Selasa, Februari 27, 2018

Hakikat Manusia Menurut Alqur’an

Oleh: Muhammad Kosim
Terbit di Koran Padang Ekspres, 30 November 2012

Manusia adalah makhluk yang unik, sehingga kajian tentang hakikat manusia itu tak pernah berakhir. Berbagai disiplin ilmu selalu menggali dan mengkaji hakikat manusia itu sendiri, sesuai dengan corak keilmuannya. Alquran juga banyak memberikan informasi tentang manusia. Salah satu di antaranya dapat dilihat dari istilah-istilah manusia yang digunakan Alquran.

Menurut Quraish Shihab (1998: 275), ada  tiga  kata  yang digunakan Al-Quran menyebut manusia:  1) kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insān, ins, nās, atau unas; 2) kata basyar; dan 3) kata Bani Adam, dan dzuriyat AdamJika ditelusuri ayat-ayat Alquran yang menggunakan istilah atau kata di atas, maka dapat dipahami gambaran tentang hakikat manusia dengan kecenderungan sifat dan kedudukannya.


Kata basyar berarti kulit. Kata ini menggambarkan manusia dari sisi fisik biologisnya, seperti dikaitkan dengan makan dan minum (Qs. 23: 33-34), melakukan hubungan lawan jenis (Qs. 3: 47), dan  mengadakan penyebaran dari satu tempat ke tempat lain (nomaden) dalam rangka mencari tembat baru, mencari makan dan perjodohan (Qs. 30: 20). Dalam ilmu antropologi dikenal bahwa penyebaran manusia (Rif’at Syauqi, 2011: 5).

Kata al-ins disebutkan sebanyak 18 kali dan semuanya dihubungkan dengan kata al-jinn. Al-ins dan al-jinn diciptakan agar senantiasa beribadah kepada-Nya (Qs. 51: 56). Sebagian ada membangkang menjadi penghuni neraka (Qs. 7: 179). Ada pula yang taat menjadi penghuni surga (Qs. 55: 74). Kata ini mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang ditugaskan untuk beribadah kepada-Nya.

Aisyah Bint Syati berpendapat kata al-ins mengandung arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, sebab manusia kebalikan dari jin yang bersifat metafisik. Metafisik itu identik dengan “liar” atau “bebas” karena tak mengenal ruang dan waktu. Jadi manusia itu makhluk “jinak”.

Kata al-unās, jamak dari kata al-insān, terulang sebanyak 5 kali. Baharuddin (2004: 76) menyimpulkan istilah al-unās menggambarkan manusia sebagai makhluk berkelompok sesuai dengan ciri-ciri dan persamaannya seperti persamaan biologis, kebutuhan, kepentingan, suku, bangsa dan sebagainya.

Kata al-insān, terulang sebanyak 65 kali. Syed M. Naquib al-Attas (1931) berpendapat al-insān berasal dari nasiya berarti lupa. Manusia lupa memenuhi kewajiban dan tujuan hidupnya setelah bersaksi akan kebenaran perjanjian yang menuntunnya untuk taat pada Allah (Qs. 7: 172 dan 20: 115) karenanya ia bisa ingkar sehingga berbuat ketidakadilan (zhulm) dan kejahilan (jahl) (Qs. 33: 72).

Kata al-insān juga menggambarkan hakikat manusia secara totalitas, berdimensi jasmani juga rohani (Qs. 95: 4 dan 23: 12-14). Agaknya karena itu pula dalam kajian tasawuf-falsafi, kata yang dipakai untuk menggambarkan “manusia sempurna” menggunakan kata al-insān, yaitu al-insān al-kāmil.

Kata al-nās, terulang sebanyak 243 dan di antaranya diikuti kata yā ayyuhā (wahai manusia). Maknanya manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang tidak bisa hidup normal kecuali dalam kebersamaan dengan sesamanya (Qs. 49: 13).

Kata banī adam atau dzurriyat adam terulang 7 kali berarti “anak keturunan Adam”. Isitilah ini bermakna manusia adalah makhluk yang melebihi kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam. Istilah ini juga bermakna kelebihan manusia dari segi intelektualnya. Sebab Nabi Adam a.s. merupakan seorang yang menerima pengajaran dari Allah (Qs. 2: 31).

Jalaluddin (2003: 27) menegaskan bahwa konsep Bani Adam mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi istilah ini bermakna manusia itu memiliki berbagai potensi yang membuatnya lebih mulia dari pada makhluk lainnya.

Selain dari istilah-istilah yang menunjukkan makna manusia, Alquran juga menggambarkan dimensi kepribadian manusia. Al-Attas menyebut “manusia memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat (dual nature): jiwa dan raga.

Pertumbuhan dan perkembangan jasmani manusia dijelaskan surat al-Mukminun ayat 12-13. Dimensi jasmani berasal dari tanah atau berbentuk materi. Karenanya manusia membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, seperti sandang, pangan, papan, pasangan, keturunan, dan sebagainya.

Ikhwan al-Shafa’ berpendapat jism bersifat duniawi dan memiliki natur buruk, sebab ia penjara bagi ruh, kesibukannya mengganggu kesibukan ruh untuk beribadah kepada Allah SWT, dan  dengan kesendiriannya, jasad tidak mampu mencapai makrifat Allah (Ikhwan al-Shafa'). Meskipun tidak menjadi esensi dari manusia itu, tetapi Islam tetap mengakui eksistensi ­al-jism, sehingga kebutuhannya harus tetap dipenuhi sesuai dengan ajaran-Nya.

Jika unsur jasmani berasal dari bumi/tanah atau materi, maka dimensi rohani manusia berasal dari ruh (ciptaan) Allah (Qs. 32: 9).

Menurut Achmadi (2008: 44), ketika ditiupkan ruh kepada manusia terjadilah getaran Ilahi sehingga manusia hidup sebagai makhluk jasmani dan rohani yang mulia melebihi makhluk lainnya. Kelebihan manusia itu terutama karena memperoleh percikan sifat-sifat kesempurnaan Ilahi: “al-asmā’ al-husnā”.

Hasan Langgulung (2002: 216) juga berpendapat sama sehingga ia mengkritik psikologi Barat yang hanya memandang manusia dari dua dimensi saja, yaitu dimensi jasmaniah (seperti kekuatan, kelajuan, berat, sistem saraf, penglihatan, pendengaran, dan lain-lain) dan dimensi psikologikal (seperti intelek, kreativiti, emosi, sosial, daya hujah, belajar, sikap, dan lain-lain). Sedangkan dimensi rohani senantiasa hilang. Dimensi rohaniah yang dimaksud adalah dimensi yang memuat sifat-sifat yang terdapat dalam “al-asmā’ al-husnā”.

Jadi dimensi rohaniah inilah yang menjadi modal dasar utama bagi manusia untuk mampu menjalankan tugas dan perannya sebagai hamba (‘abd) Allah dan khalīfah-Nya di muka bumi.

Hasan Langgulung juga berpendapat dimensi rohaniah itu memiliki beberapa potensi penting, di antaranya adalah ruh, qalb, aql, dan nafs. Posisi yang tertinggi adalah ruh, lalu diikuti oleh qalb, aql, dan yang terendah adalah nafs. Hakikat nafs pada dasarnya sama tarafnya dengan ruh sebelum nafs berhubungan dengan badan. Tapi bila nafs terhubung dengan badan, maka kedudukan nafs menjadi lebih rendah.

Ruh merupakan sesuatu yang suci sebagai anugerah dari Allah SWT kepada manusia sehingga manusia itu menjadi mulia, ketika ia mampu menonjolkan natur ruh tersebut. Jika ditelaah pemikiran dari tokoh intelektual Islam lainnya, masih banyak ragam interpretasi tentang hakikat dimensi ruhaniah manusia ini, terutama potensi-potensi yang ada di dalamnya.

Dengan keterbatasan kemampuan akal manusia, kajian terhadap hakikat manusia, terutama dari dimensi ruhaniahnya tidak akan pernah tuntas dibahas, karena hanya Allah yang dapat mengetahui secara sempurna (Qs. 17: 85).

Dari kajian ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa Alquran menginformasikan bahwa hakikat manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang dimuliakan. Manusia memiliki ragam potensi yang harus dikembangkan sesuai aturan-Nya. Manusia adalah makhluk sosial yang eksistensinya semakin mulia tatkala banyak memberi manfaat bagi sesama dan lingkungannya berdasarkan ajaran-Nya (amanu wa ‘amil al-shalih).

Maka manusia harus bergerak berlandaskan firman-firman Tuhan dan menuju keridhaan-Nya. Ia berinteraksi dengan alam sebagai bentuk ketundukannya kepada Allah sehingga perilakunya menciptakan kemaslahatan.

Ia senang membantu atas dasar dorongan fitrah-nya sebagai makhluk yang sama-sama diciptakan Allah. Ia membuka peluang kesuksesan bagi orang lain, bukan justru menutup rapat peluang saudaranya untuk menjadi lebih baik dan berprestasi.

Itulah pentingnya mengenali diri sendiri, sebab “barang siapa yang kenal dengan dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Itulah puncak kebahagiaan tertinggi.

Ketika manusia tidak memahami hakikat dirinya, maka ia akan disibukkan untuk memenuhi kepentingan jasmaniahnya berdasarkan dorongan nafsu syahwat. Potensi al-asmā’ al-husnā yang melekat pada dimensi ruhaniahnya justru membuatnya angkuh, bahkan berlagak seperti “tuhan”: merasa memiliki dan hanya memandang orang lain hina-dina.

Akibatnya, manusia lain dijadikannya sebagai sapi perahan, didekati selagi menguntungkan, disingkirkan jika merugikan. Kekayaan alam dieksploitasi secara zalim tanpa memikirkan nasib generasi mendatang.

Orientasi hidup hanya jangka pendek. Kenikmatan yang diperjuangkan hanya urusan perut ke bawah, sehingga perilakunya sama dengan hewan ternak, bahkan lebih rendah darinya (Qs. 7: 179). Na’udzu bi Allah min Dzalik.

Tidak ada komentar: