteristik, isi dan literatur keagamaan yang diterapkan. Metode kajian yang dilakukan dalam makalah ini adalah metode deskriptif-analitis, dengan menggunakan sumber kepustakaan (library research).

B. Awal Perkembangan Surau
Istilah Surau—kadang-kadang dibaca singkat suro—adalah kata yang banyak tersebar di Asian Tenggara. Sejak dulu, istilah ini tampaknya telah digunakan secara meluas di Minangkabau, Tanah Batak, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya dan Patani (Thailand Selatan) da¬lam arti yang sama. Secara linguistik, kata surau berarti "tem¬pat" atau "tempat ibadah". Jadi, surau adalah sebuah bangunan kecil yang aslinya dibangun untuk menyembah nenek moyang kuno. Karena alasan ini, surau paling awal biasanya didirikan di atas tempat yang paling tinggi atau setidaknya lebih tinggi dari bangunan lain. Juga sangat mungkin, bahwa surau berkaitan erat dengan kebudayaan desa, karena kebanyakan surau ditemukan di daerah pedesaan, meskipun dalam perkembangannya kemu¬dian surau juga dapat ditemukan di perkotaan.

Setelah Islam datang, surau mengalami proses Islamisasi. Hal itu dapat dilihat dari perubahan nama dan bentuk tempat peribadatan berhala kuno tersebut. Di beberapa daerah, bekas surau Hindu-Budha, terutama yang terletak di daerah terpencil seperti puncak bukit, hilang dengan cepat karena ekspansi Islam. Karena itu, surau Islam biasanya dapat ditemukan dekat tempat tinggal penduduk. Tetapi, sisa-sisa karakter sakral surau pra-Islam dalam beberapa kasus masih dapat dilihat, khususnya pada bagian atapnya yang bertingkat. Di Minangkabau, misalnya, banyak surau memiliki sejumlah puncak atau gonjong yang merefleksikan simbol-simbol adat. Disini tempak jelas bahwa Islam juga mengalami akuluturasi budaya dimana agama beradaptasi dengan simbol-simbol adat pra-Islam sekaligus sebagai bentuk suatu pengakuan Islam terhadap lingkungan dan budaya lokal yang masih hidup.

Selain itu, struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, juga membuktikan bahwa surau telah dikenal sebelum masuknya Islam ke Minangkabau. Dalam sistem matrilineal, kaum lelaki tidak memiliki kamar tidur di rumah orang tuanya. Karenanya mereka akan menempati surau di malam hari sebagai tempat tidur. Ketika mereka nikah, ia hanya tamu "yang berkunjung" di rumah istri-istrinya, dan bahkan di rumah asalnya. Pada masa tua, jika istrinya meninggal atau cerai, maka ia—yang telah berstatus duda—kembali tinggal di surau. Dengan demikian, surau dijadikan sebagai tempat berkumpulnya laki-laki lajang yang sudah baligh, laki-laki duda, serta tempat persinggahan laki-laki perantau. Jadi, surau memiliki fungsi sosial-budaya, yaitu sebagai tempat pertemuan para pemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka.

Dengan adanya fungsi surau seperti di atas, maka surau memiliki peran strategis sebagai lembaga pendidikan untuk mewariskan adat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ketika Islam datang, surau pun diberdayakan sebagai lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat persinggahan akan tetapi menjadi lembaga pendidikan, baik adat maupun syariat.

C. Surau sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, ketika Islam datang, surau diberdayakan sebagai lembaga pendidikan Islam. Mahmud Yunus menyebutkan, Syekh Burhanuddin adalah orang yang pertama kali menjadikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam.

Syekh Burhanuddin berjasa besar dalam mensyiarkan ajaran Islam di Minangkabau. Nama besar Syekh Burhanuddin sebagai penyiar agama Islam di Minangkabau tampaknya didukung oleh kemampuannya dalam mendesain surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Di surau ini, ia mendidik murid-muridnya untuk memahami ajaran Islam sekaligus menerapkan tarekat Syattariyyah. Surau tersebut terletak di Ulakan Pariaman.

Hanya saja tidak ditemukan penjelasan tentang cara dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam ketika itu, apa kitab yang mula-mula diajarkan dan kitan apa pula sambungannya sampai tamat dalam pembelajaran yang dilakukan.

Meskipun sistem pendidikan surau di era Syekh Burhanuddin tidak ditemukan secara jelas, akan tetapi pada era selanjutnya ditemukan beberapa bukti dan penjelasan tentang sistem pendidikan Islam di surau, termasuk yang dikembangkan oleh murid-muridnya. Oleh karena itu, berikut ini akan dijelaskan sistem pendidikan surau yang meliputi karakteristik, isi/materi pembelajaran, dan literatur keagamaan yang digunakan.

D. Karakteristik Sistem Pendidikan Surau
Karakteristik sistem pendidikan surau dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Klasifikasi surau berdasarkan jumlah murid
Verkerk Pistorious, seorang pejabat Belanda, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, pernah mengunjungi Minangkabau guna mengamati berbagai lembaga keagamaan di daerah ini. la pun membagi surau-surau yang dikunjunginya ke dalam tiga kategori: surau kecil, yang dapat menampung sampai 20 murid; surau sedang, 80 murid; dan surau besar antara 100 sampai 1000 murid. Surau kecil kurang lebih sama dengan surau keluarga—atau sedikit lebih luas dari itu, yang umumnya dikenal sebagai surau mangaji (surau tempat belajar membaca Al-Quran dan melakukan shalat). Surau kateogri ini lebih kurang sama dengan "langgar" atau musala. Jenis surau seperti ini biasanya hanya mempunyai seorang guru yang sekaligus bertindak sebagai imam surau. Sebaliknya, surau sedang dan besar dengan sengaja didirikan untuk tempat pendidikan agama dalam pengertian lebih luas. Dengan kata lain, surau sedang dan surau besar tidak sekadar berfungsi sebagai rumah ibadah seperti yang dilakukan surau mangaji, tetapi yang lebih penting, sebagai pusat pendidikan agama di mana ajaran Islam yang lebih luas dalam berbagai aspeknya diajarkan kepada murid-murid.

Surau sebagai lembaga pendidikan lengkap atau besar merupakan komplek bangunan yang terdiri dari masjid, bangunan-bangunan untuk tempab belajar, dan suaru-surau kecil yang sekaligus menjadi pemondokan murid-murid yang belajar di surau. Prototype suaru seperti ini adalah Surau Ulakan yang didirikan Syekh Burhanuddin. Selanjutnya surau seperti ini dikembangkan ke wilayah Darek, seperti Surau Koto Tuo (Tuanku Nan Tuo) Agam yang memiliki distingsi dalam bidang tafsir; Surau Kotogadang yang terkenal sebagai pusat ilmu mantiq dan ma'ani; Surau Sumanik, tersohor kuat dalam tafsir dan fara'id; Surau Kamang, terkenal karena kuat dalam ilmu-ilmu bahasa Arab; Surau Talang, dan Surau Salayo, yang keduanya terkenal dalam bidang Nahu-Sharaf. Keseluruhan surau ini mencapai puncak kejayaannya dalam masa pra-Padri.

Pasca perang Padri, surau besar dan terkenal yang masih bertahan adalah Surau Batuhampar, dekat Payakumbuh, yang dibangun Syekh 'Abdurrahman (1777-1889) . Kompleks surau terdiri dari sekitar 30 bangunan, termasuk beberapa bangunan utama, seperti masjid, penginapan bagi pengunjung, surau kecil untuk murid, surau untuk suluk, dan Iain-lain. Urang siak tinggal di banyak surau kecil sesuai dengan asal usul geografisnya. Karena itu, terdapat Surau Suliki, Surau Tilatang Kamang, Surau Solok, Surau Pariaman, Surau Padang, Surau Jambi, Surau Bengkulu, Surau Palembang, dan sebagainya. Nama-nama surau tersebut mengindikasikan bahwa urang siak di Surau Batuhampar berasal tidak hanya dari daerah Minangkabau, tetapi juga dari banyak bagian lain di Sumatera. Jumlah urang siak di Surau Batuhampar berkisar antara 1000 sampai 2000. Jumlah tertinggi murid dicapai ketika kepemimpinan surau dipegang Syekh Arsyad, anak Syekh 'Abdurrahman. Meskipun Surau Batuhampar mengalami banyak kemunduran, tetapi masih eksis di bawah kepemimpinan Syekh Dhamrah Arsyadi, cicit Syekh 'Abdurrahman, pendiri surau.

Wakil surau besar lainnya adalah Surau Tuanku Syekh Silungkang di daerah Solok. Surau ini pernah dikunjungi para pejabat Belanda pada 1860-an.52 Surau ini dibangun Tuanku Syekh dengan bantuan tidak hanya penduduk desa setempat, tetapi juga penduduk desa lain, persis setelah kepulangannya dari Makkah. la dianggap sebagai surau terindah dengan hiasan paling baik di Dataran Tinggi Minangkabau. Bangunan utama terdiri dari 7 rumah kayu, 2 di antaranya untuk murid-murid perempuan dan sisanya untuk murid laki-laki, yang sebagian besar berasal dari desa lain. Setiap surau kecil menampung 20 sampai 30 murid di bawah seorang guru tuo (guru senior). Selama siang hari, para murid membantu guru mereka di sawah dan kebun, menjadikan surau hampir kosong. Semua jenis pengajar-an, termasuk amalan tarekat, dilakukan pada sore dan malam hari di bawah bimbingan guru-guru dan Syekh sendiri. Seperti surau besar lainnya, Surau Silungkang membentuk suatu komunitas di mana masalah pengajaran agama tidak terpisah dari pengajaran kemampuan keterampilan yang diperlukan un¬tuk kehidupan sehari-hari. Tetapi, Surau Silungkang merosot de¬ngan cepat setelah meninggalnya Syekh Muhammad Saleh, sang pendiri, pada 1872, karena tak seorang pun di antara keturunan dan murid-muridnya yang cukup mampu melanjutkan kepe¬mimpinan itu.

Surau-surau besar yang berkembang dengan para tuanku yang terkenal biasanya mampu menarik ratusan bahkan ribuan murid. Surau besar seringkali terdiri dari sejumlah bangunan utama, termasuk masjid yang dimiliki Tuanku Syekh. Para murid tinggal di bangunan surau-surau yang lebih kecil di sekitar bangunan-bangunan utama. Surau besar bisa jadi memi¬liki sekitar 20 surau untuk pemondokan yang secara khusus diperuntukkan bagi murid-murid. Surau pemondokan dibagi-bagi di antara murid-murid yang datang dari berbagai wilayah geografis yang berbeda-beda; dan surau-surau pemondokan itu biasanya dibangun oleh murid-murid dari masing-masing wilayah asalnya. Jadi, setiap kelompok murid pada dasamya mewakili komunitasnya masing-masing dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Dan, setiap kelompok itu berada di bawah pengawasan seorang guru yang mengawasi kemajuan studi dan kesejahteraan mereka.

Untuk mendukung kebutuhan dan kesejahteraan murid-murid tersebut, surau diorganisasi atas dasar ekonomi. Terkadang murid-murid harus membantu Syekh atau guru mereka di kebun atau sawah yang umumnya diwakafkan orang-orang di sekitar kompleks surau. Proses belajar juga sering dihentikan selama kesibukan musim tanam dan musim menyabit. Hasil usaha pertanian itu biasanya digunakan untuk memelihara dan meningkatkan surau dalam berbagai segi. Beberapa surau besar memiliki lapau atau kedai di kompleksnya yang biasanya dikelola murid-murid sendiri. Para murid senior dan mereka yang merasa telah beberapa tahun mengabdikan dirinya dalam studi menekuni keahlian tertentu, seperti pekerjaan perkayuan, dan pertukangan, di mana mereka memperoleh pendapatan.

Organisasi kepemimpinan surau besar tampak begitu sederhana. Di puncak tertinggi adalah Tuanku Syekh dan wakil-wakilnya-anaknya atau menantunya jika ia tidak mempunyai keturunan laki-laki. Di bawah mereka adalah guru-guru, baik mereka yang merupakan murid-murid sangat senior ataupun mereka yang diundang mengajar di surau itu sesuai dengan kompetensi dan pengalaman mereka. Tuanku Syekh biasanya bertanggung jawab atas pengajaran murid-murid lebih tinggi atau senior, sementara guru-guru ditugaskan pada "tingkat" yang lebih rendah atau yunior. Masing-masing mereka mempu¬nyai kelompok murid sendiri-sendiri di bawah pengasuhannya.

2. Kepemimpinan dalam Sistem Pendidikan Surau
Tuanku Syekh adalah personifikasi dari surau itu sendiri. Karena itu, prestise surau banyak bergantung pada pengetahuan, kesalehan, dan karisma Tuanku Syekh. Tidak mengherankan bahwa surau yang terkenal dapat merosot dengan cepat atau sirna seketika setelah meninggalnya Tuanku Syekh, terutama jika tidak ada seorang anak laki-laki atau menantu laki-laki yang cukup kompeten untuk meneruskan kepemimpinannya atau cukup beruntung menerima aura Tuanku Syekh.

Tuanku Syekh tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sekaligus sebagai pe¬mimpin spiritual mereka yang ingin mengintensifkan ibadah-nya. Ia merupakan seorang ahli dalam ilmu-ilmu esoterik dan ilahiah, dan menjadi penghubung antara para penyembah de¬ngan Tuhan. Kepatuhan mutlak kepadanya merupakan syarat mutlak ke arah pencapaian pengetahuan tertinggi.

Meskipun posisi Tuanku Syekh atau guru surau tidak tercakup dalam hirarki resmi adat, namun pengaruh mereka tampak jelas terhadap posisi yang ditentukan adat bagi penghulu. Di nagarinya sendiri, Tuanku Syekh dapat memerintahkan kepatuhan penduduk di luar sukunya sendiri. Dalam lingkup supra-nagari, ia berada di luar komunitas adat nagari. Keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan keagamaan secara teoritis mengikat. Para fungsionaris keagamaan yang disebut dalam sistem adat, seperti imam, khatib atau malim hanya sekadar pelaksana hukum Islam. Mereka ditugaskan mengurusi masjid nagari dan melaksanakan ritual-ritual keagamaan, seperti perkawinan, penguburan, dan peringatan keagamaan; fungsi-fungsi yang terkadang juga dila-kukan Tuanku Syekh dan guru-guru surau. Sidang Jumat resmi yang diselenggarakan setelah salat Jumat di masjid hanya dapat mendiskusikan dan memberikan keputusan atas persoalan-per¬soalan keagamaan secara umum. Dalam persoalan khusus, Sidang Jumat harus bertanya kepada Tuanku Syekh untuk mendapatkan fatwa atau pandangan keagamaannya.

Menarik diketahui bahwa guru atau Syekh yang mengajar hanya karena Allah semata, tidak mengharapkan upah/gaji atau honorium. Mereka hanya mendapat pembagian zakat padi atau zakat fitrah sekali setahun, terutama dari murid-muridnya dan orang-orang di sekeliling kampung. Mereka juga memperoleh sedekah di bulan baik. Ada juga yang memperoleh penghasilan dari hasil sawahnya serta hasil ikan tebat di sekitar suraunya.
Di satu sisi, keikhlasan Syekh yang mengajar patut diteladani. Akan tetapi di sisi lain, pada surau-surau tertentu yang tidak memiliki sumber ekonomi cukup membuat kehidupan sebagian mereka "tergantung" dari "pemberian" orang lain. Bahkan tidak jarang di antara murid-murid berkeliling di kampung sambil membawa bungkusan sebagai tempat beras atau bahan pokok lainnya dari masyarakat. Artinya, secara duniawi mereka kurang kreatif, bahkan tidak merasa risih ketika "meminta-minta" dari masyarakat, padahal Islam mengajarkan "lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah".

3. Murid dalam Sistem Pendidikan Surau
Orang yang belajar di surau, disebut murid. Ini mencerminkan sifat sangat alamiah surau awal, karena istilah murid adalah terminologi sufi, yang merujuk kepada pengikut baru yang "bermaksud" mengamalkan tarekat. Dalam konteks sufi, murid menerima pengajaran dari Syekh atau khalifah, pemimpin resmi tarekat. Syekh biasanya memahami murid-muridnya, dan mengajari mereka sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual masing-masing, dan ia mengetahui secara intuitif kapan seorang murid naik dari satu maqat (tingkatan spiritual) ke tahap berikutnya sampai pada akhirnya menjadi penggantinya. Ketika seorang murid telah di¬anggap Syekh layak untuk menjadi penggantinya, ia akan dipanggil secara pribadi dan Syekh kemudian memberinya ijazah atau izin mengajar, dan memasukkan orang baru ke dalam tarekat itu, dan bertindak sebagai wakil Syekh selama ketidak-hadiran Syekh. Biasanya, barangkali sebagai tanda penghormat-an, hanya setelah meninggalnya Syekh, murid yang telah me¬nerima ijazah akan memperoleh gelar Syekh.

Suksesi otoritas dari seorang Syekh sebagai pemimpin tarekat kepada seorang murid tertentu berbeda dengan peralihan kekuasaan dari Syekh sebagai pemimpin surau. Dalam kasusa terakhir, otoritas biasanya diberikan kepada keturunan laki-laki Syekh atau menantu laki-lakinya. Juga penting dicatat murid sebagai seorang pelajar surau (tidak mesti sama murid dalam tarekat) tidak menerima ijazah atau diploma sebagai tanda selesainya studi agamanya di surau.

Dalam perkembangan selanjutnya, murid surau juga disebut urang siak, faqih, dan faqir. Istilah urang siak, faqih dan faqir lebih umum dipakai ketimbang "murid" untuk merujuk kepada orang yang belajar di surau setelah usainya Perang Padri. Istilah "murid" sendiri dalam nuansa lebih belakangan acapkali digunakan untuk merujuk kepada penuntut ilmu yang belajar, baik dalam sistem sekolah Barat maupun madrasah (Islam).

Tidak seluruh orang yang belajar di surau benar-benar ingin menjadi ulama; atau akhirnya betul-betul menjadi seorang ulama. Pendidikan surau umumnya dipandang lebih merupakan bagian penting dari proses di mana orang Minangkabau menjadi seorang Muslim yang baik, warga masyarakat yang patuh, dan anggota komunitas yang tercerahkan. Seseorang menghadiri pendidik¬an surau sesuai dengan kepentingan individuanya; ia menetap di surau selama ia masih belum puas dengan ilmu yang dia butuhkan, dan sebaliknya ia bisa meninggalkannya kapan saja, setelah ia merasa telah cukup "terpelajar". Jika urang siak me-rasa bahwa ia telah mempelajari semua yang disampaikan Syekh atau guru, dan ingin meneruskan kajiannya, ia boleh pindah ke surau lain yang lebih ringgi.

Karena itu, sejak hari-hari pertama pendidikan surau, tradisi murid-murid peripatetik telah berlangsung dengan baik. Urang siak selalu bepergian dari satu surau ke surau lain atau dari seorang Tuanku Syekh ke lainnya guna mempelajari kekhususan masing-masing, sebagaimana halnya yang dilakukan murid-murid kuttdb di Timur Tengah. Urang siak dapat menjadikan di-rinya sendiri sebagai guru di suatu surau, atau membangun surau sendiri ketika ia yakin bahwa ia telah cukup belajar. Tidak ada periode waktu tertentu yang disediakan bagi studi di surau. "Kelulusan" dari surau merupakan keputusan subyektif personal yang dibuat urang siak sendiri, bukan hasil dari kelulusan ujian komprehensif atau ujian lain dalam bentuk apapun. Karenanya, tidak ada ijdzah atau diploma yang dikeluarkan otoritas surau jika urang siak "menamatkan" pelajarannya.

E. Isi/Materi, Metode dan Literatur Keagamaan Sistem Pendidikan Surau
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau mengguna-kan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajar kan pada awalnya masih seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur'an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak, dan ibadat. Pada umumnya, pendidikan ini hanya dilaksanakan pada malam hari.

Sebelum Tahun 1900 M
Secara bertahap, pendidikan surau mengalamai kemajuan. Mahmud Yunus mengklasifikasikan materi pendidikan surau beberapa tahun sebelum tahun 1900 M kepada dua kelompok.

1. Pengajian al-Qur'an.

Pengajian al-Qur'an merupakan pendidikan Islam pertama yang diterima oleh murid di surau. Anak-anak yang belajar masih dalam bentuk halaqah, tanpa adanya bangku dan meja serta tidak berkelas-kelas. Jika dilihat dari tingkatannya, pengajian al-Qur'an ini ada dua tingkat, yaitu:
a. tingkatan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur'an (huruf hijaiyah) dan membaca al-Qur'an. Di samping itu, di tingkat rendah ini diajarkan pula cara-cara mengerjakan ibadah, seperti berwudhu', shalat, dan sebagainya. Begitu pula materi tauhid diajarkan di tingkat ini, seperti sifat dua puluh serta hukum akal yang tiga (wajib, mustahil dan jaiz). Sedangkan materi akhlak diajarkan melalui cerita-cerita seperti kisah Nabi-nabi dan orang-orang shaleh, serta keteladan guru yang diperlihatkan setiap harinya. Biasanya anak-anak belajar di malam hari saja, dan pagi hari sesudah shalat Shubuh.

b. tingkat atas, yaitu tambahan pelajaran tingkat rendah yang meliputi pelajaran membaca al-Qur'an dengan irama (tilawah/mujawad) serta lagu kasidah, barzanji, tajwid dan mengaji kitab perukunan. Dalam pengajian tingkat atas ini terdapat seorang guru yang masyhur, dinamai Qari. Qari ini memiliki beratus-ratus siswa. Qari yang terkenal pandai mengucapkan huruf-huruf al-Qur'an dengan tepat serta dengan lagu yang merdu adalah Qari Batu Hampar, Payakumbuh, Syekh Burhanuddin (w. 1317 H/1900 M).

Adapun lama pelajaran pengajian al-Qur'an tidak memiliki ketentuan baku, ada yang 2, 3, 4 atau 5 tahun lamanya, sesuai dengan kemampuan kecerdasan masing-masing anak. Penting pula disebutkan bahwa pada pengajian al-Qur'an ini anak-anak dilatih shalat berjamaah, khususnya Maghrib, Isya, dan Shubuh.

Tujuan pendidikan surau pada masa ini adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur'an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Jadi, dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca al-Quran dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman akan isi dan makna al-Qur'an tersebut.

Adapun cara mengajarkan huruf-huruf hijaiyah digunakan menurut tertib Qaidah Baghdadiyah. Pertama sekali diperkenalkan 30 huruf (termasuk lam alif), kemudian diajarkan huruf-huruf yang bertitik, satu, dua dan tiga. Setelah itu diajarkan pula tiga bentuk harkat fathah, kasrah dan dhummah dengan ejaan "alif di atas a, alif di bawah i, alif di depan u". Lalu diperkenalkan harkat tanwin fathatain, kasratain, dan dhummatain, dengan ejaan "alif dua di atas an, alif dua di bawah ini, alif dua di depan un". Kemudian diajarkan pula harkat lain, seperti sukun dan tasdid dalam berbagai bentuk kalimat. Butuh 2 atau 3 bulan mempelajari tahap ini.

Setelah anak-anak mengenal huruf dan bentuk-bentuk harkat, mereka diajarkan membaca juz 'Amma yang dimulai dengan surat al-Fatihah, lalu surat an-Naas, al-Falaq hingga ke surat ad-Dhuha. Barulah mereka membaca al-Qur'an pada mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, dan seterusnya hingga khatam.

Kelebihan metode pembelajaran membaca al-Qur'an dalam bentuk ini, anak-anak mengulang-ulang membaca al-Qur'an secara kontiniu hingga khatam dan membacanya dengan irama sehingga menarik hati anak-anak. Namun kekurangan metode ini adalah membutuhkan waktu relatif lama dan anak-anak tidak pandai menulis, padahal belajar membaca al-Qur'an sebaiknya diiringi dengan menulisnya. Agaknya, kekurangan terakhir ini didasari oleh keterbatasan alat tulis ketika itu.

Adapun cara mengajarkan ibadah melalui kitab perukunan yang bertulis Arab-Melayu. Membacanya dilagukan untuk menarik hati anak didik, lalu dijelaskan maksudnya oleh guru, terutama bagi anak di tingkat atas. Pelajaran keimanan dengan cara menghafal sifat 20 lalu menjelaskan maksudnya. Sedangkan pelajaran akhlak dilakukan dengan metode cerita/kisah dan keteladan dari guru. Metode terakhir inilah yang harus dipertahankan karena sangat dibutuhkan dalam mendidik akhlak peserta didik.

2. Pengajian Kitab
Setelah menyelesaikan kedua tingkatan pendidikan di atas, sebagian peserta didik ada yang langsung terjun ke masyarakat dan sebagiannya lagi melanjutkan ke tingkat berikutnya yang disebut "pengajian kitab". Pengajian kitab diajarkan oleh seorang Syekh yang memiliki ilmu agama dengan mendalam. Para murid berdatangan dari berbagai tempat. Mereka belajar tidak hanya di malam hari, tetapi juga di siang hari.

Adapun pengajian yang diajarkan di tingkat ini adalah pengajian kitab yang terdiri dari ilmu sharaf dan nahu (grametika bahasa Arab), ilmu fiqh, ilmu tafsir dan lain-lain seperti ilmu tasawuf. Ilmu-ilmu tersebut diajarkan satu per satu, yakni dimulai dengan ilmu sharaf, setelah tamat baru ilmu nahu, dan seterusnya. Dengan demikian, masing-masing murid hanya belajar satu kitab saja. Karena murid-murid yang ada relatif banyak, maka dihadirkanlah guru bantu yang dinamai guru tua. Sebenarnya guru tua ini adalah murid senior yang lebih pandai sehingga guru tua sesungguhnya adalah guru muda.

a. Ilmu Sharaf
Kitab yang dipakai dalam mengajarkan ilmu sharaf adalah "kitab dhammun", yaitu kitab tulisan tangan dan tidak diketahui siapa pengarang dan tahun terbitnya. Adapun cara mempelajarinya adalah dimuali dengan menghafal kata-kata Arab serta artinya dalam bahasa daerah. Menghafal ini dimulai dari tashrif yang sembilan, tashrif yang empat belas, tashrif mashdar, ismu fa'il dan sebagainya, dengan lagu yang menarik hati.

b. Ilmu Nahu
Kitab yang dipakai dalam mengajarkan ilmu Nahu adalah kitab al-'Awamil al-Mi'at karya 'Abd al-Qahir al-Jurjani yang ketika itu masih ditulis dengan tangan dan tidak kenal siapa pengarang dan tahun terbitnya. Setelah kitab ini tamat, dilanjutkan dengan kitab Muqaddimat al-Ajrumiyyah karya Abu 'Abd Allah al-Ajurrum (w. 723/1323), atau dikenal juga dengan sebutan kitab al-kalamu yang hingga kini masih digunakan di beberapa pesantren salafiyah. Adapun cara mempelajarinya melalui tiga tahap, yaitu membaca matan dalam bahasa Arab, menerjemahkan kata demi kata, dan menerangkan maksudnya.

c. Ilmu Fiqh dan Tafsir
Dalam mempelajari ilmu fiqh, hampir semua surau terkemuka di Sumatera Barat menggunakan kitab al-Minhaj al-Thalibin, karangan Imam Nawawi yang biasanya dikenal oleh masyarakat Minangkabau dengan sebutan "kitab fikih". Kitab ini ditulis tangan dan belum ada yang dicetak sehingga harganya sangat mahal. Sedangkan kitab tafsir yang digunakan adalah kitab tafsir Jalalain yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Mahally (w. 864 H/1460 M) dan Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1512). Kedua ilmu ini diajarkan dengan cara membaca matan berbahasa Arab, lalu menerjemahkan kata per kata dan menjelaskan maksudnya.

Dengan demikian, secara umum metode yang digunakan adalah pemberian ceramah, membaca, dan menghafal. Jelas Syekh atau guru-guru tidak menggunakan metode pembelajaran yang dapat merangsang urang siak berpikir secara kritis dan analisis. Pelajaran diberikan kepada urang siak yang duduk di atas lantai dalam suatu lingkaran di sekitar Syekh atau guru yang membacakan pelajaran tertentu. Metode ini disebut halaqah, dalam pesantren Jawa dikenal dengan metode bandongan. De¬ngan metode ini, seorang Syekh atau guru membaca dan men-jelaskan isi suatu kitab dalam lingkaran murid-muridnya, semen-tara para murid memegang bukunya sendiri; mereka mendengar-kan penjelasan guru dan membuat catatan pada sisi halaman kitab atau dalam buku catatan khusus. Tampaknya, Syekh atau guru juga menggunakan metode pesantren, sorogan, yakni suatu metode di mana seorang murid mengajukan sebuah kitab berbahasa Arab kepada gurunya, dan guru menjelaskan cara membaca dan menghafalnya; dalam hal murid yang sudah maju, guru juga memberikan penjelasan mengenai penerjemahan teks dan juga tafsirnya.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, murid-murid senior akan menjadi guru bagi murid-murid yunior. Para murid senior ini belajar kepada syekh dengan cara melingkar (halaqah). Lama mempelajari ilmu-ilmu di atas juga tergantung kepada kemampuan masing-masing murid. Tidak jarang di antara mereka yang malas dan rendah kemauan dan kemampuannya sehingga tidak bisa mengamalkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat.
Pelajar-pelajar yang telah tamat mempelajari kitab-kitab di atas belumlah diberi gelar Syekh. Mereka harus terlebih dahulu menjadi guru bantu (guru tua) di surau itu beberapa tahun. Jika ia sanggup mengajarkan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ada dalam kitab tersebut, maka murid-murid lain dan Syekh akan mengakui keilmuannya sehingga ia disebut engku muda ('alim muda), atau sebutan lainnya. Setelah itu ia pulang ke kampungnya dan bisa membuka surau baru dengan pola yang relatif sama. Setelah mengajar dalam beberapa tahun dan biasanya telah berusia lebih 40 tahun, barulah masyarakat memberi gelar Syekh (kiyai) atau guru besar. Demikianlah sistem pendidikan surau yang dapat dilacak sebelum tahun 1900.

3. Tarekat sebagai Pendidikan Tasawuf
Selain dari dua bentuk pendidikan—pengajian al-Qur'an dan pengajian kitab—yang diajarkan di Surau di atas, dalam sistem pendidikan surau juga diajarkan tarekat sebagai bentuk pendidikan tasawuf. Bahkan surau Syekh Burhanuddin yang sering disebut-sebut sebagai surau pertama yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam, juga dikenal dengan tarekat Syattariyah -nya. Itu artinya tarekat telah ada sejak awal pertumbuhan surau sebagai lembaga pendidikan Islam.
Melalui pendekatan ajaran tarekat (suluk) Sattariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan ajaran yang menekankan pada kesederhanaan, tarekat Sattariyah berkembang dengan pesat. Bahkan sampai saat ini, di Ulakan-Pariaman, tarekat Sattariyah tetap eksis. Namun, surau sebagai pusat tarekat di masa awal bukan saja mengajarkan tarekat an sich, akan tetapi surau tetap menjadi lembaga pendidikan agama Islam bagi masyarakat Minangkabau.

Pada masa selanjutnya, tampaknya urang siak yang datang untuk belajar, khususnya di surau Syattariyyah, diekspos pada pengajaran Islam secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, terdapat beragam surau Syattariyyah yang mengambil spesialisasi dalam cabang pengajaran Islam yang berbeda-beda. Misalnya, Surau Kamang spesialisasinya dalam ilmu alat, studi mengenai bahasa Arab dan subyek-subyek yang terkait; Surau Kota Gadang dalam 'ilmu mantiq ma'ani, pengungkapan logis makna al-Quran, yang menekankan lebih pada logika daripada perasaan; Surau Sumanik dalam studi hadits, tafsir, dan fara'id; Surau Talam da¬lam bidang nahw (tatabahasa Arab) sama dengan Surau Salayo; sedangkan Surau Koto Tuo dikenal dengan studi tafsirnya, karena ia memiliki seorang ulama dari Aceh yang datang mengajarkan materi itu. Sebuah kitab tipikal Syattariyyah yang disempurnakan seorang guru dari Surau Ulakan pada 1757 menunjukkan bahwa keragaman materi pelajaran tersedia bagi murid-murid Syattariyyah; ada catatan tentang tatabahasa Arab; penjelasan seorang pengarang Arab tentang tatabahasa Arab; catatan me¬ngenai ayat-ayat Al-Quran; catatan berbahasa Melayu menge¬nai pengobatan dan sejumlah cara membantu memilih hari yang baik dan menguntungkan; dan catatan mengenai sintaksis bahasa Arab.

Sejauh menyangkut kutub (buku-buku) tarekat tampaknya yang dipakai di surau sebagian besar adalah karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddiri, Pasai, Syekh Nur Al-Din Al-Raniri, dan 'Abdurrauf Al-Sinkili. Sebagaimana dikemukakan banyak ahli, termasuk Al-Attas, karya-karya para sufi terkemuka tersebut tersebar luas di seluruh Nusantara, termasuk Minangkabau. Pengaruh karya-karya sufi terhadap Minangkabau secara jelas dapat dilihat dalam konsep tentang penciptaan Alam Mi¬nangkabau, dan Syekh Burhanuddin, pendiri pertama surau sebagai lembaga pendidikan, merupakan murid 'Abdurrauf Al-Sinkili. Literatur yang paling terkenal mengenai amalan-amalan Syattariyyah adalah sebuah karya guru asal Gujarat, Al-Tuhfah Al-Mursalah ila Ruh Al-Nabiyy ("Hadiah yang Disampaikan ke-pada Ruh Nabi"). Selain itu, terdapat pula kitab Tanbih al-Mashi yang merupakan satu-satunya karangan Abdurrauf dalam bahasa Arab; judul lengkapnya tertulis sebagai Tanbih al-Mashi al-Mansub ila Tariq al-Qushashi (Petunjuk bagi orang yang menempuh tarekat al-Qushashi). Kitab ini menjadi pedoman dan semacam buku wajib bagi para khalifah serta pengikut tarekat Syattariyah di Indonesia, termasuk di Minangkabau.

Johns, seperti yang dikutip Azra, telah lama berargumen, bahwa Ibrahim Al-Kurani (w. 1689) membuat penjelasan mengenai subyek ini, yang ditujukan bagi kaum Muslim Indonesia atas perintah Ahmad Al-Qusyasyi, guru Ibrahim di Madinah, untuk menanamkan pemahanam yang benar mengenai teks tersebut. Ahmad Al-Qusyasyi juga meru¬pakan guru 'Abdurrauf al-Sinkili. Kemudian, Syamsuddin Pasai, Al-Raniri, dan 'Abdurrauf, semuanya, menggunakan Al-Tuhfah dalam tulisan-tulisannya, dan khususnya yang terakhir, menyebarluaskannya di Sumatera, Jawa, dan Nusantara secara keseluruhan, bersama-sama dengan karyanya sendiri, seperti Daqa"iq Al-Huruf, 'Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufradin, Majmu' Al-Masa'il, Al-Mawa'iz Al-Badi'ah, dan Risalat fi Bayan Syurut Al-Syekh wa Al-Murid.

Al-Tuhfah dan karya-karya 'Abdurrauf berusaha keras menyajikan kepada para pembacanya basis minimum amalan Islam. Tulisan-tulisan Syat¬tariyyah sampai derajat tertentu menjelaskan perlunya menempuh kewajiban syariat sebagai bimbingan kepada kehi-dupan yang benar di atas bumi ini. Hal ini berimplikasi kepada masa-masa selanjutnya dimana kitab-kitab tasawuf, sebagian besar merupakan terjemahan dari kitab yang aslinya berbahasa Arab dan bernuansa syariat semakin diperkenalkan di surau. Karya yang paling terkenal adalah Sayr Salikin, karena merupakan terjemahan atau tepatnya saduran dari karya Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum Al-Din. Penyaduran dilakukan 'Abdul Samad Al-Jawi Al-Palimbani, yang menyelesaikannya pada 1203/1803. Penyaduran kembali sebagian karya Al-Ghazali oleh penulis yang sama menghasilkan kitab Hidayat Al-Salikin. Sementara dalam tarekat Naqsabandiyyah kitab terpenting yang digunakan adalah Fath Al-'Arifin, yang ditulis dan diterbitkan Syekh Ahmad Khatib Al-Sambasi di Kairo dalam bahasa Melayu. Ahmad Khatib Sambas adalah seorang Syekh pembaharu Tarekat Naqsyaban¬diyyah dan Qadiriyyah. Buku terakhir yang juga sangat mungkin digunakan dalam lingkungan surau adalah Kitab Al-Hikam karya Ibn 'Ata'illah dari Iskandariah. Terjemahan bahasa Melayunya ditulis di Tanjung Pinang, Riau.

Masa Perubahan (Tahun 1900 – 1908 M)
Tahun 1900 hingga tahun 1908 disebut Mahmud Yunus dengan masa perubahan. Masa perubahan ini ditandai dengan banyaknya pelajar-pelajar dan guru-guru dari Minangkabau berangkat naik haji ke Mekah lalu menetap di sana untuk memperdalam ilmu agama. Terutama di saat itu ada ulama asal Minangkabau yang menjadi imam di masjid al-Haram Mekah, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Ketika para pelajar ini pulang ke tanah air, mereka pun mengajarkan kitab-kitab yang mereka dapatkan di Mekah. Adapun materi pendidikan Islam beserta literatur yang digunakan pada masa perubahan ini adalah:
1. Pengajian al-Qur'an, tetap dilaksanakan seperti masa sebelumnya.
2. Pengajian Kitab. Pengajian kitab ini mengalami perkembangan jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Ada beberapa tingkat dalam pengajian kitab, yaitu:
a. Mengaji Nahu, Sharaf, dan Fiqh dengan memakai kitab Muqaddimat al-Ajrmiyyah karya Abu 'Abd Allah al-Ajurrum (w. 723/1323), matan Bina, Fathul Qarib, dan sebagainya.
b. Mengaji Tauhid, Nahu, Sharaf dan Fiqh dengan memakai kitab: Sanusi, Syekh Khalid (Azhari, Asymawi), Kailani, Fathul Mu'in dan sebagainya.
c. Mengaji Tauhid, Nahu, Sharaf, Fiqh, Tafsir dan lain-lain dengan memakai kitab-kitab: Kifayatul 'Awam (Ummul Barahin), al-Fiyah, Ibn 'Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidhawi, dan sebagainya.

Selain dari pelajaran-pelajaran di atas, ditingkat terakhir juga diajarkan ilmu mantiq, Balaghah, Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab: Sullam, Idhahul Mubham, Jauhur Maknun/Talkhish, Ihya' Ulumuddin, dan sebagainya. Adapun kitab Dhammun dan al-'Awamil yang dulunya digunakan dengan tulisan tangan, tidak lagi dipakai pada masa perubahan ini. Kitab-kitab yang dipakai juga tidak lagi bertulis tangan, akan tetapi semuanya dicetak. Kitab dalam bentuk cetakan ini dibawa dari Mekah dan sebagiannya dari Mesir. Tetapi ada juga yang berasal dari Mesir, seperti yang banyak dipesan oleh toko buku Syekh Ahmad Khalidi Bukittinggi.

Melalui kitab yang terakhir inilah aliran baru mulai masuk ke ranah Minang, seperti majalah al-manar, dan pemikiran-pemikiran lain yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Said Rasyid Ridha, dan sebagainya. Kehadiran kitab-kitab ini turut mempengaruhi berkembangnya "kaum muda" yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah di Sumatera Barat, sebab K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri organisasi ini banyak terpengaruh dengan pemikiran ulama Mesir di atas. Biasanya pelajaran di atas berlangsung pada pukul 08 s.d. 10.30 untuk tiga mata pelajaran. Kemudian dilakukan lagi pada malah harinya sesudah Maghrib dari pukul 07. s.d. 09.30 untuk tiga mata pelajaran pula. Jadi ada enam pelajaran dalam sehari.

Metode yang digunakan pada masa perubahan ini masih menggunakan sistem halaqah. Hanya saja di tingkat atas, murid-murid banyak yang memiliki kitab sehingga ketika guru membaca kitab, setiap murid menyimak kitab mereka masing-masing. Untuk lebih jelasnya, Mahmud Yunus membandingkan sistem lama dengan sistem masa perubahan dalam pelaksanaan pendidikan surau:

No Sistem Lama Sistem Baru
1 Pelajaran ilmu-ilmu itu diajarkan satu demi satu Pelajaran ilmu-ilmu itu dihimpunkan 2 sampai 6 ilmu sekaligus.
2 Pelajaran ilmu Sharaf didahulukan dari ilmu Nahu Pelajan ilmu Nahu didahulukan/ disamakan dengan ilmu sharaf.
3 Buku pelajaran yang mula-mula dikarang oleh ulama Indonesia serta diterjamahkan dengan bahasa Melayu Buku pelajaran semuanya karangan ulama Islam dahulu kala, dan dalam bahasa Arab.
4 Kitab-kitab itu umumnya tulisan tangan Kitab-kitab itu semuanya dicetak (dicap).
5 Pelajaran suatu ilmu, hanya diajarkan dalam satu macam kitab saja. Pelajaran suatu ilmu diajarkan dalam beberapa macam kitab: rendah, menengah, dan tinggi.
6 Toko kitab belum ada, hanya ada orang pandai menyalin kitab dengan tulisan tangan. Toko kitab telah ada yang dapat memesankan kitab-kitab ke Mesir/ Mekah.
7 Ilmu agama sedikit sekali, karena sedikit bacaan. Ilmu agama telah luas berkembang, karena telah banyak kitab bacaan.
8 Belum lahir aliran baru dalam Islam. Mulai lahir aliran baru dalam Islam yang dibawa oleh majalah al-Manar Mesir.

Tabel: Perbedaan Sistem Pendidikan Surau antara Sistem Lama
(sebelum tahun 1900 M) dengan Sistem Perubahan (1900 – 1908 M).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa literatur keagamaan yang digunakan, jika ditinjau dari ilmu fiqh mereka menganut mazhab Syafi'i. Sedangkan kitab-kitab keimanan/tauhid bercirikan teologi Asy'ari dan kitab-kitab akhlak lebih terpengaruh dengan karya-karya al-Ghazali yang bernuansa akhlak-tasawuf.

Jika dilihat keseluruhan kitab yang digunakan di surau tersebut, sangat jelas bahwa semuanya ditulis pada abad pertengahan Is¬lam, yang merupakan periode di mana Islam tengah mengalami masa kemunduran. Terutama pada masa awal, seperti yang disebut Mahmud Yunus sebagai sistem lama, tidak ada kitab yang ditulis pada abad klasik, masa kegemilangan intelektual Islam, atau masa keemasan Is¬lam yang digunakan sebagai kitab standar di surau, apalagi kitab-kitab abad modern—zaman di mana Islam mulai memasuki peradaban modern. Karena alasan ini, tampaknya orang-orang surau umumnya tidak mempelajari Islam dari dua sumber utamanya, Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Tidak ada kitab standar apapun pada periode klasik yang memfokuskan isinya pada Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang digunakan di surau. Karena itu, orang-orang surau mengenal ajaran-ajaran Islam sebagian besar dari kutub tarekat atau kutub fikih. Ini tidak dapat dielakkan lagi mempengaruhi pandangan dunia (world-view) surau tentang Islam, baik tentang tarekat, pandangan sufi, maupun fikih, yang merupakan sudut pandang legalistik.

Selain itu, alasan ini juga turut mempengaruhi perkembangan Islam di Minangkabau pada era awal yang masih bernuansa bid'ah, tahayul, dan khurafat. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan pendidikan surau beberapa kali mendapat tantangan dan menimbulkan konflik, baik dari kalangan tarekat sendiri maupun dari kaum muda, seperti gerakan Padri dan tokoh-tokoh muda yang pernah belajar di Mekah, khususnya belajar kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy.

F. Melemahnya Sistem Pendidikan Surau
Pertanyaan yang sering muncul tentang sistem pendidikan surau adalah kenapa pendidikan surau tidak bertahan di Minangkabau seperti layaknya pesantren yang masih eksis di Jawa bahkan ke daerah-daerah lain di luar jawa?

Ada beberapa hal yang perlu dicermarti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, munculnya gerakan pembaharuan yang dipengaruhi oleh Modernisasi Islam. Seperti yang telah disinggung di atas, surau sebagai lembaga yang telah dikenal pra-Islam sesungguhnya telah diadaptasikan oleh para penyebar Islam dan dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam. Namun, proses adaptasi dan akulturasi ini mengakibatkan ajaran Islam bercampur dengan hal-hal yang bernuansa bid'ah dan tahayul. Hal ini juga turut disebabkan oleh kedatangan Islam yang banyak dipengaruhi dan dibawa oleh kaum sufistik yang juga memanfaatkan budaya lokal untuk mempertahankan ajarannya. Akibatnya, praktik ajaran Islam yang memanfaatkan surau akhirnya mendapat tantangan dari kaum terpelajar yang datang sesudanya.

Kehadiran kaum terpelajar—kaum muda—tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh modernisasi Islam yang berkembang di abad ke-19, khususnya gerakan pembaharu Mesir seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Itu sebabnya, sejak tahun 1890-an, Minangkabau kembali dilanda gerakan pembaharuan yang digerakkan oleh Syekh Khatib al-Minangkabawy terhadap murid-muridnya asal Minangkabau. Ketika mereka kembali ke Minangkabau, mereka dikenal sebagai kaum muda yang menggerakkan kembali serangan, khususnya terhadap tarekat dan surau-suraunya dan terhadap apa yang mereka sebagai bid'ah dalam amalan keagamaan. Serangan terhadap tarekat lebih difokuskan kepada sifat orang-orang tarekat yang menurut mereka suka lari dari kenyataan. Termasuk kecenderungan mereka hanya kepada pengajaran agama saja dan mengabaikan, bahkan mencegah kalangan muda menuntut ilmu pengetahuan yang berdasarkan nalar.

Kedua, pengaruh urbanisasi. Kebijakan ekonomi Belanda yang menghapuskan monopoli kopi dan memperkenalkan pajak pada tahun 1908 membuat kota-kota, seperti Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang, Pariaman dan sebagainya menjadi pusat-pusat ekonomi-administratif di daerahnya. Disinilah terjadi proses urbanisasi. Proses urbanisasi ini sangat mungkin memperlemah hubungan ¬mamak-kemanakan. Dengan kata lain, keluarga-keluarga Minangkabau cenderung menjadi keluarga inti yang mengikuti sistem keluarga patrilinial daripada sistem lama yang matrilineal. Akibatnya jumlah anak laki-laki yang tinggal di surau semakin menurun karena mereka telah memiliki kamar di rumahnya sehingga surau hanya berfungsi sebagai tempat mengaji al-Qur'an dan ilmu dasar Islam, tanpa tinggal beberapa tahun di sana. Jadi, fungsi surau sebagai lembaga pendidikan Islam untuk menempa masa depan anak-anak dengan menuntut ilmu agama mulai terabaikan, terutama oleh keluarga di pusat-pusat kota.

Ketiga, munculnya pendidikan sekuler yang digagas oleh penjajah Belanda. Kemenangan kaum liberal di parleman Belanda awal tahun 1900-an mebuat pemerintah kolonial Belanda harus menjalankan "etische politiek". Akibatnya mereka mendirikan sekolah pribumi tetapi sekuler. Bahkan guru berpendidikan Barat turut mempengaruhi masyarakat untuk menyekelohkan anaknya ke sekolah Belanda dan menganggap surau sebagai sekolah agama telah ketinggalan zaman. Meskipun tidak begitu banyak yang merespon propoganda tersebut, tetapi ia juga menjadi tantangan bagi pendidikan surau.

Keempat, munculnya pendidikan modern yang dibawa oleh kaum muda. Pendidikan modern yang dikembangkan oleh kaum muda ada yang berupa madrasah, seperti yang didirikan pertama kalinya oleh Haji Latif Syakur di Kamang Bukittinggi, Madrasah al-Tarbiyah al-Hasanah di Tengah Sawah Bukittinggi, Madrasah Diniyah dan sebagainya yang memperkenalkan sistem kelas dan belajar menggunakan kursi, meja dan papan tulis. Bahkan kaum muda juga ada yang mendirikan sekolah umum seperti Haji Abdullah Ahmad, tetapi tetap mengajarkan ilmu agama dan membaca al-Qur'an sehingga sekolah ini merupakan kombinasi antara "agama" dengan "sekuler". Dalam perkembangannya, sekolah dalam bentuk madrasah dan sekolah "kombinasi" sekolah sekuler dengan agama semakin berkembang dan diminati oleh masyarakat, sementara surau tidak mampu berkembang secara kreatif untuk menandingi perkembangan tersebut.

Keempat, karakteristik masyarakat Minangkabau yang inklusif dan merubah perubahan. Sistem matrilineal yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau turut mendorong anak laki-laki untuk merantau mencari nafkah buat anak kemanakannya. Budaya merantau yang sudah turun-temurun ini membuat masyarakat Minangkabau berkarakter inklusif, terbuka terhadap hal-hal yang baru dan cenderung menerimannya. Arus modernisasi yang semakin deras dengan paham materialismenya turut mempengaruhi masyarakat Minangkabau memiliki pola pikir yang serupa. Akibatnya, pendidikan surau dianggap tidak menjanjikan dari segi materil sehingga sekolah-sekolah umum yang dianggap lebih menjanjikan menjadi alternatif buat pendidikan anak-anak mereka.

Beberapa alasan di atas mengakibatkan pendidikan surau pun semakin ditinggalkan. Akhirnya surau tidak lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan seperti pada masa kejayaannya, melainkan hanya sebagai tempat shalat dan tempat mengaji al-Qur'an, seperti langgar atau mushalla yang juga dikenal di daerah-daerah lain. Dengan demikian, surau—meminjam istilah Azyumardi Azra—kian tarandam.

G. Reaktulisasi Sistem Pendidikan Surau dalam Konteks Kekinian
Beberapa tahun terakhir muncul gagasan tentang "Babaliak ka Surau". Namun konsep yang ditawarkan tidak menemukan formulasi yang jelas untuk diimplementasikan dalam konteks kekinian. Padahal, jika ditelusuri dalam perjalanannya, sistem pendidikan surau telah menghasilkan beberapa ulama besar, seperti Hamka, Muhammad Natsir, Bey Arifin, dan sebagainya.

Meskipunn sistem pendidikan surau yang pernah jaya tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, akan tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya patut untuk diaktulasasikan. Di antara nilai-nilai tersebut adalah: pertama, kharismatik dan keteladanan Syekh bagi murid-muridnya. Guru di sekolah, baik pesantren, madrasah atau sekolah umum saat ini mesti menjadi teladan bagi anak didiknya sekaligus berwibawa. Dengan keteladanan itu akan sangat efektif untuk membinda dan mendidik akhlak siswa.

Kedua, melaksanakan pendidikan terpadu antara rumah, sekolah, dan masjid. Jika dalam sistem pendidikan surau anak laki-laki lebih banyak mendapat pendidikan dalam surau, tetapi mereka juga memiliki latar belakang pendidikan dari orang tuanya di rumah. Karena pola seperti ini tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam kekinian, maka perlu dirumuskan formulasi pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan rumah, sekolah dan masjid. Lagi-lagi dalam hal ini peran guru sangat menentukan dengan keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa pendidikan di masjid.

Ketiga, meningkatkan pendidikan al-Qur'an. Seperti yang tampak dalam pendidikan surau, tingkat pertama yang diajarkan adalah pengajaran al-Qur'an. Hal ini mesti dikembangkan mengingat Sumatera Barat masih tetap memagang dan mengakui falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Pendidikan al-Qur'an tidak hanya dilakukan di masjid, akan tetapi harus dibiasakan di rumah dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah formal, baik berupa kurikulum muatan lokal maupun dalam bentuk pengembangan diri.
Dengan demikian, pola pendidikan "babaliak ka surau" tidak harus mengajak anak laki-laki tidur di masjid dan mengabaikan lembaga pendidikan, akan tetapi hemat penulis nilai-nilai pendidikan surau tersebut dapat diaktualisasikan di rumah dan sekolah.

H. Penutup
Dari uraian tentang sistem pendidikan surau di atas dapat disimpulkan bebarapa hal, yaitu: pertama, surau merupakan lembaga sosial budaya yang dikenal oleh masyarakat Minangkabau sebelum datangnya Islam. Para penyebar Islam, khususnya dari kalangan sufistik, menyebarkan Islam dengan cara fleksibel dengan melakukan adaptasi terhadap budaya lokal. Maka surau diadaptasi dan diislamisasikan untuk dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam, baik dalam mengajarkan al-Qur'an sebagai pedoman kehidupan umat, mempelajari ilmu-ilmu dasar Islam, termasuk sebagai lembaga pendidikan tarekat.

Kedua, karakteristik sistem pendidikan surau dapat dilihat dari segi jumlah muridnya yang dibagi kepada surau besar, sedang dan menengah. Selain itu, Syekh memiliki otoritas dan sangat menentukan kemajuan surau tersebut. Sedangkan murid-muridnya tidak hanya dari nagari setempat, tetapi ada juga dari daerah lain. Menariknya, pendidikan yang dilangsungkan tanpa pungutan biaya. Mereka hidup dari usaha masing-masing, atau hasil pemberian sedekah, hadiah atau bentuk lain dari masyarakat sekitar. Ada pula dari sawah atau tebat yang ada di sekitar surau tersebut.

Ketiga, isi pendidikan surau dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu pengajaran al-Qur'an dan pendidikan kitab. pengajaran al-Qur'an diberikan paling utama kepada peserta didik yang belajar agama di surau. Jika telah tuntas, mereka akan belajar kitab tentang grametika bahasa Arab (Nahu Sharar), kitab-kitab fiqh, akhlak, tauhid, fara'id, dan sebagainya yang berkenaan dengan ilmu-ilmu agama (tafaqqahu fi al-din). Metode yang dilakukan lebih banyak bersifat hafalan dan menggunakan sistem halaqah.

Keempat, literatur keagamaan yang berkembang saat itu lebih dipengaruhi oleh kitab-kitab yang datang dari Timur Tengah pasca kejayaan Islam. Dengan kata lain, kitab yang digunakan lebih banyak bernuansa sufistik Imam al-Ghazali, bermazhab Syafi'i dan berteologi al-Asy'ari. Karena perkembangan literatur keagamaan yang muncul di saat Islam mundur mengakibatkan pemahaman ajaran Islam tidak lagi murni, disamping adanya proses adaptasi budaya lokal yang bernuansa magis, tahayul dan bid'ah. Akibatnya, pendidikan surau beberapa kali mendapat tantangan dan konflik, baik dari antar tarekat sendiri (Naqsabandiyah dengan Syattariyyah), maupun dari gerakan kaum Padri dan gerakan kaum Muda awal abad ke-20.

BIBLIOGRAFI


Azra, Azyumardi, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003
_____________, Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Yakarta: Kencana, 2007
Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981
Fathurrahman, Oman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group bekerja sama dengan Ecole francaise d'Extreme-Orient, PPIM UIN Jakarta dan KITLV – Jakarta, 2008
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Nata, Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005
________, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo: 2001
Raharjo, Dawam (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, Yakarta: LP3ES, 1995
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung: 1993


Tidak ada komentar: