Oleh: Muhammad Kosim
Terbit di Koran Singgalang, 5 Mei 2015
Terbit di Koran Singgalang, 5 Mei 2015
Berbagi kasus penyimpangan moral,
tindak kriminal bahkan perilaku yang mengancam integritas bangsa senantiasa
mengancam dan menghambat kemajuan negeri ini. Kasus korupsi masih belum
berhenti. Narkoba merenggut masa depan remaja. Etos kerja lemah, daya saing
rendah, tetapi caci maki di sana sini. Fenomena masyarakat yang tak
mencerminkan sebagai manusia beragama (religius) dan berbudaya Pancasila.
Masalah ini sudah lama disadari
oleh banyak pihak, terutama Presiden RI, Ir. Joko Widodo. Di awal kampanye-nya,
ia memomulerkan istilah “revolusi mental.” Istilah ini muncul sebagai reaksi
terhadap fenomena masyarakat yang mengalami gangguan bahkan penyakit mental.
Ini menunjukkan bahwa banyak di antara manusia yang kehilangan esensi dan jati
dirinya.
Sayang, lebih enam bulan
kepemimpinnya, belum jelas bentuk penerapan dari revolusi mental yang ia
dengungkan. Malah Kurikulum 2013 yang berorientasi pada pembinaan mental justru
dihentikan oleh Menteri Dikbud Dikdasmen yang sekaligus mantan tim suksesnya,
Anies Baswedan.
Padahal, gagasan pendidikan yang
berorientasi pada aspek rohani itu begitu terasa kuat dalam Kurikulum 2013.
Setiap mata pelajaran diikat dengan kompetensi inti, tidak saja terkait dengan
aspek kognitif dan psikomotor, tetapi yang terpenting adalah sikap spiritual
dan sosial. Kini, publik masih menunggu gebrakan Kabinet Kerja Jokowi terkait
dengan Pendidikan “Revolusi Mental.” Apakah lebih baik dari kabinet sebelumnya,
atau justru kehilangan arah dan memperparah kondisi pendidikan nasional.
Tampaknya, praktik pendidikan di
negeri ini nyaris gagal mengenal dan memahami hakikat manusia. Pendidikan kita
selama ini lebih cenderung pada pola pendidikan yang materialis dan pragmatis.
Tidak sedikit di antara orang tua memotivasi anak-anaknya mengenyam pendidikan
agar kelak sukses. Ukuran sukses pun dinilai secara materi: menjadi manusia
yang berlimpah harta, punya jabatan tinggi, dihargai dan dihormati banyak
orang.
Akibatnya, banyak orang yang
terdidik dengan sederet gelar akademik menjelma menjadi manusia tanpa hati
nurani. Kepintaran yang ia peroleh selama mengikuti proses pendidikan justru
digunakan untuk berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi ini.
Sejatinya, pendidikan adalah
upaya sadar untuk “memanusiakan manusia.” Meski kita ditakdirkan sebagai
makhluk bernama “manusia” dan dibekali dengan beragam potensi, tetapi jika
potensi tersebut tidak dikembangkan maka perkembangannya bisa menyimpang dari
hakikatnya sebagai manusia.
Dalam al-Quran, banyak penjelasan
tentang manusia. Di satu sisi, Allah menempatkan manusia ke tempat yang sangat
mulia. Hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah (Qs.
Ad-Dzariyat: 56). Manusia ditakdirkan sebagai penciptaan terbaik dan dimuliakan
dari makhluk lain (Qs. At-Tin: 4 dan al-Israk: 70), diberi amanah sebagai khalifah
(al-Baqarah: 30), diberi alat indera, hati dan akal (an-Nahl: 78), bahkan
alam ditundukkan kepadanya (Qs. An-Nahl: 11-16).
Namun di sisi lain, al-Quran juga
menerangkan bahwa manusia juga memiliki kekurangan. Manusia adalah makhluk yang
lemah (Qs. An-Nisa’: 28), bisa menjadi makhluk yang nakal (Yunus: 10), sombong,
putus asa dan tidak berterima kasih (Qs. Al-Israk: 67 dan Hud: 9), suka
membantah (an-Nahl: 4), tergesa-gesa (al-Anbiya’: 37), bersifat kikir
(al-Israk: 100), suka mengeluh (al-Ma’arij: 20), serta bermaksiat dan melampaui
batas (Qiyamah: 5).
Selain dari kekurangan di atas,
ketika manusia keluar dari jalan yang benar, mengingkari fitrahnya sebagai manusia
yang dimuliakan Allah, maka ia diumpamakan Allah sepert hewan dan benda
tertentu.
Ada manusia an’am (seperti
binatang ternak), yaitu mereka yang tidak memanfaatkan hati, mata, dan
telinganya untuk mengenal tanda-tanda kekuasaan Allah (QS al-A’raaf/179).
Kondisi mereka lebih sesat dari hewan ternak yang memang tidak dibekali akal
seperti manusia. Manusia yang memperturutkan hawa nafsunya dan mendustakan
ayat-ayat Allah disebut sebagai manusia kalb, yaitu seperti
anjing (QS al-A’raaf/7: 176). Mereka
yang fasik, mengetahui tetapi tidak berperilaku seperti apa yang diketahuinya
diumpamakan seperti qird atau kera, bahkan seperti khinzir, atau
babi (QS al-Maidah/5: 60). Manusia yang angkuh, merasakan kelebihan yang ia
miliki semata-mata hasil kinerjanya atau ia bergantung dan berlindung kepada
selain Allah diumpamakan pula sebagai manusia ankabut atau laba-laba (QS
al-Ankabut/29: 41). Sementera mereka
yang diberi petunjuk berupa kitab Alquran, tetapi tidak dijadikannya sebagai pedoman
hidup sehingga kita tersebut tidak memberi efek positif baginya, maka ia
seperti himar atau keledai (QS al-Jumu’ah/62: 5).
Manusia juga diumpamakan seperti benda berupa batu dan
kayu. Manusia yang menolak dinasehati dan tidak menerima kebenaran Ilahi,
hatinya keras, diumpamakan sebagai manusia hijarah atau berhati
batu (QS al-Baqarah/2: 74). Ada pula
manusia seperti kayu yang tersandar (khasyb musannadah) yang lebih
mengedepankan penampilan, keelokan tubuh, dan kemewahan dunia tetapi ruhani dan
otaknya kosong dari kebenaran, hanya pandai berbicara dan bersilat lidah (QS
al-Munafiqun/63: 4).
Dengan demikian, meskipun kita
telah ditakdirkan sebagai manusia, tetapi jika tidak ada upaya yang
sungguh-sungguh untuk mendidiknya, maka predikat “manusia” itu bisa kehilangan
esensinya. Pendeknya, hanya bentuk dan penampilannya saja yang terlihat sebagai
manusia, namun jiwanya dan kepribadiannya tak pantas disebut sebagai manusia.
Upaya untuk menjadikan manusia
sebagai manusia yang sesungguhnya itu mesti dilakukan lewat pendidikan.
Pendidikan mesti dirancang secara sadar, rasional, sistematis dan
bersungguh-sungguh untuk memanusiakan manusia.
Esensi atau inti dari manusia itu
adalah aspek ruhaninya. Namun aspek ruhani itulah yang selama ini kurang
mendapat perhatian. Pendidikan kita selama ini lebih berorientasi kepada
kognitif dan psikomotor.
Hal ini penting dilakukan
mengingat manusia memang diciptakan dari unsur jasmani dan ruhani. Jasmani itu
bersifat materi sehingga manusia memiliki kecenderungan untuk memperoleh
hal-hal yang bersifat materi pula, seperti harta, tempat tinggal, kenderaan
mewah, pasangan, keturunan, hingga sejumlah jabatan. Namun manusia juga
memiliki dimensi ruhani yang abstrak, nonmateri, sehingga ia cenderung kepada
hal-hal yang mengandung nilai kebenaran, kedamaian, kebahagiaan, keadilan, dan
sebagainya.
Dalam Islam, asal ruhani itu
sendiri ruh yang diciptakan langsung oleh Allah (as-Sajadah/32: 9); tidak
seperti jasmani yang terdiri dari unsur tanah, lalu mengalami proses dari sperma,
menjadi zygot, daging, tulang, daging pembungkus tulang hingga menjadi jasad
yang utuh. Maka untuk mendidik aspek ruhani manusia mesti dilakukan melalui
pendidikan tauhid sehingga manusia itu kenal dan senantiasa patuh, tunduk dan
taat kepada Tuhannya.
Jika manusia tidak taat kepada
Tuhan, maka ia mengingkari fitrahnya sebagai manusia beragama. Bisa saja ia
tampil sebagai sosok manusia yang bermoral, punya kepeduliaan terhadap sesama,
tidak merusak lingkungan dan alam sekitar, akan tetapi hakikatnya sebagai makhluk
pengabdi akan menampilkan dirinya sebagai pemuja syahwat, materi atau hal-hal
yang bersifat duniawi lainnya.
Maka tidak heran jika ada manusia
yang tertarik atau mengidolakan secara berlebihan kepada manusia (seperti
selebritis, tokoh pemimpin, tokoh pejuang, olahragawan, dan sebagainya) atau
kepada benda (perhiasan, barang atau hasil karya seni, batu, kayu, dan
sejenisnya). Manusia atau benda itu bisa mereka puja, menghabiskan waktu
bersamanya, dan tak jaranga mereka menangis dan histeris bertemu sang idola.
Hal ini terjadi karena hakikatnya sebagai manusia pengabdi tidak tersalurkan
secara tepat, yaitu menyembah Allah, lalu diaplikasikan dalam bentuk pemujaan
atau ketertarikan secara berlebihan kepada manusia dan benda-benda tersebut.
Untuk itu, pendidikan harus
dikembalikan kepada hakikatnya semula sebagai upaya memanusiakan manusia.
Pendidikan harus mampu menjadikan seseorang bertuhan, bukan hanya mengetahui
tentang Tuhan. Jika ia telah meyakini dan menjalankan perintah Tuhan, maka
hidupnya pun akan banyak memberi manfaat bagi orang lain dan alam sekitarnya.
Sebab Allah memerintahkan manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama,
memelihara kelestarian dan keseimbangan alam semesta.
Penerapan pemikiran di atas
relevan dengan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pendidikan nasional
sesungguhnya berlandaskan kepada Pancasila. Hakikat Pancasila adalah membentuk
manusia yang ber-Tuhan, memiliki jiwa sosial dan nasionalis. Namun intisari
dari Pancasila adalah sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama
akan menjiwai empat sila lainnya.
Demikian pula dalam UU Sisdiknas,
ditegaska bahwa indikator pertama dan utama dari tujuan pendidikan nasional
adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, serta berakhlak mulia.
Hakikat iman dan takwa adalah mendidik ruhaniah manusia agar tetap konsisten
mengoptimalkan fitrahnya sebagai manusia mulia.
Mendidik iman dan takwa, atau
mendidik ruhaniah seseorang tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang guru.
Akan tetapi semua guru mesti terlibat. Tidak cukup dengan pengajaran, mesti
mengedepankan keteladanan dan pembiasaan.
Guru yang bodoh tidak mungkin
bisa mencerdaskan peserta didiknya. Begitu pula guru yang bergelimang maksiat
mustahil mampu menyucikan ruhaniah siswanya. Guru mengingkari agama pasti tak
sanggup mendidik siswa beriman dan bertakwa. Maka setiap guru dituntut memiliki
kesucian ruhani.
Demikian halnya pengelola
pendidikan di negeri ini. Jika pendidikan dikelola di atas prinsip kepentingan
pribadi dan golongan, lebih ingin dilayani dari pada melayani, dipimpin oleh
manusia bermental zalim, maka pendidikan akan sangat sulit untuk memanusiakan
manusia. Tegasnya, pendidikan mesti mengedepankan keteladanan tidak saja dari
guru, tetapi juga dari pengelola pendidikan itu sendiri. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar