Oleh: Muhammad Kosim
Terbit di Koran Padang Ekspres, 30 November 2012
Terbit di Koran Padang Ekspres, 30 November 2012
Manusia adalah makhluk
yang unik, sehingga kajian tentang hakikat manusia itu tak pernah berakhir.
Berbagai disiplin ilmu selalu menggali dan mengkaji hakikat manusia itu
sendiri, sesuai dengan corak keilmuannya. Alquran juga banyak
memberikan informasi tentang manusia. Salah satu di antaranya dapat dilihat
dari istilah-istilah manusia yang digunakan Alquran.
Menurut Quraish Shihab
(1998: 275), ada
tiga kata yang digunakan Al-Quran menyebut manusia: 1) kata yang terdiri dari huruf alif, nun,
dan sin, semacam insān, ins, nās, atau unas;
2) kata basyar; dan 3) kata Bani Adam, dan dzuriyat Adam. Jika
ditelusuri ayat-ayat Alquran yang menggunakan istilah atau kata di atas, maka dapat
dipahami gambaran tentang hakikat manusia dengan kecenderungan sifat dan
kedudukannya.
Kata basyar
berarti kulit. Kata ini menggambarkan
manusia dari sisi fisik biologisnya, seperti dikaitkan dengan makan dan minum
(Qs. 23: 33-34), melakukan hubungan lawan jenis (Qs. 3: 47), dan mengadakan penyebaran dari satu tempat ke
tempat lain (nomaden) dalam rangka mencari tembat baru, mencari makan
dan perjodohan (Qs. 30: 20). Dalam ilmu antropologi dikenal bahwa penyebaran
manusia (Rif’at Syauqi, 2011: 5).
Kata al-ins
disebutkan sebanyak 18 kali dan semuanya dihubungkan dengan kata al-jinn.
Al-ins dan al-jinn diciptakan agar senantiasa beribadah
kepada-Nya (Qs. 51: 56). Sebagian ada membangkang menjadi penghuni neraka (Qs.
7: 179). Ada pula yang taat menjadi penghuni surga (Qs. 55: 74). Kata ini
mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang ditugaskan untuk
beribadah kepada-Nya.
Aisyah Bint
Syati berpendapat kata al-ins mengandung arti “tidak liar” atau “tidak
biadab”, sebab manusia kebalikan dari jin yang bersifat metafisik. Metafisik
itu identik dengan “liar” atau “bebas” karena tak mengenal ruang dan waktu. Jadi
manusia itu makhluk “jinak”.
Kata al-unās,
jamak dari kata al-insān, terulang sebanyak 5 kali. Baharuddin (2004:
76) menyimpulkan istilah al-unās menggambarkan manusia sebagai makhluk
berkelompok sesuai dengan ciri-ciri dan persamaannya seperti persamaan
biologis, kebutuhan, kepentingan, suku, bangsa dan sebagainya.
Kata al-insān,
terulang sebanyak 65 kali. Syed M. Naquib al-Attas (1931) berpendapat al-insān
berasal dari nasiya berarti lupa. Manusia lupa memenuhi kewajiban dan
tujuan hidupnya setelah bersaksi akan kebenaran perjanjian yang menuntunnya
untuk taat pada Allah (Qs. 7: 172 dan 20: 115) karenanya ia bisa ingkar
sehingga berbuat ketidakadilan (zhulm) dan kejahilan (jahl) (Qs.
33: 72).
Kata al-insān
juga menggambarkan hakikat manusia secara totalitas, berdimensi jasmani
juga rohani (Qs. 95: 4 dan 23: 12-14). Agaknya karena itu pula dalam kajian
tasawuf-falsafi, kata yang dipakai untuk menggambarkan “manusia sempurna”
menggunakan kata al-insān, yaitu al-insān al-kāmil.
Kata al-nās,
terulang sebanyak 243 dan di antaranya diikuti kata yā ayyuhā (wahai
manusia). Maknanya manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang tidak
bisa hidup normal kecuali dalam kebersamaan dengan sesamanya (Qs. 49: 13).
Kata banī
adam atau dzurriyat adam terulang 7 kali berarti “anak keturunan
Adam”. Isitilah ini bermakna manusia adalah makhluk yang melebihi kelebihan dan
keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan,
peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam. Istilah ini juga bermakna kelebihan
manusia dari segi intelektualnya. Sebab Nabi Adam a.s. merupakan seorang yang
menerima pengajaran dari Allah (Qs. 2: 31).
Jalaluddin (2003:
27) menegaskan bahwa konsep Bani Adam mengacu kepada penghormatan kepada
nilai-nilai kemanusiaan. Jadi istilah ini bermakna manusia itu memiliki
berbagai potensi yang membuatnya lebih mulia dari pada makhluk lainnya.
Selain dari
istilah-istilah yang menunjukkan makna manusia, Alquran juga menggambarkan
dimensi kepribadian manusia. Al-Attas menyebut “manusia
memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat (dual nature): jiwa dan raga.
Pertumbuhan dan
perkembangan jasmani manusia dijelaskan surat al-Mukminun ayat 12-13. Dimensi
jasmani berasal dari tanah atau berbentuk materi. Karenanya manusia membutuhkan
hal-hal yang bersifat materi, seperti sandang, pangan, papan, pasangan,
keturunan, dan sebagainya.
Ikhwan al-Shafa’
berpendapat jism bersifat duniawi dan memiliki natur buruk, sebab ia
penjara bagi ruh, kesibukannya mengganggu kesibukan ruh untuk beribadah
kepada Allah SWT, dan dengan
kesendiriannya, jasad tidak mampu mencapai makrifat Allah (Ikhwan al-Shafa'). Meskipun tidak menjadi esensi dari manusia itu, tetapi
Islam tetap mengakui eksistensi al-jism, sehingga kebutuhannya harus
tetap dipenuhi sesuai dengan ajaran-Nya.
Jika unsur jasmani berasal dari bumi/tanah atau materi,
maka dimensi rohani manusia berasal dari ruh (ciptaan) Allah (Qs. 32: 9).
Menurut Achmadi (2008: 44), ketika ditiupkan ruh kepada
manusia terjadilah getaran Ilahi sehingga manusia hidup sebagai makhluk jasmani
dan rohani yang mulia melebihi makhluk lainnya. Kelebihan manusia itu terutama
karena memperoleh percikan sifat-sifat kesempurnaan Ilahi: “al-asmā’
al-husnā”.
Hasan Langgulung (2002: 216) juga berpendapat sama
sehingga ia mengkritik psikologi Barat yang hanya memandang manusia dari dua
dimensi saja, yaitu dimensi jasmaniah (seperti kekuatan, kelajuan, berat,
sistem saraf, penglihatan, pendengaran, dan lain-lain) dan dimensi psikologikal
(seperti intelek, kreativiti, emosi, sosial, daya hujah, belajar, sikap, dan
lain-lain). Sedangkan dimensi rohani senantiasa hilang. Dimensi rohaniah yang
dimaksud adalah dimensi yang memuat sifat-sifat yang terdapat dalam “al-asmā’
al-husnā”.
Jadi dimensi rohaniah inilah yang menjadi modal dasar
utama bagi manusia untuk mampu menjalankan tugas dan perannya sebagai hamba (‘abd)
Allah dan khalīfah-Nya di muka bumi.
Hasan Langgulung juga berpendapat dimensi rohaniah itu
memiliki beberapa potensi penting, di antaranya adalah ruh, qalb, aql, dan
nafs. Posisi yang tertinggi adalah ruh, lalu diikuti oleh qalb,
aql, dan yang terendah adalah nafs. Hakikat nafs pada
dasarnya sama tarafnya dengan ruh sebelum nafs berhubungan dengan
badan. Tapi bila nafs terhubung dengan badan, maka kedudukan nafs menjadi
lebih rendah.
Ruh merupakan sesuatu yang
suci sebagai anugerah dari Allah SWT kepada manusia sehingga manusia itu
menjadi mulia, ketika ia mampu menonjolkan natur ruh tersebut. Jika ditelaah pemikiran
dari tokoh intelektual Islam lainnya, masih banyak ragam interpretasi tentang
hakikat dimensi ruhaniah manusia ini, terutama potensi-potensi yang ada di
dalamnya.
Dengan keterbatasan
kemampuan akal manusia, kajian terhadap hakikat manusia, terutama dari dimensi
ruhaniahnya tidak akan pernah tuntas dibahas, karena hanya Allah yang dapat
mengetahui secara sempurna (Qs. 17: 85).
Dari kajian ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa
Alquran menginformasikan bahwa hakikat manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang dimuliakan. Manusia memiliki ragam potensi yang harus dikembangkan sesuai
aturan-Nya. Manusia adalah makhluk sosial yang eksistensinya semakin mulia
tatkala banyak memberi manfaat bagi sesama dan lingkungannya berdasarkan
ajaran-Nya (amanu wa ‘amil al-shalih).
Maka manusia harus bergerak berlandaskan firman-firman
Tuhan dan menuju keridhaan-Nya. Ia berinteraksi dengan alam sebagai bentuk
ketundukannya kepada Allah sehingga perilakunya menciptakan kemaslahatan.
Ia senang membantu atas dasar dorongan fitrah-nya
sebagai makhluk yang sama-sama diciptakan Allah. Ia membuka peluang kesuksesan
bagi orang lain, bukan justru menutup rapat peluang saudaranya untuk menjadi
lebih baik dan berprestasi.
Itulah pentingnya mengenali diri sendiri, sebab “barang
siapa yang kenal dengan dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Itulah
puncak kebahagiaan tertinggi.
Ketika manusia tidak memahami hakikat dirinya, maka ia
akan disibukkan untuk memenuhi kepentingan jasmaniahnya berdasarkan dorongan
nafsu syahwat. Potensi al-asmā’ al-husnā yang melekat pada dimensi ruhaniahnya justru membuatnya
angkuh, bahkan berlagak seperti “tuhan”: merasa memiliki dan hanya memandang
orang lain hina-dina.
Akibatnya, manusia lain dijadikannya sebagai sapi
perahan, didekati selagi menguntungkan, disingkirkan jika merugikan. Kekayaan
alam dieksploitasi secara zalim tanpa memikirkan nasib generasi mendatang.
Orientasi hidup hanya jangka pendek. Kenikmatan yang
diperjuangkan hanya urusan perut ke bawah, sehingga perilakunya sama dengan
hewan ternak, bahkan lebih rendah darinya (Qs. 7: 179). Na’udzu bi Allah min
Dzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar