Jumat, Juli 31, 2009

MENGGAGAS PENDIDIKAN BERBASIS SURAU

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Surau merupakan salah satu karya arsitektur tradisional Minangkabau yang memiliki multifungsi, salah satu di antaranya adalah sebagai lembaga pendidikan Islam. Dalam sejarahnya, surau telah menunjukkan peran yang amat penting dalam mendidik sikap keberagamaan masyarakat Minangkabau. Surau juga memberikan kontribusi yang amat besar terhadap pembangunan masyarakat Sumatera Barat, bahkan terhadap bangsa Indonesia secara nasional. Namun, pendidikan surau kerap kali menjadi romantisme sejarah sebab fungsi itu semakin redup seiring dengan arus modernisasi dan globalisasi yang semakin kuat.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa perkembangan surau sebagai lembaga pendidikan pada abad ke-19 laksana pesantren yang ada di tanah Jawa. Beberapa surau di masa itu bukan hanya tempat belajar membaca al-Qur'an saja, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga mempelajari kitab-kitab kuning tentang fiqh, tauhid, termasuk gramatika bahasa Arab. Bahkan di antara surau yang menerapkan pelajaran seperti itu ada yang memiliki fasilitas lengkap. Verkerk Pistorious mengkategorikan surau ini sebagai surau besar. Surau besar atau lengkap ini berupa komplek bangunan yang terdiri dari masjid, bangunan-bangunan untuk tempat belajar, dan surau-surau kecil yang sekaligus menjadi pemondokan murid-murid yang belajar di surau. Prototype surau seperti ini adalah surau Ulakan yang didirikan Syekh Burhanuddin dan Surau Batuhampar, dekat Payakumbuh, yang dibangun Syekh 'Abdurrahman (1777-1889) dimana kompleks surau terdiri dari sekitar 30 bangunan, termasuk beberapa bangunan utama, seperti masjid, penginapan bagi pengunjung, surau kecil untuk murid, surau untuk suluk, dan Iain-lain.

Namun sayangnya surau tidak mampu survive seperti pesantren di tanah Jawa. Padahal, keberhasilan surau dalam melahirkan sejumlah tokoh muslim berpengaruh di masa itu tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, kerinduan akan peranan surau sebagai lembaga pendidikan Islam sering kali mengemuka dalam wacana "babaliak ka surau".

Mengembalikan fungsi surau persis sama seperti perkembangan awal adalah sesuatu yang mustahil. Pengaruh modernisasi dan semakin berkembangnya urbanisasi tidak memungkinkan lagi anak laki-laki tidur dan belajar di surau. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan gagasan "babaliak ka surau" akan lebih arif dilakukan dengan mengaktualisasikan nilai-nilai surau tersebut ke dalam lembaga pendidikan yang sudah ada, termasuk sekolah.

Perlu pula ditegaskan bahwa meskipun kehadiran madrasah di Minangkabau beralasan positif, di antaranya untuk menandingi sekolah-sekolah Belanda yang bercorak klasikal dan modern, namun awal kehadirannya turut menyebabkan surau mulai ditinggalkan dan kurang diminati masyarakat sebagai lembaga pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, minat masyarakat pun semakin besar, tidak hanya kepada madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam, akan tetapi sekolah pun menjadi lembaga pendidikan yang ramai diminati. Untuk itu, sekolah atau madrasah—baik tingkat dasar maupun menengah—yang ada di daerah Minangkabau sejatinya berupaya untuk melestarikan nilai-nilai surau sebagai lembaga pendidikan tersebut. Upaya ini dapat diwujudkan dalam bentuk "Pendidikan Berbasis Surau".

Selain itu, pentingnya sekolah berbasis surau juga relevan dengan spirit otonomi daerah yang menginginkan setiap daerah memiliki karakteristik tersendiri. Dengan karakter yang khas itu akan menjadikan daerah tersebut dikenal dan diteladani oleh daerah lain.

Adapun bentuk pelaksanaan sekolah berbasis surau tersebut, harus digagas oleh para ahli baik dari kalangan ulama, cendikiawan, tokoh adat, maupun dari masyarakat sendiri. Dalam tulisan ini, ada beberapa gagasan yang patut dipertimbangkan sebagai bentuk pelaksanaan sekolah berbasis surau tersebut. Pertama, menerapkan pendidikan al-Qur'an. Pendidikan al-Qur'an yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk mata pelajaran seperti Baca Tulis al-Qur'an, akan tetapi terwujud dalam pembinaan tahsin bagi yang telah mampu membaca, tilawah al-Qur'an bagi yang berbakat, hingga kepada tahfizh (paling tidak tahfizh juz 'Amma), serta tafsir al-Qur'an.

Tegasnya, setiap sekolah, khususnya di tingkat sekolah menengah (SMP/MTs, SMA/MA dan SMK) mesti ada lembaga atau kelompok kajian al-Qur'an yang berisi tentang kegiatan-kegiatan di atas. Diharapkan juga kajian ini dilakukan dengan pendekatan integrited tematik, antara ilmu agama dengan ilmu lainnya, terutama dengan sains dan sosiologi; sebab kajian ini akan menambah minat siswa. Karena tidak semua siswa mengikuti kegiatan ini, maka hasil kajian yang diperoleh dipublikasikan kepada siswa lain melalui MADING khusus tentang Kajian Islam, jika memungkinkan akan lebih baik melalui majalah sekolah.

Bentuk ini perlu dilakukan, sebab ciri utama dari surau sebagai lembaga pendidikan pada masa lampau adalah belajar membaca al-Qur'an. Oleh karena itu, jika sekolah ingin mengaktualisasikan pendidikan surau untuk masa kini, maka penerapan pendidikan al-Qur'an suatu keniscayaan. Selain itu, penerapan pendidikan al-Qur'an di sekolah umum juga mesti diprioritaskan, khususnya dengan lahirnya Perda Prop. Sumbar Nomor 3 tahun 2007 tentang Pendidikan al-Qur'an sebagai kurikulum muatan lokal. Melalui Perda ini, sekolah diharapkan memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk menerapkan gagasan ini.

Kedua, setiap sekolah/madrasah harus memiliki masjid/mushalla, paling tidak memanfaatkan masjid/mushalla masyarakat di sekitar sekolah. Perlu pula meningkatkan fungsi masjid/mushalla, tidak hanya sebagai tempat ibadah seperti shalat, tetapi bisa dilengkapi dengan alat-alat yang berkenaan dengan pembelajaran agama, sehingga mushalla/masjid bisa menjadi "labor" pembelajaran yang terkait dengan mata pelajaran PAI.

Ketiga, sekolah/madrasah harus melaksanakan pendidikan ibadah secara praktis, yang meliputi: Shalat fardhu secara berjamaah bagi siswa muslim. Sejarah pendidikan surau masa lampau menunjukkan bahwa dalam surau tersebut dilakukan pembinaan ibadah, khususnya shalat Maghrib, Isya, dan Shubuh, sebab surau lebih berfungsi ketika malam hari. Dalam konteks madrasah, maka pelaksanaan shalat berjamaah dilakukan sesuai dengan shift-nya, yang pagi shalat zhuhur, sedangkan yang siang/sore pada shalat Ashar. Bagi siswa yang melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler di sore hari, maka guru bersama siswa melaksanakan shalat Ashar secara berjamaah. Lalu Shalat dhuha. Siswa harus dimotivasi melaksanakan shalat dhuha ketika jam istirahat pertama. Paling tidak, setiap siswa diwajibkan oleh sekolah melaksanakan shalat dhuha sekali dalam seminggu. Dalam hal ini wali kelas membagi siswa ke dalam enam kelompok dimana masing-masing kelompok memilih salah satu hari (Senin s.d. Sabtu) sebagai jadwal melaksanakan shalat dhuha. Dengan demikian, setiap hari akan terdapat siswa melaksanakan shalat dhuha di masjid/mushalla sekolah.

Keempat, setiap sekolah/madrasah harus memiliki karakter Islam dalam satu bidang tertentu, dengan memprioritaskan pembinaan kegiatan keislaman, seperti tahfiz juz 'amma, qari' (tilawah), syahril qur'an, pidato Islami, seni Islami, kaligrafi al-Qur'an, Puisi Islami, ROHIS, dan sebagainya, yang turut mewarnai sekolah bersangkutan. Pembentukan karakter ini bisa dilakukan melalui program pengembangan diri atau ekstrakurikuler. Hal ini relevan dengan perkembangan surau masa lalu dalam sosial sejarah Islam di Minangkabau dimana beberapa surau terkenal di berbagai daerah memiliki ciri tersendiri. Seperti Surau Koto Tuo (Tuanku Nan Tuo) Agam yang memiliki distingsi dalam bidang tafsir; Surau Kotogadang yang terkenal sebagai pusat ilmu mantiq dan ma'ani; Surau Sumanik, tersohor kuat dalam tafsir dan fara'id; Surau Kamang, terkenal karena kuat dalam ilmu-ilmu bahasa Arab; Surau Talang, dan Surau Salayo, yang keduanya terkenal dalam bidang Nahu-Sharaf. Keseluruhan surau ini mencapai puncak kejayaannya dalam masa pra-Padri.

Kelima, setiap guru mesti meningkatkan perannya sebagai teladan bagi siswa. Keteladanan itu dapat dilakukan dengan kedisiplinan, sikap yang santun, terutama keterlibatan guru dalam melaksanakan shalat berjamaah.

Keenam, sekolah/madrasah sebaiknya memberikan reward kepada perilaku positif siswa. Madrasah tidak hanya mencatat kesalahan siswa; akan tetapi perlu disiapkan semacam dokumen/portofolio untuk merekam perilaku positif yang terukur, seperti turut melaksanakan shalat, datang paling cepat, prestasi intra atau ekstra kurikuler, mendapat tugas tertentu dalam kegiatan upacara bendera atau lainnya, menjadi utusan lomba, dan sebagainya. Reward ini bisa meningkatkan motivasi siswa untuk melakukan perbuatan yang positif.

Masih banyak bentuk lain yang berkenaan dengan nilai-nilai pendidikan surau untuk diterapkan dalam pelaksanaan sekolah berbasis surau. Beberapa gagasan dalam tulisan ini diharapkan dapat memberika inspirasi bagi kalangan akademisi dan praktisi pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam di Sumatera Barat, termasuk melalui sekolah, sehingga melahirkan generasi yang berilmu dan mampu melestarikan adat serta mengamalkan syari'at sesuai falsafah ABS-SBK. Insya Allah.

Tidak ada komentar: