Rabu, Oktober 22, 2008

Islam Anti Kolusi

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Praktik kolusi, atau suap menyuap tak kunjung berhenti di negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini. Kasus demi kasus bermunculan silih berganti memasuki meja hijau mengantri dan tidak diketahui secara pasti kapan akan berhenti. Ironisnya, pelaku kolusi justru menganut agama Islam.

Islam dan Kolusi
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sangat mengecam tindakan kolusi. Apalagi melihat dampak negatif yang amat besar, tidak hanya membahayakan diri pelaku secara individual, tetapi juga membawa kerugian bagi masyarakat sekitar. Kolusi dikenal dengan suap-menyuap atau sogok-menyogok antara dua pihak atau lebih demi kepentingan tertentu. Kasus kolusi biasanya dipraktekkan antara tersangka suatu kejahatan dengan hakim agar hakim memenangkan perkaranya. Kasus ini bisa juga terjadi antara para koruptor yang telah terseret ke meja hijau dengan sang hakim sehingga mereka dapat bebas tanpa syarat. Mengenai hal ini, Allah SWT dengan tegas berfirman: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, (janganlah kamu) membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188).

Selain itu, ditemukan juga hadis dari Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam yang empat dan dihasankan oleh Turmidzi serta disahihkan oleh Ibnu Hibban. Hadis itu berbunyi: La'ana Rasulullah SAW al-Râsyi wa al-Murtasyi fi al-Hukmi. Artinya: "Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum." Kata-kata “laknat” menunjukkan betapa bencinya Rasulullah terhadap perilaku kolusi sehingga perilaku tersebut mesti dijauhi dan pelakunya segera ditindak.
Kasus kolusi lain juga bisa terjadi antara para pegawai—baik swasta terutama negeri—dengan memberikan uang atau hadiah tertentu sebagai "pelicin" untuk memudahkan urusannya, seperti kenaikan pangkat, pengajuan proposal, mempercepat antrian dan sebagainya. Padahal pegawai yang disuap sebenarnya telah digaji untuk mengurus urusan si penyuap, tetapi ia masih mau—bahkan ada yang meminta dengan alasan "uang minyak" atau sekedar "nasi sebungkus"—menerima suapan tersebut.
Rasulullah juga mengajarkan agar seorang petugas/pejabat tidak dibenarkan menerima hadiah dimana hadiah itu diperoleh karena jabatannya. Sebab hadiah yang diberikan karena jabatan yang dimilikinya akan membuka peluang terjadinya praktik kolusi. Lebih jelasnya, perhatikanlah hadis Rasulullah SAW berikut ini: Abu Humaid Assa'id r.a. berkata: Rasulullah SAW mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: "Ini untukmu dan ini untuk hadiah yang diberikan orang kepadaku." Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Mengapakah Anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu Anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)?" Kemudian sesudah shalat, Nabi SAW berdiri, setelah tasyahud memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, "Amma ba'du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, Ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi dan kolusi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan. Abu Humaid berkata, 'Kemudian Nabi SAW, mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya." (HR. al-Bukhari dalam kitab "Imam dan Nadzar" bab "Bagaimana cara Nabi SAW Bersumpah).
Hadis di atas dengan jelas menerangkan bahwa Rasulullah SAW melarang seorang pegawai atau pejabat menerima hadiah karena jabatannya, padahal hadiah itu belum tentu dalam bentuk suapan secara langsung. Tetapi jika hadiah itu memang biasa ia terima sebelum ia menjabat, dengan kata lain hadiah itu bisa dipastikan tidak ada kaitannya dengan jabatan yang sedang disandangnya tentu tidak menjadi persoalan. Begitulah Islam, menetapkan hukum yang bersifat preventif agar terhindar dari bahaya yang ditimbulkannya. Mencegah lebih baik dari pada mengobati (al-wiqaayatu khairun minal’ilaaj/prevention is better than cure).
Hadis di atas juga menjelaskan bahwa Rasul tidak hanya melarang sahabat tersebut secara pribadi saja, tetapi setelah peristiwa itu, nabi juga mengangkat kasus itu di hadapan sahabat lain. Tujuannya agar sahabat lain juga mensosialisasikan larangan tersebut kepada umat Islam lainnya. Tentu hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat melarang praktik kolusi.
Oleh karena itu, umat Islam harus membenci dan menjauhi praktik kolusi. Para hakim yang bertugas menetapkan hukuman hendaknya bertindak secara adil dan memutuskan hukuman yang berat bagi pelaku kolusi sehingga mereka jera dan masyarakat lain pun tidak turut melakukannya. Dalam hal ini dituntut juga komitmen dari aparat penegak hukum agar membersihkan diri sendiri dari praktik kolusi. Bukan sekedar slogan, “hapuskan kolusi”, atau menempel papan pengumuman “dilarang melaksanakan urusan melalui Calo”, sementara oknum aparat masih bertindak sebagai “calo”.
Terutama para penegak hukum yang beragama Islam, sejatinya menjauhi praktik kolusi tidak hanya karena kesadaran akan tugas dan tanggung jawab sebagai pejabat/petugas, tetapi berbuatlah atas motivasi agama. Hadiah atau harta yang diperoleh dari hasil kolusi jelas bersifat haram serta menimbulkan dosa dan siksa di akhirat kelak nanti. Bahkan jika hasil dari kolusi tersebut dimakan oleh anak istri kita maka akan mendarah daging bagi mereka. Akibatnya, seperti yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali, sesuap nasi yang dimakan dan hukumnya haram akan diproses dalam perut lalu menjadi darah dan mengalir ke otak sehingga mengakibatkan pikiran cenderung kepada hal-hal yang haram.
Akhirnya cepat atau lambat kolusi akan mendatangkan mudharat bagi seseorang dan keluarganya. Mereka tidak akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Meskipun mereka merasa senang ketika memperoleh hasil kolusi tersebut pastilah bersifat sesaat. Lain lagi dampaknya terhadap orang banyak, selain merugikan orang lain, sepenyuap juga bisa jadi “menyumpahi” si penerima suap, terlebih kepada si penerima suap yang dengan sengaja meminta “pelicin”.

Jauhi Calon Pemimpin yang Kolusi
Menjelang Pemilu 2009, atau Pilkada di beberapa tempat--seperti di kota Padang di akhir bulan ini--umat Islam hendaknya memperhatikan track-record calon pemimpin. Calon pemimpin yang pernah mempraktekkan kolusi, tidak memberantas kolusi atau diam saja terhadap praktik kolusi yang ada di sekitarnya tidak layak untuk dijadikan sebagai pemimpin. Sebab pemimpin yang kolusi bisa mempermainkan hukum, berpikir subjektif bukan objektif, mengelabui kebenaran demi kebatilan, serta mengkhianati rakyat baik secara langsung maupun terselubung.
Tegasnya pemimpin masa depan adalah orang yang berpikir objektif, tegas terhadap kemungkaran dan kebatilan, menjunjung tinggi hukum yang berlaku, mengedepankan profesionalitas dan kualitas serta tidak mengkhianati amanah yang telah diberikan. Jika tidak, maka bangsa yang dihuni oleh mayoritas umat Islam akan tetap terbelakang, jalan di tempat dan tidak mampu melakukan perubahan yang signifikan.
Semoga Allah memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya bagi kita agar terhindar dari perilaku kolusi dan Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang adil sehingga negeri ini pun menjadi bangkit dari keterpurukan dan mampu tampil terdepan, paling tidak berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Amin…

1 komentar:

PS PERISAI LABUHAN BATU mengatakan...

sukses kau sekarang ya . masih ingatkan ama tohir nst. kawan dikampung dulu. kapan pulang kekampung untuk benahi kampung kita kuala bangka