Jumat, Oktober 24, 2008

Makalah Filsafat Pendidikan Islam

ANALISIS FILOSOFIS METODA DAN ALAT PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Muhammad Kosim LA


A.Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting yang saling berhubungan. Di antara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah metode dan alat. Pengkajian terhadap metode dan alat memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab keduanya turut menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu metode dan alat mesti dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.

Dalam konteks pendidikan Islam, metode dan alat pendidikan tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Maka pengembangan metode dan alat yang diinginkan dalam sistem pendidikan Islam harus sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Pengembangan metode dan alat pendidikan itu harus dilakukan, khususnya para pelaksana pendidikan Islam. Jika metode dan alat yang digunakan—meminjam istilah Mastuhu—masih bersifat klasik, statis dan cenderung membosankan peserta didik, maka akan berdampak terhadap kualitas kehidupan umat Islam itu sendiri yang akan terus terbelakang. Memang ada kecenderungan selama ini bahwa dinamika pendidikan Islam dalam tataran pelaksanaanya kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah lemahnya pengembangan metode dan alat pendidikan.

Untuk itu, makalah yang sederhana ini akan menganilisis secara filosofis tentang metode dan alat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, dengan harapan kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep keduanya sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang pendidikan Islam. Namun, apa yang tertulis secara eksplisit dalam makalah ini tentu kurang memadai untuk memenuhi harapan tersebut tanpa adanya kritik, saran dan diskusi lebih lanjut tentang gagasan-gagasan yang ada. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari peserta diskusi untuk memenuhi harapan dimaksud.

B.Analisi Filosofis tentang Metode Pendidikan
1.Antara Epistemologi, Metodologi dan Metode
Dalam kajian filsafat, ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan tiga sub sistem dari filsafat. Ontologi merupakan teori tentang ”ada”, yaitu tentang apa hakikat sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Epistemologi merupakan teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Sementara aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan atau fungsi dari objek yang dipikirkan. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa ada sesuatu yang perlu dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).

Pendidikan juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan adalah metode. Secara sederhana dapat dipahami bahwa metode dalam pendidikan adalah cara yang digunakan untuk mewujudkan suatu tujuan yang diinginkan. Dengan demikian ada kaitan yang erat antara epistemologi dengan metode, bahkan dengan metodologi. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur/cara-cara mengetahui sesuatu. Sedangkan metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Jadi, jika metode bicara tentang prosedur sesuatu maka metodologilah yang merangkai secara konseptual tentang prosedur tersebut.

Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa jika diurutkan, epistemologi merupakan bagian dari filsafat, metodologi bagian dari epistemologi, dan metode merupakan bagian dari metodologi. Sementara dalam kajian makalah ini, akan dibahas tentang metode pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Mengenai apa dan bagaimana metode pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam akan dijelaskan pada bagian berikut.

2.Pengertian Metode Pendidikan Islam
Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.

Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-tharīqah, manhaj, atau al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al- wasīlah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah al-tharīqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Kata-kata al-tharīqah juga banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Fuad Abd Baqy, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa di dalam al-Qur’an kata al-tharīqah diulang sebanyak 9 kali. Kata ini terkadang dihubungkan dengan objek yang dituju, seperti neraka sehingga menjadi jalan menuju neraka (Q.S. an-Nisa/4: 169) ; terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti al-tharīqah al-mustaqimah, yang diartikan jalan lurus (Q.S. al-Ahqaf/46:30) ; terkadang dihubungkan dengan jalan yang ada di tempat tertentu, seperti al-tharīqah fi al-bahr yang berarti jalan (yang kering) di laut (Q.S. Thaha/20: 77) ; dan terkadang pula al-tharīqah berarti tata surya atau langit (Q.S. al-Mukminun/23: 17).

Dari pendekatan kebahasan tersebut tampak bahwa metode lebih menunjukkan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik, yakni jalan dalam bentuk ide-ide yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang diinginkan. Namun secara terminologis, kata metode bisa membawa kepada pengertian yang beragam sesuai dengan konteks. Dalam konteks pendidikan Islam, metode dapat dipahami sebagai cara atau jalan yang ditempuh oleh pendidik dalam mendidik peserta didiknya dengan seperangkat pengalaman belajar sehingga tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Defenisi ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam. Al-Syaibany, misalnya berpendapat bahwa metode pendidikan adalah:
Segala segi kegiatan yang tearah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan.

3.Urgensi dan Fungsi Metode Pendidikan Islam
Dari pengertian pendidikan yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa metode merupakan komponen yang amat penting dalam sistem pendidikan. Bahkan jika ditelusuri ayat-ayat al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang mengajak manusia untuk berpikir untuk mempertanyakan ”bagaimana cara” sesuatu sebagai bentuk motivasi bagi manusia agar mengembangkan suatu metode. Seperti firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah/88: 17-20.
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ. وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ. وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ. وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Dalam kaitannya dengan pendidikan, metode sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran yang dilakukan dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Bahkan sebaik apa pun materi pendidikan yang telah dirumuskan, tanpa metode yang baik maka peserta didik akan sulit untuk menguasai materi tersebut. Al-Qur’an, misalnya, merupakan kumpulan wahyu yang mutlak kebenarannya dan jika dikuasai oleh umat Islam maknanya lalu mampu mengamalkannya, niscaya keselamatan dan kebahagiaan akan diperoleh. Namun, ketika umat Islam tidak memiliki metode yang baik dalam memahami makna al-Qur’an serta mengembangkan isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya, maka konsep al-Qur’an yang ideal itu hanya sekedar doktrin dan umat Islam tetap terbelakang.
Begitu pentingnya metode dalam sistem pendidikan Islam, maka metode pun mempunyai fungsi yang amat penting pula. Abuddin Nata menyebutkan bahwa secara umum metode berfungsi sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan. Selain itu metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari pemahaman seperti ini, Abuddin mengatakan bahwa pada intinya metode berfungsi mengantarkan pada suatu tujuan kepada objek sasaran tersebut.

Sementara M. Arifin menyebutkan bahwa dari sudut filosofis, metode merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara esensial, metode yang digunakan mempuunyai fungsi ganda. Pertama, fungsi polipragmatis, yaitu manakala metode itu mengandung kegunaa yang serba ganda (multi purpose). Misalnya metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, pada situasi dan kondisi yang lain dapat digunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung kepada di pemakai atau pada corak dan bentuk serta kemampuan dari metode sebagai alat. Misalnya audio visual methods yang mempergunakan Video Casette Record (VCR) yang dapat merekam dan menayangkan semua jenis film, baik yang moralis maupun pornografis, dan dapat pula dijadikan sebagai media dalam proses pendidikan.

Kedua, fungsi monopragmatis, yaitu alat yang hana daat dipergunakan untuk mencapai satu amcam tujuan saja. Misalnya metode eksperimen ilmu alam yang menggunakan laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen di bidang ilmu alam saja dan tidak bisa dipergunakan untuk bidang ilmu sosial dan ilmu-ilmu lainnya.

4.Karakteristik Metode Pendidikan Islam
Selain dari asas-asas di atas, perlu pula mengenal karakteristik metode pendidikan Islam. Mengenal karakter ini penting, sebab metode yang digunakan dan dikembangkan dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pendidikan non-Islam. Dengan mengenal karakteristik tersebut, maka penggunaan dan pengembangan metode pendidikan Islam akan membuatnya lebih unggul dan sesuai dengan karakteristik sistem pendidikan Islam itu sendiri.

Adapun karakteristik metode pendidikan Islam tentunya sesuai dengan karakteristik sistem pendidikan Islam itu sendiri. Kaarakteristik yang paling menonjol adalah pendikan Islam berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah serta pendidikan Islam sarat nilai (full value) bukan bebas nilai. Maka metode pendidikan yang diterapkan dan dikembangkan harus berladaskan kepada semangat al-Qur’an dan Sunnah serta sarat akan nilai yang sesuai dengan sumber Islam itu sendiri.

Lebih lanjut, Samsul Nizar dan al-Rasyidin merumuskan ada delapan yang menjadi karakteristik metode pendidikan Islam, yaitu:
a.Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari pembentukannya, penggunaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang universal.

b.Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan dengan konsep al-akhlak al-karīmah sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.

c.Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi proses pendidikan Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik, materi pelajaran dan lain-lain.

d.Metode pendidikan Islam berusaha sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antara teori dan praktek.

e.Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan al-akhlak al-karīmah.

f.Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan berbagai metode pendidikan yang ada dalam mencapai tujuan pengajarannya.

g.Metode pendidikan Islam dalam penerapannya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya interaksi edukatif yang kondusif.

h.Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses pengajaran dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efesien.

Selain dari karakteristik di atas, setiap pendidik muslim juga harus mengetahui pendekatan umum dalam pembentukan dan penerapan metode pendidikan Islam sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalam proses pendidikan Rasulullah, yaitu dengan pendekatan tilawah (membaca ayat-ayat Allah), tazkiyah (penyucian jiwa), dan ta’lim (mengajarkan kitab dengan hikmah). Bahkan metode pendidikan Islam dikembangkan juga dari konsepsi amr ma’ruf nahi munkar dengan pendekatan ishlah atau perbaikan serta pendekatan penuh hikmah, mau’idzhah dan mujadalah. Berdasarkan hal ini maka paradigma pengembangan dan penerapan metode pendidikan Islam dalam proses internasilasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang terpuji harus dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh, integral dan sistematis.

5. Asas-asas Metode Pendidikan Islam
Untuk menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan, perlu diperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam tersebut. Menurut al-Syaibani, ada empat dasar metode pendidikan Islam, yaitu: pertama, dasar agamis yaitu meliputi pertimbangan bahwa metode yang digunakan diambil dari tuntunan al-Qur’an dan hadis, kemudian dari sumber yang lain dengan berbagai cabangnya dan dari peninggalan dan amalan orang-orang terdahulu yang shaleh; kedua, dasar biologis, yang meliputi pertimbangan kebutuhan jasmani peserta didik dan tingkat perkembangan usia anak didik; ketiga, dasar psikologis, yaitu meliputi pertimbangan terhadap sejumlah kekuatan psikologis termasuk motivasi, kebutuhan, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat, dan kecakapan akal (intelektual); dan keempat, dasar sosial, yaitu meliputi pertimbangan kebutuhan sosial di lingkungan peserta didik, artinya metode yang digunakan mesti disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat dan tradisi-tradisi yang berkembang di dalamnya.

Kemudian, dari sudut pelaksanaannya, Samsul Nizar dan al-Rasyidin mengemukakan bahsa asas-asas metode pendidikan Islam dapat diformulasikan kepada beberapa asas berikut ini.
a. Asas motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian peserta didik ke arah bahan pelajaran yang sedang disajikan.

b. Asas aktivitas, yaitu memberikan kesempatakn kepada peserta didik untuk mengambil bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.

c. Asas apersepsi, yaitu mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, perbendaharaan konsep, dan kekayaan akan informasi.

d. Asas peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk asilnya maupun tiruan.

e. Asas ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.

f. Asas korelasi, yaitu menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat.

g. Asas konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.

h. Asas individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual peserta didik.

i. Asas sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitakn semangat kerja sama peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan masyarakat, dalam menerima pelajaran agar berdaya guna.

j. Asas evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara mengajar.

k. Asas kebebasan, yaitu memberi keleluasaan keinginan dan tindakan bagi peserta didik dnegan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif.

l. Asas lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.

m. Asas globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, sosial dan sebagainya.

n. Asas pusat-pusat minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan suatu yang berharga bagi seseorang.

o. Asas ketauladanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan ditauladani peserta didik.

p. Asas pembiasaan, yaitu membiasakan hal-hal positif dana diri peserta didik sebagai upaya praktis dalam pembinaan mereka.

Sementara Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah juga menyinggung masalah asas-asas atau prinsip-prinsip metode pendidikan Islam. Di antara asas atau prinsip metode pendidikan Islam yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Mengajarkan materi dari yang inderawi kepada yang rasional; menurut Ibn Khaldun kemampuan manusia dalam berpikir terjadi dalam tiga tingakatan, yaitu al-Aql al-tamyīziy yang bersifat empiris, al-Aql al-tajrībiy yang mampu melakukan berbagai eksperimen dan mulai mampu berpikir lebih rasional, dan al-Aql al-Nazhori atau berpikir spekulatif yaitu kemampuan akal untuk berpikir lebih abstrak dari tingkatan sebelumnya. Maka dalam mengajarkan sesuatu, hendaknya bertahap (al-tadrīj) dari yang inderawi kepada rasional sesuai dengan tingkatan akal manusia tersebut.

2. Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran; karena kemampuan anak didik biasanya diawali dari hal-hal yang empiris baru kemudian diarahkan kepada hal-hal yang rasional atau abstrak, maka dalam mengajar pun hendaknya sarana atau alat peraga yang bersifat kongkrit digunakan oleh guru sehingga membantu pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan.

3. Prinsip spesifikasi dan integrasi; menurut Ibn Khaldun, ilmu memiliki beberapa cabang, seperti kelompok ilmu naqliyah, aqliyah dan ilmu alat. Masing-masing kelompok memiliki cabang-cabang tersendiri. Meskipun terdapat banyak cabang ilmu, peserta didik tidak diharuskan untuk menguasai seluruhnya. Ibn Khaldun justru memandang perlunya spesifikasi ilmu pengetahuan. Artinya, seorang pelajar mesti mengkhususkan kajiannya kepada satu bidang keilmuan. Menurutnya, apabila seorang pelajar dihadapkan kepada persoalan yang banyak sekaligus niscaya ia tidak akan sanggup memahami secara keseluruhan. Akibatnya, otaknya akan jemu dan tidak sanggup untuk beraktivitas sehingga bisa membuatnya meninggalkan ilmu yang sedang dipelajarinya.

4. Prinsip kontinuitas dalam penyajian materi; Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa setiap pendidik seharusnya memperhatikan prinsip kontinuitas atau kesinambungan dalam menyajikan materi pelajaran yang sejenis kepada murid-muridnya. Dengan demikian antara penyajian suatu materi ke materi lainnya hen¬daknya tidak ada jarak waktu yang terlalu lama, sebab hal itu dapat menyebabkan murid lupa terhadap materi-materi sebelumnya.

5. Tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu; Sejalan dengan prinsip spesifikasi dan integrasi di atas, Ibn Khaldun menegaskan seorang guru agar tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu sekaligus, khususnya bagi peserta didik tingkat pemula. Mengajarkan dua atau lebih ilmu pengetahuan dalam satu waktu hanya akan membingungkan, sebab metode seperti itu akan sukar sekali dikuasai oleh peserta didik dan perhatiannya akan terbagi serta dapat terganggu oleh satu ilmu dengan yang lainnya.

6. Menghindari kekerasan terhadap murid; Ibnu Khaldun mengharuskan kepada guru agar bersikap kasih-sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar membahayakan jasmani anak (peserta didik). Jika anak diperlakukan secara kasar dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor. Sementara pemberlakuan sanksi (punishment) bisa dilakukan, tetapi sanksi tersebut bersifat edukatif. Sanksi ini hendaknya diterapkan oleh guru dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain, (sesudah semua cara yang lemah-lembut tidak berhasil). Dengan begitu, hukuman menjadi salah satu alat atau metode dalam pendidikan Islam

7. Jangan mengajarkan ilmu dari hasil ringkasannya; Ibn Khaldun menerangkan bahwa para sarjana di zamannya, telah banyak yang membuat ringkasan dari berbagai buku, atau yang disebut dengan mukhtashar. Buku-buku ringkasan ini bisa membuat peserta didik—khususnya peserta didik tingkat lanjutan—tidak menguasai suatu ilmu dengan utuh sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya, padahal mereka harus menguasai ilmu secara spesifik.
Asas-asas, dasar, atau prinsip metode pendidikan di atas mesti menjadi pertimbangan setiap pendidik dalam menentukan dan mengembangkan metode pendidikan yang akan digunakan. Dengan asas-asas itu pula diharapkan metode yang digunakan mampu mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien dan tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.

6. Macam-macam Metode Pendidikan Islam
Terdapat beberapa macam metode yang digunakan dalam pendidikan Islam. Al-Syaibany mengemukakan ada dua belas metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu: metode pengambilan kesimpulan atau induktif, metode perbandingan (qiyasiah), metode kuliah, metode dialog dan perbincangan, metode lingkaran (halaqah), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla’ (dictation), metode hafalan, metode pemahaman, dan metode lawatan untuk menuntut ilmu (pariwisata).

Abdurrahman an-Nahlawi juga mengemukakan beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam. Menurutnya, metode yang dianggap paling penting dan paling menonjol adalah sebagai berikut:
a. metode dialog Qur’ani dan Nabawi, meliputi dialog khithabi dan ta’abbudi, dialog deskriptif, dialog naratif, dialog argumentatif, dan dialog nabawi;
b. mendidik melalui kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi;
c. mendidik melalui perumpamaan (amtsal) Qur’ani dan Nabawi;
d. mendidik melalui keteladanan;
e. mendidik melalui aplikasi dan pengamalan;
f. mendidik melalui ibrah dan nasehat; dan
g. mendidik melalui targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).

Selain pendapat an-Nahlawi di atas, Ramayulis mengemukakan tiga belas metode yang dapat digunakan dalam mengajar, yaitu: metode ceramah, tanya jawab, demonstrasi, eksperimen, diskusi, sosio drama dan bermain peranan, drill (latihan), mengajar beregu (team teaching), pemecahan masalah, pemberian tugas belajar dan resitasi, kerja kelompok, imla’ (dikte), dan simulasi.

Dari beberapa metode di atas, dalam makalah yang terbatas ini akan diuraikan beberapa metode yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.

a. Metode Teladan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini juga dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya. Keteladanan itu terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga Allah pun memujinya dalam al-Qur’an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung (Q.s. Qalam/68:4).

Selain kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa keteladanan itu ada pada diri Nabi Ibrahim AS. Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang mendapat julukan khalilullah ini juga dapat dilihat dari kepribadiannya yang mulia dalam mendidik kaumnya agar menegakkan agama tauhid. Bahkan metode keteladanan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan Nabi Ibrahim dalam mendidik anaknya Isma’il sehingga menjadi anak yang shaleh lagi halim.

Kedua nabi yang disebut al-Qur’an sebagai uswatun hasanah ini patut diteladani oleh umat Islam, khususnya pendidik Islam sebagai pewaris nabi. Dengan keteladanan tersebut diharapkan peserta didik memiliki kepribadian yang islami dan pada gilirannya akan menjadi teladan bagi sekelilingnya.

b. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam proses pendidikan. Meskipun metode lain dipakai, tetapi metode itu selalu dikombinasikan dengan metode ceramah ini. Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya metode ceramah. Menurut Abuddin Nata, metode ini disebut al-Qur’an dengan kata khutbah yang diulang sebanyak 9 kali dan kata tabligh yang diulang sebanyak 78 kali. Metode ini juga dilakukan oleh nabi dalam mengajak dan mendidik kaumnya ke jalan yang benar.

Metode ini juga bisa efektif diterapkan jika penyampaiannya menggunakan bahasa yang jelas, mudah dipahami dan mengandung pesan-pesan yang bermutu sehingga memperkaya wawasan peserta didik secara kognitif. Metode ceramah juga bisa menyentuh qalbu peserta didik sehingga ceramah tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga ranah apektif.

c. Metode Nasehat
Metode nasehat merupakan penyampaian kata-kata yang menyentuh hati dan disertai dengan keteladanan. Dengan demikian metode ini memadukan antara metode ceramah dengan keteladanan, namun lebih diarahkan kepada bahasa hati, tetapi bisa pula disampaikan dengan pendekatan rasional. Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang metode nasehat yang dilakukan oleh para nabi kepada kaumnya, seperi Nabi Shaleh As yang menasehati kaumnya agar menyembah Allah, dan Nabi Ibrahim AS yang menasehati ayahnya, Azar, agar menyembah Allah dan tidak lagi membuat patung . Begitu pula al-Qur’an mengisahkan Luqman memberi nasehat kepada anaknya agar menyembah Allah dan berbakti kepada orang tua serta melakukan sifat-sifat yang terpuji seperti yang terdapat dalam Q.S. Luqman/31: 12-13.

Selain dari kisah nabi dan Luqman di atas, al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang mengandung nasehat, seperti nasehat agar tidak mempersekutukan Allah dan berbuat baiklah kepada manusia. Dalam al-Qur’an juga terdapat nasehat yang berulang-ulang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang dinasehati itu penting sesuai dengan konteksnya.

Abuddin Nata menegaskan bahwa al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasehat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur’an berbicara tentang penasehat, yang dinasehati, obyek nasehat, situasi nasehat, dan latar belakang nasehat. Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasehat dapat diakui kebenarannya untuk diterapkan sebagai upaya mencapai suatu tujuan.

d. Metode Diskusi
Metode diskusi juga mendapat perhatian dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat al-Nahl/16 ayat 125 dijelaskan agar kita mengajak ke jalan yang benar dnegan hikmah dan mau’izhah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang paling baik pula. Kemudian dalam surat al-Ankabut ayat 46 juga dijelaskan agar kita tidak berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran metode diskusi juga dapat digunakan. Namun penerapan metode ini harus dilakukan dengan baik, seperti tidak menyinggung perasaan orang lain, menghargai pendapat dan pembicaraannya, tidak memonopoli forum dan tidak pula egois serta dibutuhkan kedewasaan berpikir.

e. Metode targhib dan tarhib
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat didefenisikan bahwa targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun penundaan itu bersifat pasti, baik, murni dan dilakukan melalui amal shaleh atau pencegahan diri dari kelezatan yang membahayakan. Sementara tarhib adalah ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah. Kedua metode ini bisa dilihat dalam surat Zalzalah ayat 7-8. .
Dalam ilmu modern, targhib dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Sementara tarhib dikenal dengan istilah punishment hukuman atau sanksi sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi metode pendidikan yang baik. Keduanya dapat diterapkan dalam pendidikan dan menyesuaikannya dengan kondisi yang dihadapi. Namun jika dibandingkan antara keduanya, seharusnya metode targhib lebih diprioritaskan dari pada tarhib. Misalnya, jika ada peserta didik yang mengerjakan tugas dan yang lainnya tidak membuat tugas, maka yang terlebih dahulu diberikan respon adalah kepada peserta didik yang telah membuat tugas.

Meskipun demikian, metode tarhib memang tetap dibutuhkan, tetapi harus terlebih dahulu dilalui dengan metode keteladanan, atau nasehat yang baik. Dalam hal ini Muhammad Qutb menegaskan bahwa bila metode teladan dan nasehat juga tidak mampu, maka harus diadakan tindakan berupa tarhib. Tetapi yang harus ditekankan bahwa sanksi atau hukuman yang diberikan harus bersifat edukatif.

Masih banyak macam-macam metode yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Semua metode tersebut dapat digunakan dalam pendidikan Islam tetapi tetap menyesuaikan dengan karakteristik dan asas-asas di atas. Namun tidak ada satu pun metode yang mutlak ideal di antara metode-metode lain. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pendidik juga bisa menggunakan metode secara bervariasi dengan tetap mempertimbangkan kelebihan dan kelemahannya serta relevansinya dengan kebutuhan.

Metode tersebut akan tepat dan benar digunakan jika disesuaikan dengan kebutuhan, baik yang berhubungan dengan materi, tujuan pendidikan, suasana lingkungan belajar, hingga kepada kondisi psikologis peserta didik. Oleh karena itu, dituntut kompetensi pendidik dalam memilih dan menentukan metode yang tepat sehingga pencapaian tujuan pendidikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

C. Analisis Filosofis Alat Pendidikan Islam
1. Pengertian Alat Pendidikan Islam
Sutari Imam Barnadib berpendapat bahwa alat pendidikan adalah “suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan tindakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan”. Sementara Ahmad D. Marimba mendefinisikannya sebagai “segala sesuatu atau apa yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan.” Ramayulis mengatakan bahwa dari beberapa literatur tidak terdapat perbedaan antara alat dengan media pendidikan. Oleh karenanya, ia tidak membedakan antara alat dengan media. Zakiah Daradjat juga tidak membedakan antara alat dengan media. Menurutnya, media atau alat pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan pendidikan.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa alat juga merupakan komponen penting dalam pendidikan. Dengan alat tersebut, tujuan pendidikan akan mudah untuk dicapai.

2. Urgensi dan Fungsi Alat Pendidikan
Alat pendidikan memiliki peranan penting dalam proses pendidikan dalam mencapai statu tujuan. Menurut Yusuf Hadi Miarso, dkk, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa alat/media pendidikan itu mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa kemampuan antara lain: (1) membuat konkrit konsep yang abstrak, (2) membawa obyek yang sukar didapat ke dalam lingkungan belajar siswa, (3) menampilkan obyek yang terlalu besar, (4) menampilkan obyek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang, (5) mengamati gerakan yang teralu cepat, (6) memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar siswa, (7) membangkitkan motivasi belajar, dan (8) menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan.

Mengenai pentingnya alat ini, Ali Jumbulati juga menyatakan bahwa dalam pekerjaan mengajar, alat-alat peraga merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, yang berlawanan dengan kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau diucapkan. Di samping itu, alat peraga juga menjadikan pengetahuan anak bersentuhan langsung dengan pengalaman indrawi yang hakiki. Maka dari itu makna yang terkandung di dalam komponen pendidikan ini adalah lebih memudahkan anak memahami pelajaran dan meminimalisir kesalahan dalam penerimaan ilmu yang diajarkan.

Adapun fungsi alat pendidikan, D. Ahmad Marimba menyebutkan setidaknya ada tiga fungsi alat pendidikan, yaitu sebagai perlengkapan, sebagai pembantu mempermudah usa mencapai tujuan, dan sebagai tujuan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, seperti tujuan mempelajari bahasa Arab untuk mengetahui isi al-Qur’an. Dengan demikian, alat pendidikan sangat membantu terwujudnya tujuan pendidikan. Oleh karena itu, Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain menyebut media sebagai alat bantu sekaligus sumber belajar.

3. Karakteristik Alat Pendidikan
Seperti halnya metode pendidikan, maka karakteristik alat pendidikan Islam juga berlandaskan kepada karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Ramayulis berpendapat bahwa karakteristik sistem pendidikan Islam setidaknya dapat dilihat dari tiga hal dimana ketiga karakter ini sekaligus membedakannya dengan sistem pendidikan non-Islam. Pertama, sistem idiologi; Islam memiliki idiologi al-tauhid yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, sedangkan non-Islam memiliki berbagai macam ideologi yang bersumber dari isme-isme materialis, sosialis, komunis, dan sebagainya. Dengan idiologi tauhid, maka pendidikan Islam tidak mengenal istilah dikotomis, dualisme, bahkan sekuralis. Akan tetapi sistem pendidikan Islam menghendaki adanya integralistik yang menyatukan kebutuhan duniawi dan ukhrasi, jasmani dan rohani, materi dan spiritual serta oleh oleh roh tauhid yang dinafasi dan dijiwai. Kedua, sistem nilai; pendidikan Islam bersumber dari nilai al-Qur’an dan Sunnah, berasal dari wahyu yang memiliki kebanaran mutlak. Sedangkan non-Islam bersumber dari nilai-nilai yang berasal dari hasil pemikiran manusia, penelitian para ahli atau adat kebiasaan masyarakat. Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah tersebut diinternalisasikan dalam proses pembelajarannya. Ketiga, orientasi pendidikan; dalam pendidikan Islam orientasinya kepada duniawi dan ukhrawi, sementara non-Islam berorientasi kepada duniawi saja.

Demikian halnya alat pendidikan Islam, tiga karakteristik di atas juga menjadi karakter alat pendidikan Islam. Alat yang digunakan dan dikembangkan harus beridiologi al-tauhid sehingga penggunaan alat tidak bercorak dikotomis, pragmatis dan materialistis. Alat pendidikan Islam juga memiliki karakteristik sistem nilai yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, sehingga alat apapun yang ingin digunakan tidak terlepas dari semangat al-Qur’an dan Sunnah, tetapi sebagai upaya untuk mengaplikasikan nilai-nilai kedua sumber tersebut. Begitu pula orientasi dari metode pendidikan Islam tidak hanya mengantarkan peserta didik menguasai materi ajar yang disampaikan, tetapi berorientasi pada tercapainya kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat.

4. Macam-macam Alat Pendidikan
Adapun jenis dari alat tersebut, tidak saja berupa benda (material) tetapi juga yang bukan benda (non materi). Menurut Zakiah Dardjat, alat berupa benda ini meliputi: pertama, media tulis atau cetak seperti al-Qur’an, hadis, tauhid, fiqh, sejarah, dan sebagainya; kedua, benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, zat padat, zat cair, zat gas, dan sebagainya; ketiga, gambar-gambar, lukisan, diagram, peta dan grafik. Alat ini dapat dibuat dalam ukuran besar dan dapat pula dipakai dalam buku-buku teks atau bahan bacaan lain; keempat, gambar yang dapat diproyeksi, baik dengan alat atau tanpa suara seperti foto, slide, film strip, televisi, video, dan sebagainya; dan kelima, audio recording (alat untuk didengar) seperti karet tape, radio, piringan hitam, dan lain-lain yang semuanya diwarnai dengan ajaran agama.
Adapun alat yang berupa non-benda, dapat berupa keteladanan, perintah/larangan, ganjaran dan hukuman, dan sebagainya. Jadi, alat berupa non-benda ini tampaknya sama dengan metode. Hal ini dapat diterima mengingat bahwa metode juga dapat disebtu sebagai alat pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.

Dari pembagian alat pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan tersebut amat luas cakupannya. Berbagai benda yang ada di alam sekitar dapat dijadikan sebagai alat, mulai dari hal-hal sederhana, seperti tumbuhan, hewan, bebatuan, hingga kepada benda-benda yang telah menjadi temuan ilmiah, seperti TV, LCD, komputer, dan sebagainya. Begitu pula dalam hal non-benda, berbagai metode yang dikenal dalam pendidikan juga dapat disebut sebagai alat pendidikan.

Dalam al-Qur’an juga ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa pentingnya alat dalam pendidikan. Makhluk Allah berupa hewan yang dijelaskan dalam al-Qur’an juga bisa menjadi alat dalam pendidikan. Seperti nama salah satu surat dalam al-Qur’an adalah an-Nahl yang artinya lebah. Dalam ayat ke 68-69 di surat itu Allah menerangkan:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتاً وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.

Jelaslah bahwa ayat di atas menerangkan bahwa lebah bisa menjadi media atau alat bagi orang-orang yang berpikir untuk mengenal kebesaran Allah yang pada gilirannya akan meningkatkan keimanan dan kedekatan (taqarrub) seorang hamba kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW dalam mendidik para sahabatnya juga selalu menggunakan alat atau media, baik berupa benda maupun non-benda. Salah satu alat yang digunakan Rasulullah dalam memberikan pemahaman kepada para sahabatnya adalah dengan menggunakan gambar.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ”Rasulullah membuatkan kami garis dan bersabda, ”Ini jalan Allah.” Kemudian membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya, dan bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan (setan).” Yazid berkata, ”(Garis-garis) yang berpencar-pencar.” Rasulullah SAW bersabda, ”Di setiap jalan ada setan yang mengajak kepadanya. Kemudian beliau membaca,

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’am/6: 153).

Hadis di atas terlihat jelas bahwa Rasulullah SAW menggunakan garis-garis sebagai alat pendidikan untuk menjelaskan apa yang ingin beliau sampaikan kepada para sahabatnya.

Perlu pula ditegaskan bahwa dalam konteks pendidikan Islam, M. Arifin menyebutkan alat-alat pendidikan harus mengandung nilai-nilai operasional yang mampu mengantarkan kepada tujuan pendidikan Islam yang sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut tentunya berdasarkan kepada dasar atau karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Dewasa ini, pengembangan alat pendidikan semakin pesat seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan Islam juga tetap melakukan berbagai inovasi termasuk dalam pengembangan penggunaan alat pendidikan sehingga membantu kelancaran proses pendidikan tersebut. Namun penggunaan alat tersebut mesti tetap berlandaskan kepada dasar-dasar pendidikan Islam dan mengacu kepada tujuan yang telah direncanakan.

5. Prinsip-prinsip Pemilihan dan Penggunaan Alat
Dalam memilih dan menentukan alat pendidikan, diperlukan prinsip-prinsip yang harus dipahami oleh seorang pendidik. Menurut Nana Sudjana mengemukakan ada empat prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1) menentukan jenis alat peraga dengan tepat, artinya sebaiknya guru memilih terlebih dahulu alat peraga manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang hendak diajarkan.

2) Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat, artinya perlu diperhitungkan apakah penggunaan alat peraga itu sesuai dengan tingkat kematangan/kemampuan anak didik.

3) Menyajikan alat peraga dengan tepat, artinya teknik dan metode penggunaan alat peraga dalam pengajaran harus disesuaikan dengan tujuan, bahan, metode, waktu, dan sarana yang ada.

4) Menempatkan atau memperlihatkan alat peragaan pada waktu, tempat, dan situasi yang tepat. Artinya kapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar alat peraga digunakan. Tentu tidak setiap saat atau selama proses mengajar terus-menerus memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan alat peraga.

Prinsip yang dikemukakan oleh Nana Sudjana di atas memang lebih berkenaan dengan alat pendidikan berupa benda. Sementara alat dalam bentuk non-benda pada dasarnya tidak berbeda dengan prinsip-prinsip dalam menentukan metode, sebab alat non-benda tersebut juga merupakan bagian dari metode.

D. Rekomendasi

Salah satu problematika pendidikan Islam dewasa ini adalah persoalan metode pembelajaran yang masih monoton dan cenderung membosankan peserta didik serta lemahnya kemampuan tenaga pendidik dalam memanfaatkan dan mengembangkan alat/media pendidikan. Oleh karena, pembaharuan di bidang metode dan alat pendidikan Islam harus dilakukan.

Mengenai persoalan metode, juga telah pernah disinggung oleh para pendidikan Islam. Mastuhu, misalnya, berpendapat bahwa metode belajar yang digunakan selama ini masih bersifat “klasik”, yaitu mewariskan sejumlah materi ajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada peserta didik tanpa memberikan kesempatan kepadanya agar disikapi secara kritis. Maka metode belajar dan mengajar sistem pendidikan Islam bercorak menghafal, mekanis, dan lebih mengutamakan pengayaan materi, sehingga ilmu lebih dipandang dari segi hasil dari pada proses. Lalu ia menawarkan perlu segera diadakan reorientasi metodologi pengajaran dan cara belajar pasif ke aktif. Dari murid menunggu, menerima, dan memperoleh materi pelajaran sebanyak-banyaknya menjadi aktif mencari dan menguasai metodologi berpikir yang kuat dan konstruktif. Dari dimensi belajar “memiliki” menjadi belajar “menjadi”, atau dari dimensi “menganalisis” kemudian “mensintesa”, “mengevaluasi”, dan “mengantisipasi”.
Selain itu, Mastuhu juga menawarkan ada delapan hal yang perlu dilakukan perubahan dan pengembangan metode belajar dan mengajar pada pendidikan Islam di Indonesia, yaitu:
(1) mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah; (2) dari hafalan ke dialog; (3) dari pasif ke heuristic; (4) dari memiliki ke menjadi; (5) dari mekanis ke kreatif; (6) dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat; (7) dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan, menjadi memandang dan menimba ilmu dalam dimensi proses, dan (8) fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, tetapi mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.

Pendapat Mastuhu perlu dijadikan bahan pertimbangan untuk meningkatkan motivasi pendidik dalam mengembangkan metode dalam proses pendidikan. Guru atau tenaga pendidik harus mampu menentukan metode yang dapat membuat peserta didik memiliki respon dan daya kritis yang kuat sehingga proses pembelajaran lebih bersifat berpusat pada siswa (student-centris), paling tidak seimbang, berpusat antara guru dengan siswa; bukan malah sebaliknya hanya berpusat pada guru (teacher centris).
Dalam hal pengembangan metode dalam proses belajar-mengajar, perlu juga dilakukan berbagai inovasi metode mengajar, atau saat ini dikenal dengan sebutan ”model pembelajaran”. Model-model pembelajaran ini diperlukan untuk dikembangkan lagi sehingga proses pembelajaran membuat siswa lebih aktif tanpa terbebani.

Selain masalah metode, pengembangan alat atau media juga harus dilakukan. Sistem pembelajaran berbasis ICT (information, communication and technology). Agar perkembangan teknologi ini tidak berdampak negatif, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang berlandaskan kepada nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

Tidak kalah penting lagi adalah mengenai metodologi keilmuan yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan Islam. Selama ini ada kecenderungan bahwa metode yang dikembangkan oleh pendidikan Islam berbeda dengan yang dikembangkan oleh pendidikan Barat, bahkan ada semacam dikotomi yang saling bertolak belakang. Akibatnya, lembaga pendidikan yang mengikuti pola pendidikan Barat dalam hal metodologinya lebih cenderung menguasai sains tetapi mengalami kehampaan spiritual dan terkesan jauh dari nilai-nilai religius (baca: Islam); sebaliknya lembaga pendidikan yang mengikuti pola pendidikan Islam lebih cenderung menguasai ilmu-ilmu agama, namun tertinggal dalam penguasaan sains dan teknologi.

Perbedaan ini berangkat dari pendekatan epistemologi pendidikan yang dikembangkan. Epistemologi keilmuan yang berkembang di Barat berangkat dari hal-hal yang empiris, rasional, dan tangkapan inderawi serta mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisis, termasuk eksistensi agama. Sementara epistemologi pendidikan Islam justru berangkat dari motivasi agama melalui wahyu Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dimana alam semesta yang bersifat materi serta hal-hal yang bersifat metafisika dikaji secara integral sehingga dikenal pendekatan intuisi di samping pendekatan-pendekatan lainya.
Namun dalam kenyataannya, lembaga pendidikan Islam masih cenderung bersifat dikotomis, dalam artian lebih menekankan metodologi yang didasarkan kepada intuisis mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan an sich. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus kembali kepada prinsip dasarnya yang bersifat integral, komprehensif dan seimbang. Tegasnya, metodologi ilmu-ilmu umum yang berkembang di Barat harus diintegrasikan dengan metodologi ilmu-ilmu agama yang selama ini lebih digeluti.

Dalam hal integrasi antara kedua bentuk ilmu di atas juga telah mendapat kajian dari beberapa pakar pendidikan, salah satu di antaranya adalah Isma’il al-Faruqi yang menawarkan Islamisasi Ilmu. Konsep ini juga berimplikasi kepada pentingnya menggunakan metodologi yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu umum, tetapi diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga terhindar dari pendekatan yang dikotomis.
Akhir-akhir ini muncul pula paradigma integritas transdisipliner. Keahlian transdisipliner adalah keahlian seseorang dipandang lebih ideal apabila mamu meliat secara transparan disiplin ilmu lain. Artinya mengenal substansi ilmu lain sampai batas tertentu; bukan mesti menjadi multidisiplin dan interdisiplin, melainkan mengenal beragam hal mengenai substansi banyak disiplin ilmu lain sehingga dalam mengembangkan disiplin ilmunya sendiri tahu kawasan disiplin ilmunya dan tahu komplementasi atau kontradiksi yang dapat terjadi dengan disiplin ilmu lain.

Tegasnya, metode pendidikan Islam yang harus dikembangkan untuk menjawab tantangan saat ini dan masa yang akan datang, tampaknya pendekatan nondikotomik atau integrasi ilmu ini patut dijadikan sebagai solusi alternatif. Jika lembaga pendidikan Islam mampu mengembangkannya secara konsisten, maka kejayaan ilmu pengetahuan akan dapat diraih.

Untuk mewujudkan pemikiran-pemikiran di atas, PTAI, seperti Fakulatas Tarbiyah, diharapkan mampu mempersiapkan guru yang mampu mengembangkan metode dan alat/media pembelajaran yang dinamis, inovatif dan kreatif sehingga peserta didik dapat belajar aktif dan akhirnya membantunya dalam meraih tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Begitu pula dalam hal pengembangan metodologi keilmuan yang transdisipliner di atas, juga saatnya untuk dimulai secara bertahap dan konsisten. Program pascasarjana di PTAI pun diharapkan mampu mengembangkan kajian ke arah yang lebih spesifik sesuai yang diinginkan dalam disiplin ilmu pendidikan itu sendiri. Saat ini, konsentrasi atau bidang ilmu pendidikan Islam masih bersifat umum; idealnya, sudah ada konsentrasi/bidang yang lebih spesifik lagi, seperti konsentrasi kurikulum pendidikan Islam, konsentrasi teknologi pendidikan Islam, konsentrasi evaluasi pendidikan Islam, konsentrasi manajemen pendidikan Islam, dan sebagainya. Jika spesifikasi keilmuan pendidikan Islam telah dimulai dari program pascasarjana, maka akan memudahkan untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pendidik di tingkat program S.1 sehingga melahirkan guru-guru yang berpikir integral, sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.

E. Penutup
Dari paparan mengenai metode dan alat pendidikan Islam dalam perspektif Filsafat Pendidikan Islam di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, metode merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Sebaik apapun materi ajar yang telah disiapkan atau direncanakan, tanpa metode yang baik dan tepat, maka proses pembelajaran itu bisa menuai kegagalan dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu, kemampuan pendidik dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan. Metode dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem pendidikan non-Islam. Metode pendidikan Islam tetap berlandaskan kepada karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam mengembangkan metode harus menunjukkan karakteristik tersebut lalu mempertimbangkan asas-asas metode pendidikan Islam sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Kedua, alat atau media juga menjadi komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Alat pendidikan amat membantu proses pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Maka setiap guru/pendidik juga dituntut untuk kreatif dalam memilih dan menggunakan alat pendidikan. Penggunaan alat pendidikan juga harus mempertimbangkan materi ajar, kondisi siswa/peserta didik, lingkungan, sarana prasarana, dan aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi penggunaan alat tersebut.

Ketiga, begitu pentingnya metode dan alat dalam pendidikan, maka pendidik dituntut profesionalitasnya dalam mengembangkan metode dan alat tersebut. Pendidik harus mengetahui keunggulan dan kelemahan dari masing-masing metode dan alat yang akan digunakan serta menentukan pilihan yang paling tepat sehingga peserta didik lebih aktif dan kritis dalam proses pembelajaran. Dan yang paling terpenting adalah dengan metode dan alat itu, peserta didik sampai kepada tujuan yang diinginkan.

Keempat, selain dari profesionalitas dalam menentukan dan menerapkan, pendidik juga dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menciptakan metode dan alat-alat pendidikan, baik dalam memvariasikan antara metode dan alat yang satu dengan lainnya atau menemukan metode dan alat yang baru.

Kelima, epistemologi pendidikan Islam yang berkembang selama ini merupakan sub sistem dari filsafat yang berkaitan erat dengan pembahasan metode pendidikan. Oleh karena itu perlu pengembangan lebih lanjut epistemologi pendidikan Islam serta kajian metodologi keilmuan ke arah integrasi ilmu dan paradigma transdisipliner. Hal ini dapat dilakukan mengingat salah satu karakteristik dari pendidikan Islam itu adalah idiologi yang bercorak tauhid.

Baco Tokhus....

Rabu, Oktober 22, 2008

Islam Anti Kolusi

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Praktik kolusi, atau suap menyuap tak kunjung berhenti di negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini. Kasus demi kasus bermunculan silih berganti memasuki meja hijau mengantri dan tidak diketahui secara pasti kapan akan berhenti. Ironisnya, pelaku kolusi justru menganut agama Islam.

Islam dan Kolusi
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sangat mengecam tindakan kolusi. Apalagi melihat dampak negatif yang amat besar, tidak hanya membahayakan diri pelaku secara individual, tetapi juga membawa kerugian bagi masyarakat sekitar. Kolusi dikenal dengan suap-menyuap atau sogok-menyogok antara dua pihak atau lebih demi kepentingan tertentu. Kasus kolusi biasanya dipraktekkan antara tersangka suatu kejahatan dengan hakim agar hakim memenangkan perkaranya. Kasus ini bisa juga terjadi antara para koruptor yang telah terseret ke meja hijau dengan sang hakim sehingga mereka dapat bebas tanpa syarat. Mengenai hal ini, Allah SWT dengan tegas berfirman: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, (janganlah kamu) membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188).

Selain itu, ditemukan juga hadis dari Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam yang empat dan dihasankan oleh Turmidzi serta disahihkan oleh Ibnu Hibban. Hadis itu berbunyi: La'ana Rasulullah SAW al-Râsyi wa al-Murtasyi fi al-Hukmi. Artinya: "Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum." Kata-kata “laknat” menunjukkan betapa bencinya Rasulullah terhadap perilaku kolusi sehingga perilaku tersebut mesti dijauhi dan pelakunya segera ditindak.
Kasus kolusi lain juga bisa terjadi antara para pegawai—baik swasta terutama negeri—dengan memberikan uang atau hadiah tertentu sebagai "pelicin" untuk memudahkan urusannya, seperti kenaikan pangkat, pengajuan proposal, mempercepat antrian dan sebagainya. Padahal pegawai yang disuap sebenarnya telah digaji untuk mengurus urusan si penyuap, tetapi ia masih mau—bahkan ada yang meminta dengan alasan "uang minyak" atau sekedar "nasi sebungkus"—menerima suapan tersebut.
Rasulullah juga mengajarkan agar seorang petugas/pejabat tidak dibenarkan menerima hadiah dimana hadiah itu diperoleh karena jabatannya. Sebab hadiah yang diberikan karena jabatan yang dimilikinya akan membuka peluang terjadinya praktik kolusi. Lebih jelasnya, perhatikanlah hadis Rasulullah SAW berikut ini: Abu Humaid Assa'id r.a. berkata: Rasulullah SAW mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: "Ini untukmu dan ini untuk hadiah yang diberikan orang kepadaku." Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Mengapakah Anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu Anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)?" Kemudian sesudah shalat, Nabi SAW berdiri, setelah tasyahud memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, "Amma ba'du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, Ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi dan kolusi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan. Abu Humaid berkata, 'Kemudian Nabi SAW, mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya." (HR. al-Bukhari dalam kitab "Imam dan Nadzar" bab "Bagaimana cara Nabi SAW Bersumpah).
Hadis di atas dengan jelas menerangkan bahwa Rasulullah SAW melarang seorang pegawai atau pejabat menerima hadiah karena jabatannya, padahal hadiah itu belum tentu dalam bentuk suapan secara langsung. Tetapi jika hadiah itu memang biasa ia terima sebelum ia menjabat, dengan kata lain hadiah itu bisa dipastikan tidak ada kaitannya dengan jabatan yang sedang disandangnya tentu tidak menjadi persoalan. Begitulah Islam, menetapkan hukum yang bersifat preventif agar terhindar dari bahaya yang ditimbulkannya. Mencegah lebih baik dari pada mengobati (al-wiqaayatu khairun minal’ilaaj/prevention is better than cure).
Hadis di atas juga menjelaskan bahwa Rasul tidak hanya melarang sahabat tersebut secara pribadi saja, tetapi setelah peristiwa itu, nabi juga mengangkat kasus itu di hadapan sahabat lain. Tujuannya agar sahabat lain juga mensosialisasikan larangan tersebut kepada umat Islam lainnya. Tentu hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat melarang praktik kolusi.
Oleh karena itu, umat Islam harus membenci dan menjauhi praktik kolusi. Para hakim yang bertugas menetapkan hukuman hendaknya bertindak secara adil dan memutuskan hukuman yang berat bagi pelaku kolusi sehingga mereka jera dan masyarakat lain pun tidak turut melakukannya. Dalam hal ini dituntut juga komitmen dari aparat penegak hukum agar membersihkan diri sendiri dari praktik kolusi. Bukan sekedar slogan, “hapuskan kolusi”, atau menempel papan pengumuman “dilarang melaksanakan urusan melalui Calo”, sementara oknum aparat masih bertindak sebagai “calo”.
Terutama para penegak hukum yang beragama Islam, sejatinya menjauhi praktik kolusi tidak hanya karena kesadaran akan tugas dan tanggung jawab sebagai pejabat/petugas, tetapi berbuatlah atas motivasi agama. Hadiah atau harta yang diperoleh dari hasil kolusi jelas bersifat haram serta menimbulkan dosa dan siksa di akhirat kelak nanti. Bahkan jika hasil dari kolusi tersebut dimakan oleh anak istri kita maka akan mendarah daging bagi mereka. Akibatnya, seperti yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali, sesuap nasi yang dimakan dan hukumnya haram akan diproses dalam perut lalu menjadi darah dan mengalir ke otak sehingga mengakibatkan pikiran cenderung kepada hal-hal yang haram.
Akhirnya cepat atau lambat kolusi akan mendatangkan mudharat bagi seseorang dan keluarganya. Mereka tidak akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Meskipun mereka merasa senang ketika memperoleh hasil kolusi tersebut pastilah bersifat sesaat. Lain lagi dampaknya terhadap orang banyak, selain merugikan orang lain, sepenyuap juga bisa jadi “menyumpahi” si penerima suap, terlebih kepada si penerima suap yang dengan sengaja meminta “pelicin”.

Jauhi Calon Pemimpin yang Kolusi
Menjelang Pemilu 2009, atau Pilkada di beberapa tempat--seperti di kota Padang di akhir bulan ini--umat Islam hendaknya memperhatikan track-record calon pemimpin. Calon pemimpin yang pernah mempraktekkan kolusi, tidak memberantas kolusi atau diam saja terhadap praktik kolusi yang ada di sekitarnya tidak layak untuk dijadikan sebagai pemimpin. Sebab pemimpin yang kolusi bisa mempermainkan hukum, berpikir subjektif bukan objektif, mengelabui kebenaran demi kebatilan, serta mengkhianati rakyat baik secara langsung maupun terselubung.
Tegasnya pemimpin masa depan adalah orang yang berpikir objektif, tegas terhadap kemungkaran dan kebatilan, menjunjung tinggi hukum yang berlaku, mengedepankan profesionalitas dan kualitas serta tidak mengkhianati amanah yang telah diberikan. Jika tidak, maka bangsa yang dihuni oleh mayoritas umat Islam akan tetap terbelakang, jalan di tempat dan tidak mampu melakukan perubahan yang signifikan.
Semoga Allah memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya bagi kita agar terhindar dari perilaku kolusi dan Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang adil sehingga negeri ini pun menjadi bangkit dari keterpurukan dan mampu tampil terdepan, paling tidak berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Amin…

Baco Tokhus....

Sabtu, Oktober 11, 2008

Menegakkan Agama Tauhid: Belajar dari Kisah Nabi Ibrahim AS

Oleh: Muhammad Kosim LA

Islam adalah agama tauhid yang meng-Esa-kan Allah SWT secara mutlak; suci dan murni dari segala unsur kesyirikan. Hanya Allah yang berkuasa, dan tidak ada sesuatu pun yang berkuasa selain-Nya. Yang ada hanya Khalik (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Selain Allah adalah makhluk dan tidak memiliki kekuatan apa-apa selain yang Allah titipkan kepadanya. Sebenarnya, agama yang bersumber dari Allah adalah agama tauhid. Bahkan tiga agama besar—Yahudi, Nasrani, dan Islam—adalah agama tauhid. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, Yahudi dan Nasrani tidak lagi agama tauhid karena mereka mengakui ada unsur lain selain Allah. Hanya Islam yang tetap bertahan, sebab Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul penutup (khatam al-anbiya’i wa al-mursalin) dan Islam adalah agama sempurna lagi penyempurna. Untuk itu, umat Islam mesti tetap menegakkan agama tauhid, bukan hanya sebatas lip service, tetapi mewarnai seluruh aktivitas kehidupannya. Keyikannya hanya kepada Allah semata, tanpa tergantung kepada selainnya. Ini tidak mudah, tetapi butuh perjuangan (jihad).

Untuk menegakkan agama tauhid, baik dalam diri sendiri secara pribadi, dalam lingkungan keluarga, lingkungan sesama muslim, ataupun dalam masyarakat yang plural, perlu kiranya kita meneladani dan belajar dari kisah perjuangan Nabi Ibrahim AS. Sebab, sebagaimana ya
ng disebutkan oleh Ali Syari’ati, Ibrahim adalah bapak “Monotheisme”. Disebut demikian mengingat perjuangannya dalam mencari dan menemukan Allah sebagai Tuhan yang Esa serta perjuangannya dalam menegakkan agama tauhid tersebut kepada kaum dan anak keturunannya. Dari keturunannya pulalah lahir tiga agama besar, Yahudi, Nasrani dan Islam. Dua agama pertama dibawa oleh Nabi yang juga keturunan dari anaknya, Ishaq. Sementara Islam dibawa Nabi Muhammad yang merupakan keturunan dari anaknya, Isma’il.

Awalnya Ibrahim adalah seorang anak yang hidup di bawah keluarga yang musyrik. Ayahnya Azar adalah pembuat patung yang ternama. Namun dengan kecerdasan akalnya, Ibrahim tidak menerima apa yang diperbuat oleh ayahnya beserta kaumnya. Menurutnya, bagaimana mungkin manusia menyembah apa yang ia buat sendiri? Mestinya Yang Disembah itulah yang menciptakan manusia. Ia pun melakukan kritik yang tajam kepada ayahnya sendiri seraya berkata "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata".

Tanpa ada bantuan dari orang-orang di sekitarnya, Ibrahim pun menggunakan potensi akal dan hatinya untuk mencari dan menemukan Tuhan yang haq untuk disembah. Ketika malam tiba, ia menyaksikan bintang yang gemerlapan. Ia pun mengagumi keindahan dan pancaran sinar yang dimunculkan bintang itu, sehingga dia berkata "Inilah tuhanku". Tatkala bulan terbit, ia pun lebih mengaguminya seraya berucap "Inilah tuhanku". Tetapi, ketika bulan itu sirna, ia pun menyadari bahwa bulan bukan Tuhannya. Muncul pula matahari dengan sinar yang sangat terang, ia kembali berkata "Inilah tuhanku, ini yang lebih besar". Lagi-lagi matahari itu kembali terbenam di senja hari. (Lihat Q.s. al-An'am/6:74-78).

Akhirnya, dengan kecerdasan akal dan hatinya yang suci, Allah membimbingnya lalu memberikan hidayah bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Allah SWT. Ibrahim pun diangkat menjadi Nabi dan Rasul-Nya lalu mengemban amanah untuk menyeru kaumnya untuk mengesakan Allah.

Untuk mengajak kaumnya, bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan (makar) yang hebat, terutama dari Raja Namrud. Selain memohon pertolongan dari Allah, ia juga menggunakan pendekatan rasional untuk menyeru kaumnya meninggalkan berhala yang mereka sembah. Suatu ketika, Nabi Ibrahim memasuki tempat berhala itu dikumpulkan, lalu ia hancurkan hingga terpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain.

Ketika kaumnya yang ingkar itu kembali ke tempat itu, mereka pun terkejut menyaksikan sesembahannya hancur porak-poranda. Setelah dilakukan penyelidikan, mereka pun menyimpulkan bahwa semua itu adalah perbuatan Ibrahim. Mereka pun memanggil Ibrahim di hadapan orang banyak dan bertanya: "apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami hai Ibrahim?" Dengan tenang Ibrahim menjawab, "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara." Jawaban itu memancing jawaban dari kaumnya sehingga mereka berkata, "Sesungguhnya engkau (Ibrahim) tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara." Jawaban ini digunakan Ibrahim untuk bertanya sebaliknya, "Lalu mengapa kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudarat kepada kamu?"

Namun, karena hati mereka masih tertutup, dialog yang sangat rasional dan argumentatif itu tidak membuat kaumnya mau mengakui keesaan Allah. Malah mereka menangkap dan membakar Ibrahim hidup-hidup. Tetapi dengan kebesaran dan kebenaran Allah, api yang sifatnya membakar hanyalah membakar kayu bakar yang menumpuk. Sementara tubuh Ibrahim tidak terbakar sedikit pun, karena api itu diperintahkan Allah menjadi dingin dan menyelamatkan diri Nabi Ibrahim AS. (lihat Q.s. al-Anbiya'/21: 58-69).

Dari kisah singkat di atas, dapat dipahami betapa hebatnya perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam menegakkan agama Tauhid. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW banyak hal yang patut kita ambil pelajaran dari perjuangan Nabi Ibrahim AS tersebut. Pertama, mensucikan diri dari pemberhalaan. Untuk kondisi hari ini, umat Islam memang tidak dihadapkan kepada persolan berhala sebagaimana yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim AS. Tetapi substansi berhala itu tampaknya masih ada di tengah-tengah masyarakat kita. Setidaknya ada dua makna berhala di sini. Berhala pertama diartikan sebagai tempat bergantung. Kaum Nabi Ibrahim, memiliki ketergantungan kepada berhala-berhala tersebut, meskipun berhala itu mereka yang membuatnya. Terutama ayahnya, patung bukan saja sesembahannya, tetapi menjadi mata pencariannya, karena dia adalah pemahat patung.

Dewasa ini, orang memang tidak tergantung kepada berhala dalam bentuk patung yang dipahat dari batu atau kayu. Tetapi orang bisa memiliki ketergantungan kepada harta, jabatan, atau kepada orang-orang yang dicintai. Seluruh hidupnya hanya diabdikan untuk menumpuk kekayaan dirinya. Dalam pikirannya tertanam bahwa harta adalah segala-galanya, bahkan orang lain pun dinilai dari hartanya. Mereka inilah yang disinggung Allah dalam firman-Nya: "…yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya dan mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya." (Q.s. al-Humazah/104:2-3).

Ada orang yang tergantung hidupnya kepada jabatan. Ia halalkan segala cara untuk meraih suatu jabatan. Baginya jabatan adalah segala-galanya dan diyakini dapat membahagiakan hidupnya. Ada pula yang tergantung kepada orang lain. Orang itu bisa berupa majikan, atasan, atau orang yang sangat dicintai, seperti istri/suami, anak, orang tua, dan sebagainya. Ia tidak sanggup hidup tanpa kehadiran mereka.
Orang-orang seperti itu telah menjadikan harta, jabatan dan orang lain sebagai berhala dalam kehidupannya. Mereka lupa, bahkan berpaling, dari Allah yang telah memberikan kehidupan ini.

Makna kedua dari berhala adalah menyetukukan Allah. Berhala adalah lambang kemusyrikan. Banyak hal yang dapat membuat seseorang itu berlaku musyrik yang kadang tanpa disadarinya. Kemusyrikan yang dimaksud adalah adanya keyakinan bahwa ada kekuatan lain selai kekuatan dari Allah. Dewasa ini, kemusyrikan itu biasanya ditemukan melalui praktek perdukunan atau kegiatan mistik lainnya. Semua ini dapat mengaburkan akidah seseorang dan jelas telah merusak kemurnian tauhidnya.

Ironisnya, adanya pengakuan terhadap kekuatan mistik ini, secara perlahan ditanamkan kepada generasi muda melalui film dan sinetron yang berlabel "religius". Tertapi isinya justru praktek perdukunan, bersekutu dengan syetan, menjadi dan melawan hantu, dan sebagainya. Seolah-olah, syetan atau hantu memiliki kekuatan tersendiri dan menjadi rival Allah SWT. Padahal syetan, jin, dan bentuk-bentuk keghaiban lainnya adalah makhluk Allah. Tetapi masih saja ada orang yang percaya kepada kekuatan itu, bahkan bersedia mengabdikan diri kepadanya dan berpaling dari Allah SWT yang merupakan sumber dari segala kekuatan. Orang-orang yang berbuat demikian pada hakikatnya masih menyembah kepada pemberhalaan dalam bentuk kemusyrikan.

Pelajaran kedua yang patut diteladani dari kisah perjuangan tauhid Nabi Ibrahim As adalah kecerdasan akal dan hati yang seimbang. Kisah di atas menunjukkan bahwa Ibrahim memiliki kecerdasan akal yang tinggi. Tetapi dia tidak hanya mengandalkan kecerdasan akal saja dalam mencari dan memperjuangkan ajaran tauhid. Disamping akal, ia memiliki kecerdasan hati yang suci, tanpa adanya hal-hal yang mengotori hati itu. Allah menyatakan, "Ingatlah ketika ia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci" (Q.s. Al-Shaffat/37: 84).

Kita mesti berupaya untuk mengasah kecerdasan akal dan hati secara integral. Untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak bisa hanya semata-mata menggunakan kecerdasan akal, apalagi kecerdasan intelektual (IQ) sebagaimana yang ditemukan oleh sarjanawan Barat. Akal memang mesti dipergunakan, sebab agama hanyalah untuk orang yang berakal. Tetapi akal yang dimaksud adalah akal yang tidak bertentangan dengan hati nuraninya. Sebab ada orang yang mengedepankan rasionalitasnya dan mengabaikan, malah membohongi, hati nuraninya. Mereka "mengakal-akali" suatu kesalahan agar diterima sebagai suatu kebenaran dengan maksud dan tujuan tertentu.

Dengan menghapuskan praktek pemberhalaan seperti makna di atas dan hidup menggunakan kecerdasan akal dan qalbu sebagai bagian dari ruhaniyah manusia, maka agama tauhid ini akan tegak. Jika tauhid telah berdiri kokoh di setiap kepribadian umat Islam maka Islam akan tampil dan terbukti serta diakui oleh musuh-musuh Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin, penuh kedamaian dan mendatangkan keselamatan kepada seluruh alam. Lihatlah ketika api menyelamatkan Nabi Ibrahim As. Peristiwa itu terjadi ketika Ibrahim tunduk sepenuhnya kepada Allah, sementara api pun tunduk sepenuhnya atas segala kehendak-Nya. Keduanya adalah sama-sama makhluk Allah. Karena sama-sama tunduk, maka keduanya saling menyelamatkan. Sifat api tetap membakar, tetapi terhadap kayu sementara Ibrahim terselematkan. Itulah bukti konkrit dari perjuangan menegakkan agama tauhid.

Baco Tokhus....

Rabu, Oktober 08, 2008

Meraih Taqwa dengan Memaafkan Sesama

Oleh: Muhammad Kosim

Sudah menjadi tradisi umat Islam bahwa ketika Ramadhan telah usai dan bulan Syawal tiba, sesama muslim akan saling berjabat tangan dengan mengucapkan “minal a’idin wal fa’idzin; mohon maaf lahir dan bathin”. Tradisi ini tentu dimotivasi oleh ajaran Islam itu sendiri yang mengajarkan kepada umatnya untuk saling memaafkan. Hal ini juga berkaitan erat dengan bulan Ramadhan dimana puasa yang dilakukan selama sebulan bertujuan untuk meraih takwa. Sementara salah satu karakteristik takwa adalah sifat pemaaf, yaitu memaafkan orang lain, bukan meminta maaf. Firman-Nya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran/3: 133-134).

Jika dibandingkan antara memaafkan dengan meminta maaf, tentu jauh lebih sulit memaafkan. Namun, tidak sedikit di antara kita yang lebih menuntut orang lain meminta maaf, bahkan jika perlu minta maaf secara terbuka kepada publik. Padahal meminta maaf merupakan sikap yang sangat wajar dilakukan oleh orang yang telah melakukan kesalahan. Sementara memaafkan merupakan sikap yang amat sulit dilakukan, terlebih kepada orang yang jelas melakukan penganiayaan dan ada kesempatan untuk membalasnya melalui hukum atau cara lainnya.

Dalam hukum Islam, dikenal istilah qishas, artinya mengambil pembalasan yang sama. Namun al-Qur’an tetap menuntun kita untuk memaafkan sehingga ampunan dan rahmat Allah senantiasa dilimpahkan (Qs. Al-Baqarah/2 : 178 dan Al-Ma’idah/5: 45). Dalam Q.S. Asy-Syura: 40 Allah juga berfirman: "...Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah."

Selain adanya peluang untuk membalas orang yang telah melakukan kezhaliman, Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis juga menjelaskan bahwa salah satu di antara doa yang mudah dikabulkan oleh Allah adalah doa orang yang dizalimi. Akan tetapi di hadis yang lain, Nabi malah menegaskan bahwa salah satu akhlak yang paling terpuji adalah memaafkan orang yang telah menzhalimi (wa ta’fu ‘ amman zhalamaka). Dari Uqbah bin Amir, dia berkata: "Rasulullah SAW bersabda, "wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu." (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).

Dengan demikian, sikap memaafkan akan terasa sulit mengingat adanya peluang diberikan dalam Islam untuk “membalas” perbuatan ora
ng yang bersalah. Akan tetapi, dengan kesulitan ini, balasan yang diberikan Allah kepada orang yang mampu melakukannya tentu jauh lebih mulia dan berharga, salah satu di antaranya adalah mengantarkan seseorang kepada derajat taqwa sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Meskipun sikap memaafkan terasa sulit, tetapi tidak pula mustahil dilakukan. Memaafkan sesama manusia justru akan terasa mudah dilakukan dengan kesadaran iman dan memahami hakikat manusia yang sesungguhnya.


Dengan iman yang benar, seseorang akan mengenal Allah dengan sifat dan nama-nama-Nya yang indah la
gi mulia. Salah satu di antara nama-Nya dalam asma’ul husna adalah “al-‘Afuwwu”, artinya Maha Pemaaf. Sementara Nabi menuntun kita untuk meneladani nama-nama Allah tersebut sesuai dengan batas kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Jika Allah memaafkan para hamba-Nya yang kerap melakukan kesalahan, maka manusia pun seyogyanya ikhlas memaafkan sesamanya, meskipun ia tidak pernah menyatakan permintaan maaf.

Kemudian, sifat pemaaf juga akan terasa mudah dilakukan dengan memahami hakikat manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Oleh karenanya manusia acap kali melakukan kesalahan. Mengenai hal ini, Rasul menegaskan bahwa “Setiap manusia itu pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” Jadi manusia ya
ng baik bukanlah tidak pernah melakukan kesalahan, akan tetapi mereka yang bersalah dan bersegera bertaubat atas kesalahan yang dilakukan.

Karena setiap manusia bersalah, maka orang yang merasa teraniaya pun sebenarnya pernah melakukan kesalahan. Dengan demikian, jika orang lain melakukan kesalahan kepada kita maka hendaklah kita mengingat kembali kesalahan yang pernah kita lakukan kepada orang lain. Lalu coba rasakan bagaimana seandainya kesalahan kita tersebut tidak dimaafkan oleh orang lain?

Jika direnungkan, dalam kehidupan ini banyak hal yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat (causality), termasuk dalam interaksi sosial, seperti: orang yang baik akan mendapat pujian; orang yang berbuat jahat akan dibenci orang; orang yang mudah menghormati akan mudah pula dihormati orang lain. Hanya saja, sebab-akibat tersebut tidak harus bersifat kontan (cash), tetapi bisa berganti dengan yang lain. Dalam hal menolong, misalnya, Nabi SAW pernah bersabda: “Ses
ungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong orang lain”. Hadis ini menunjukkan bahwa jika kita menolong orang, Allah akan membalas dengan pertolongan Allah. Pertolongan Allah itu bisa melalui berbagai hal, bisa jadi langsung dari orang yang pernah kita tolong, tetapi bisa pula dari orang lain yang malah tidak kita kenal.

Demikian pula dalam hal memaafkan. Ketika kita sanggup memaafkan orang lain dengan hati tulus, maka insya’ Allah kita akan memperoleh maaf dari orang lain pula atas kesalahan yang pernah kita lakukan. Agaknya perlu kita merenungkan pernyataan ahli hikmah: “Ingatlah dua hal dan lupakan pula dua hal. Pertama, ingatlah kebaikan orang lain kepadamu dan lupakanlah kebaikanmu pada orang lain; kedua, ingatlah
kesalahanmu kepada orang lain dan lupakanlah kesalahan orang lain kepadamu.

Jika saja kita memaafkan sesama manusia, maka ketenangan batin niscaya akan diperoleh. Sebab secara psikologis, orang yang tidak bisa memaafkan akan mengidap penyakit benci bahkan dendam. Sementara rasa benci dan dendam akan mengganggu kesehatan mental seseorang sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit kejiwaan bahkan bisa berpengaruh pula terhadap kesehatan fisik. Secara sosial, orang yang sulit memaafkan akan memperhambat terjalinnya persaudaraan yang erat menuju persatuan dan kesatuan masyarakat yang kuat.

Dengan demikian, sifat memaafkan juga bisa mempererat persaudaraan sehingga terwujud persatuan dan kekuatan umat. Hal ini pula yang pernah dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW dalam penaklukan kota Mekah (Fathu Makkah). Di saat Nabi bersama para sahabat berbondong-bondong memasuki kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala, orang-orang kafir Quraisy malah ketakutan karena menganggap Nabi datang membalas dendam. Namun, apa yang dilakukan oleh Nabi jauh dari dugaan mereka. Nabi malah memaafkan mereka sehingga mengetuk hati sebagian di antara mereka untuk memeluk ajaran Islam. Sejak peristiwa itu pula, Mekah dikuasai oleh umat Islam sehingga terpeliharalah Ka’bah dari pemberhalaan kaum Jahiliyah hingga saat ini.

Begitu besarnya manfaat sifat pemaaf, maka setiap muslim yang menginginkan kemuliaan dengan derajat taqwa mesti membiasakan diri untuk mudah memaafkan sesamanya. Baginya tidak ada kata “tiada maaf bagimu”. Ingatlah, orang yang sulit memaafkan tidak akan memperoleh kemuliaan justru malah ketidaktenangan karena diliputi rasa kebencian. Sebaliknya, orang yang tulus memaafkan akan memperoleh kemuliaan, terhindar dari rasa kesal dan sesal, dan yang terpenting menjadi aset untuk meraih kedudukan taqwa.

Kini, kita kembali merenung di bulan Syawal ini, masih adakah kesalahan orang lain yang tidak kita maafkan? Jika masih, maka sesungguhnya takwa gagal diraih, meskipun telah berpuasa selama sebulan penuh. Semoga Allah Yang Maha Pemaaf senantiasa menuntun qalbu kita untuk mudah memaafkan sesama; meskipun perbuatan mereka amat menyakitkan dan mereka tidak memohon maaf, sehingga takwa dapat kita raih. Amin…

Baco Tokhus....