Jumat, April 19, 2013

Konsepsi Masyarakat dalam al-Qur’an

Oleh: Muhammad Kosim

Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bahkan al-Qur'an juga menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu bersuku dan berbangsa-bangsa. Dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, diperlukan upaya untuk mewujudkan masyarakat ideal dalam ridha Allah SWT.
Potret masyarakat yang ideal yang diisyaratkan dalam al-Qur'an dapat dilihat dari beberapa istilah yang digunakannya, seperti ummah wahidah, ummah wasathan, ummah muqtashidah, khairu ummah, dan baldatun thayyibah.
Ummah wahidah, secara sederhana berarti sekelompok manusia atau masyarakat yang satu (Qs. al-Baqarah/2: 213). Manusia dari dulu hingga kini adalah satu. Allah menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan lainnya.
Namun, Allah juga menciptakan mereka dengan beragam perbedaan, baik profesi, karakter, suku, adat, dan sebagainya. Perbedaan itu bisa menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Karenanya, Islam mengajarkan agar sesama manusia dapat bersatu, selain kembali kepada fitrah yang hanif, juga bersatu dengan nilai-nilai persaudaraan dan kebaikan.
Ummah wasathan, yaitu masyarakat yang pertengahan, moderat atau masyarakat yang berkeadilan (seperti Qs. al-Baqarah/2: 143). Masyarakat yang adil atau pertengahan dalam term ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat tidak cenderung kepada kehidupan materialisme secara berlebihan, akan tetapi berada pada pertengahan dan seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Bahkan, dalam konteks menghadapi perbedaan dengan umat lain, umat Islam senantiasa terbuka, dapat berdialog dan berinteraksi dengan semua pihak secara adil.
Ummah muqtashidah, yaitu masyarakat yang hemat dan tidak berlebih-lebihan (Qs. al-Maidah/5: 66). Mereka adalah segolongan kelompok yang berlaku pertengahan dalam melakukan agamanya, tidak berlebihan juga tidak melalaikan. Mereka senantiasa jujur dan berlaku adil, tidak menyimpang dari ajaran agamanya.
Khairu ummah, berarti umat terbaik atau unggul dan termasuk dalam kategori masyarakat ideal (Qs. Ali Imran/3: 10). Ali Nurdin (2006) menyebutkan bahwa khairu ummah adalah bentuk ideal masyarakat Islam yang identitasnya berupa integritas keimanan, komitmen kontribusi positif kepada kemanusiaan secara universal dan loyalitas pada kebenaran dengan aksi amr ma'ruf nahi munkar.
Baldatun thayyibah yaitu negeri yang berkualitas (Qs. Saba'/34: 15). Jika dilihat konteks ayat di atas, negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur terwujud dari masyarakat yang beriman, taat menjalankan perintah Allah SWT dan senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Negeri yang thayyyib adalah negeri yang aman sentosa, melimpah rezekinya dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya, serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan persatuan antar anggota masyarakatnya. Pendeknya, inilah masyarakat yang berkualitas.
Sementara kata wa rabbun ghafur mengisyaratkan bahwa satu masyarakat tidak luput dari dosa dan kedurhakaan, meskipun dalam porsi yang kecil. Namun Allah tetap mengampuni mereka dengan keimanan dan ketaatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara umum.
Kondisi masyarakat ini juga bisa disebut dengan masyarakat madani, sebagaimana yang pernah terwujud pad masa Nabi Muhammad SAW saat memimpin Madinah al-Munawwarah. Mereka membangun negeri dengan dasar keimanan dan ketakwaan sehingga berkah Allah senantiasa dilimpahkan (Qs. al-A'raf/7: 96).
Potret masyarakat ideal yang digambarkan al-Qur’an itu akan dapat terbentuk dengan upaya berikut. Pertama, setiap mukmin adalah saudara. Tanpa persaudaraan, mustahil masyarakat yang berkualitas dapat ditegakkan. Dengan menyadari ikatan persaudaraan yang ada di antara mereka, maka permusuhan harus dihindari.
Jika ada pertikaian di antara mereka, maka yang lainnya harus tampil sebagai penengah untuk mendamaikan mereka. Al-Qur'an juga menuntun mereka agar tidak saling menghina dan mencari kesalahan antara yang satu dengan lainnya (Qs. al-Hujurat/49: 10-12).
Kedua, setiap anggota masyarakat bertanggungjawab dalam mewujudkan masyarakat yang berperadaban (Qs. ar-Ra’du/13: 11). Dengan kemauan untuk berubah lalu komitmen dan konsisten melakukan perubahan itu, maka perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik akan terwujud.
Ketiga, masyarakat secara kolektif bertanggungjawab terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual. Jika pada prinsip sebelumnya masing-masing anggota masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban, maka sebaliknya masyarakat secara kolektif juga bertanggung jawab terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual.
Ketika masyarakat berdiam diri terhadap perilaku anggota masyarakatnya yang bersifat zhalim, maka Allah akan menimpakan adzab yang bukan hanya kepada anggota masyarakat yang zhalim tersebut, akan tetapi adzab itu ditimpakan kepada masyarakat secara kolektif (Qs. al-Anfal/8: 25).
Itu artinya perilaku anggota masyarakat secara individu berdampak kepada masyarakat secara kolektif. Karenanya, masyarakat secara kolektif harus bertanggung jawab pula mendidik anggota masyarakatnya secara individual agar tidak melakukan perilaku yang menyimpang atau yang bersifat zhalim sehingga masyarakat tersebut tetap dalam ridha dan ampunan Allah SWT.
Keempat, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan adanya tanggungjawab kolektif yang dijelaskan di atas maka al-Qur’an juga memperkenalkan konsep amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran/3: 104).
Konsep amar ma’ruf adalah nilai-nilai universal yang dibentuk dan diyakini oleh kelompok masyarakat tertentu dimana keberadaannya tidak bertentangan dengan ayat-ayat Allah. Nilai-nilai kebenaran yang telah disepakati ini harus diperjuangkan sehingga digunakan kata ”menyuruh” dalam ayat di atas. Begitu pula ”nahi munkar” juga mesti ditegakkan mengingat perbuatan tersebut akan merugikan, tidak hanya bersifat perorangan, akan tetapi dapat merugikan masyarakat sekitar.
Amar ma’ruf nahi munkar bukanlah suatu aktivitas yang anarkis, akan tetapi sebagai upaya untuk menegakkan kebenaran yang pada dasarnya amat dibutuhkan oleh manusia. Amar ma’ruf nahi munkar ini bukan memaksakan ajaran agama, tetapi seperti yang telah disinggung di atas, ia menyangkut dengan kebenaran yang diyakini dan disepakati oleh kelompok masyarakat tersebut.
Kelima, saling menasehati dan tolong-menolong (Qs. al-'Ashr ayat 1-3 dan al-Maidah/5: 2). Menurut Hamka, kata watashaubil haqqi dan watashaibis Shabri dalam akhir ayat al-Ashar lebih tepat diartikan sebagai wasiat mewasiati, bukan nasehat menasehati. Sebab istilah wasiat lebih dalam tanggung jawabnya dari menasehati.
Hal ini menunjukkan bahwa antara yang satu dengan lainnya dalam komunitas masyarakat tertentu sangat dibutuhkan perannya dalam mengajak kepada kebenaran dan kesabaran. Pentingnya saling menasehat/mewasiati dalam hal kebenaran dan kesabaran ini juga memperkuat keterangan sebelumnya bahwa sesama anggota masyarakat memiliki tanggung jawab menegakkan kebenaran dan mewujudkan masyarakat yang madani.
Keenam, prinsip musyawarah sebagai upaya pemecahan masalah (Q.S. Ali Imran/3: 159). Musyawarah yang dilakukan tidaklah mengutamakan suara terbanyak semata, akan tetapi musyawarah dilaksanakan dengan hati yang ikhlas serta berlandaskan kepada ajaran Islam.
Disinilah perbedaan konsep demokrasi sekuler dengan konsep musyawarah dalam Islam. Dalam demokrasi sekuluer, persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Sebaliknya, dalam syura yang diajarkan dalam Islam, tidak dibenarkan memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.
Berbagai persoalan yang menyangkut kebutuhan orang banyak, atau persoalan-persoalan yang bersifat individual tetapi berdampak terhadap lingkungannya, harus dimusyawarahkan dengan bijaksana. Orang-orang yang terlibat dalam musyawarah ini hendaklah mengutamakan orang yang baik akhlaknya serta memiliki keahlian tentang persoalan yang dimusyarahkan. Tanpa akhlak yang baik, maka hasil dari musyawarah tersebut bisa lebih mendatangkan mudharat/azab dari pada manfaat/rahmat.
Ketujuh, prinsip toleransi (Qs. An-Nisa'/4: 1). Sesama manusia, meski berbeda suku, bangsa dan agama, harus senantiasa saling menghargai dan menyayangi. Sebab, semua manusia adalah ciptaan Allah yang asal penciptaannya sama.
Dengan demikian, konsep persaudaraan yang diatur dalam Islam bukan hanya sesama umat Islam, tetapi juga dengan agama lain. Bahkan Islam menegaskan kepada agama lain tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk ke dalam agama Islam (Qs. al-Baqarah/2: 256).
Namun, kerja sama dalam hal aqidah tidak boleh ditoleransi, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Kafirun. Sementara kerja sama di bidang sosial kemasyarakatan, harus dilaksanakan dengan prinsip toleransi tersebut.
Demikianlah beberapa pandangan al-Qur'an yang terkait dengan masyarakat. Jika prinsip-prinsip dasar yang telah dijelaskannya dikaji dan diaplikasikan dalam kehidupan ini, maka terbentuklah masyarakat yang berperadaban tinggi dalam ridha Allah SWT. Maka baca, renungkan dan berjuanglah untuk mengaplikasikannya mulai dari diri sendiri dan keluarga masing-masing. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Selasa, April 16, 2013

Malu kepada Allah

Oleh: Muhammad Kosim


“Malu merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia dengan hewan”, demikian yang selalu ditanamkan oleh orang-orang tua terdahulu agar anaknya memiliki sifat tersebut. Adanya rasa malu akan membentengi seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang memalukan.
Secara etimologi, bahasa Arab malu adalah al-Hayā’ diambil dari kata al-Hayāh yang berarti kehidupan. Jadi tidak ada kehidupan tanpa rasa malu. Bahkan Ibn Qayyim berkata: “Barang siapa yang tidak memiliki malu dalam dirinya maka dia adalah mayat di dunia dan kesengsaraan di akhirat.”
Sayid Sabiq menegaskan bahwa orang yang tidak memiliki rasa malu, terutama kepada Allah, kepada sesama manusia, ia tidak segan melakukan kemaksiatan, kemungkaran dan melanggar segala etika dan moral yang berlaku dalam masyarakat karena kulitnya sudah menebal dan mata hatinya yang sudah menjadi buta. Dengan begitu, sifat malu akan mendorong seseorang berbuat kebaikan dan menghalangi untuk berbuat dosa, rendah lagi hina.
Namun rasa malu yang ada pada seseorang bisa pula bertentangan dengan fitrahnya. Malu diremehkan orang karena tidak punya atau turun dari jabatan, malu dikatakan “sok suci”, bahkan malu menunjukkan identitas keislamannya.
Malu yang sesungguhnya adalah malu kepada Allah SWT. Jika rasa malu pada Allah tertanam dalam jiwa manusia, maka dengan sendirinya ia juga malu kepada sesamanya jika melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan bertentangan dengan hati nurani manusia.
Karena itu, Rasulullah SAW menyeru para sahabat “Hendaklah kamu benar-benar merasa malu terhadap Allah”. Ia menegaskan bahwa malu kepada Allah itu meliputi tiga perkara. Pertama, “Engkau menjaga kepala dan apa yang dikumpulkannya.” Maksudnya apa yang ada di kepala harus dijaga dari hal-hal yang dimurkai Allah.
Gunakan kemampuan akal untuk berfikir dan bertadabbur agar kian dekat kepada Allah (Qs. Ali Imran/3: 191). Jangan gunakan kemampuan akal untuk berpikir negatif: berprasangka buruk, berpikiran cabul, merekayasa kebenaran, termasuk mengaburkan hakikat perintah (agama) Allah.
Di kepala juga terdapat mata, telinga dan lidah. Orang yang malu kepada Allah tidak akan menggunakan matanya untuk memandang sesuatu yang dilarang-Nya. Telinganya lebih digunakan untuk mendengar perkataan berhikmah dari pada perkataan yang mengandung kebencian, cercaan, makian, termasuk dari perkara ghibah dan fitnah.
Begitu pula lisannya ia gunakan hanya berbicara yang baik, sebab lisan seorang mukmin terhadap orang lain hanya ada dua pilihan: berkata baik atau diam saja. Sementara kepada Allah, lisannya senantiasa berzikir kepada Allah dengan kalimat tahmid, tasbih, tahlil, takbir dan kalimat tayyibah lainnya.
Kepala beserta apa yang dikandungnya harus malu kepada Allah dengan cara tunduk pada aturan-aturan-Nya. Akal pikiran, penglihatan, pendengaran dan perkataan yang dianugerahkan-Nya harus dipelihara dari sesuatu yang diharamkan dan dapat merusak alam sekitarnya.
Tidak pula layak kepala ini tunduk kepada seseorang dengan berharap penuh kepadanya lalu melupakan Allah SWT sebagai Maha Penolong. Orang yang menundukkan kepalanya (berharap sepenuhnya) kepada orang lain maka besar kemungkinan akan menuruti keinginan orang tersebut sebagai balas budi dan semacamnya, meskipun dengan cara melanggar hukum.
Kedua, “menjaga perut dan apa yang dikandungnya.” Keinginan perut yang tidak terkendali sangat rentan membuat seseorang melakukan hal-hal yang memalukan. Demi memenuhi kebutuhan perut, seseorang bisa menghalalkan segala cara untuk memperoleh kebutuhan itu. Korupsi, menipu, curang dalam timbangan, praktik riba, dan sejenisnya dilakukan oleh seseorang karena dorongan syahwat perutnya.
Sejatinya, seorang mukmin harus malu kepada Allah ketika memenuhi kebutuhan perutnya dengan cara yang halal. Jangan sekali-kali mengonsumi makanan yang haram, baik zat maupun cara memperolehnya. Bisa jadi makanan itu bergizi, tetapi ketika ia diperoleh dengan cara yang haram akan menjadi racun bagi perkembangan ruhaniahnya. Sebab makanan yang haram bisa menyebabkan pikirannya cenderung pada hal-hal yang haram.
Tidak itu saja, makanan yang diperoleh dengan cara haram itu bisa ditolak oleh sel-sel darah yang ada dalam tubuh kita sehingga bisa pula menimbulkan ragam penyakit. Sebab, seluruh apa yang ada di langit dan di bumi senantiasa tunduk, bertasbih kepada Allah (Qs. al-Isra’/17: 44). Termasuk jasad manusia, taat kepada sunnatullah. Bisakah kita memerintahkan agar detak jantung dan nafas ini berhenti? Begitu pula sel-sel darah yang mengalir di tubuh ini, senantiasa tunduk dan taat pada sunnatullah sehingga fitrahnya cenderung menolak asupan makanan yang diharamkan.
Karena itu, ingatlah bahwa segala rezeki yang diperoleh di muka bumi ini hanya semata-mata berasal dari Allah. firman-Nya: Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)? (Qs.. Fathir/35: 3).
Ketiga, “mengingat kematian dan kebinasaan.” Orang yang sebenar-benar malu kepada Allah akan senantiasa ingat mati (dzikrul maut). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang yang paling cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak mempersiapkan bekal untuk mati (H.R. Thabrani).
Dengan mati, maka cara berpikirnya jangka panjang, berorientasi akhirat. Setiap aktivitasnya di muka bumi ini harus bernilai ibadah sehingga menjadi investasi bagi kehidupan akhirat.
Mengingat mati bukan membunuh daya kreatifitas, sebaliknya dengan mengingat mati akan menjadikan kinerja seseorang lebih berkualitas; bukan menjadikannya statis melainkan dinamis. Sebab setiap yang dilakukan akan diminta pertanggungjawabannya (Qs. al-Isra’/17: 36). Jika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak berkualitas, apalagi menimbulkan kerusakan terhadap keseimbangan alam, melanggar hukum-hukum Tuhan, maka kelak ia akan menuai kesengsaraan di hari pembalasan. Karena itu, ingat mati akan mendorongnya untuk melakukan suatu aktivitas yang berkualitas.
Setelah mengemukakan tiga bentuk malu yang sebenarnya kepada Allah, maka Rasulullah SAW pun bersabda: Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan ini, maka dia telah malu terhadap Allah SWT dengan sebenar-benarnya (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Meninggalkan perhiasan dunia bukan berarti tidak peduli terhadap kebahagiaan dunia. Sebab dunia adalah lahan menanam amal. Kebahagiaan dunia yang mengakibatkan kesengsaraan akhirat mesti ditinggalkan. Sebaliknya kebahagiaan dunia yang mendatangkan keselamatan akhirat perlu didapatkan (Qs. al-Qashash/28: 77).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Sesunggunya sesuatu yang dapat dijumpai oleh manusia dari ucapan para Nabi terdahulu adalah: ‘Bila engkau tidak memiliki rasa malu, lakukan segala sesuatu menurut keinginanmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah).
Amru Khalid dalam kitan Akhlaq al-Mu’min menyebutkan ada dua makna hadis di atas. Makna pertama, jika seseorang tidak lagi merasa malu melanggar perintah Allah atau berbuat kerusakan maka berbuatlah sesukamu, tetapi semuanya kelak akan diminta pertanggungjawabannya.
Makna kedua, jika suatu pekerjaan itu benar menurut syara’, sesuai dengan hati nurani dan fitrah manusia, maka lakukanlah perbuatan itu tanpa harus merasa malu terhadap cemoohan dan hinaan dari orang lain. Sebab tidak selamanya kebaikan itu mendapat pujian dan penghargaan dari semua orang.
Sifat malu akan dapat dimiliki seseorang jika dilandasi dengan iman yang kuat. Sebab Rasul bersabda: “Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” (HR. Hakim dan Ath-Thabrani).
Semoga Allah menuntun kita untuk tetap memiliki rasa malu sehingga perbuatan maksiat yang melanggar hukum, menyakiti sesama insan, dan merusak keseimbangan alam dapat kita hindarkan. Kiranya malu menjadi benteng bagi ruhaniah kita untuk tidak tergoda akan kenikmatan duniawi yang mendatangkan murka Ilahi. Amin.

Baco Tokhus....

Pendidikan Karakter Setengah Hati

Oleh : Muhammad Kosim
Guru MTsN di Padang
Padang Ekspres • Jumat, 29/03/2013

”Pendidikan Karakter Hanya Slogan”, demikian berita Padang Ekspres, Rabu (27/3). Hal ini be-rangkat dari beragam kasus pelajar yang melanggar hukum sehingga disimpulkan bahwa kenalan pelajar kian meningkat. Berita itu sejatinya bahan renungan bagi pemikir dan praktisi pendidikan yang selama ini mendengungkan pentingnya pen¬didikan karakter di sekolah.

Apalagi bagi pemegang kebijakan di Sumatera Barat, Pendidikan Karak¬ter telah menghabiskan dana miliaran rupiah. Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah menetapkan Pergub No. 73 Tahun 2012 tentang “Pendidikan Karakter pada Sekolah/Madrasah di Sumatera Barat”. Bahkan Pemprov Sumbar telah menetapkan satu SMP tiap kabupan/kota sebagai sekolah piloting dengan anggaran fantastis, 300 juta rupiah. Di tahun ini, rencananya dana tersebut akan ditambah 125 juta rupiah untuk tingkat SMP dan 75 juta rupiah untuk SD.

Namun, setelah satu tahun berja¬lan, apa yang diperoleh dari program tersebut?

Jika mengukur keberhasilan pen¬di¬dikan karakter yang masih “seumur jagung” itu dengan fenomena kenalan remaja yang kian meningkat, seperti yang diberitakan Padek, tentulah kurang adil. Sebab, untuk mem¬bangun karakter peserta didik tidak semudah membalik telapak tangan.

Tetapi perlu mengevaluasi dan melihat beragam persoalan yang ada sehingga dibutuhkan upaya serius untuk mengatasinya. Banyak persoa¬lan yang melatarbelakangi fenomena tersebut, seperti kurangnya pendidi¬kan dan perhatian orangtua, pudarnya peran dan tanggung jawab ninik-mamak, ketidakpedulian masyarakat sekitar, kinerja guru di sekolah yang tidak optimal, hingga kebijakan peme¬rintah yang kadang bertentangan antara konsepsi dan aplikasi.

Namun, tanpa mencari “kambing hitam”, paling tidak sekolah sebagai lembaga pendidikan yang diberi amanah oleh orangtua, melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan dalam mendidik karakter siswa.

Di antara persoalan yang harus menjadi perhatian pengelola pendi¬dikan, khususnya di Sumatera Barat, dalam pelaksanaan pendidikan karak¬ter adalah: pertama, kurangnya kesia¬pan guru menjadi model atau teladan bagi peserta didik. Selama ini, guru lebih dibebani untuk melaksanaan pendidikan yang berorientasi pada kognitif. Sementara aspek afektif nyaris diabaikan.

Hal itu terjadi secara sistemik. Sejak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa yang kuliah di jurusan keguruan lebih dipersiapkan untuk menguasai materi dan terampil mengajar. Sementara sisi afektif mahasiswa yang akan menjadi calon guru tersebut kurang mendapat perhatian dan pembinaan.

Ketika dilakukan rekruitmen guru, termasuk penerimaan CPNS, yang diuji lebih kepada kognitifnya, bahkan banyak fakta yang menunjukkan tes CPNS tersebut tidak menyentuh aspek kepribadian sama sekali.

Di saat menjadi guru, lalu dila¬kukan pembinaan dengan berbagai training, workshop, lokakarya, dan sejenisnya. Lagi-lagi, materi yang diajarkan tetap berorientasi pada kognitif dan psikomotor/skill guru untuk menyusun perangkat pem¬belajaran. Bahkan ketika guru me¬ngikuti Pendidikan dan Latihan Pro¬fesi Guru (PLPG) untuk memperoleh Sertifikasi Guru, materi yang di¬ajarkan tidak jauh berbeda dengan pola training di atas.

Akibatnya, ketika di lapangan, guru lebih disibukkan dengan pe¬nyam¬paian materi yang bersifat kog¬nitif (transfer of knowledge), se¬mentara proses pendidikan karakter yang berorientasi pada afektif (internalization of values) kurang men¬dapat perhatian.

Lain lagi dengan aturan bagi guru yang diwajibkan harus memenuhi 24 jam sebagai salah satu syarat mem¬peroleh tunjangan sertifikasi, mereka justru disibukkan dengan tugas ter¬sebut. Ada yang berpindah-pindah di beberapa sekolah untuk memenuhi tugas wajib 24 jam, ada pula yang disibukkan dengan seonggok pe¬rangkat pembelajaran.

Ketika diminta melakukan pem¬binaan karakter siswa di luar PBM dan tidak dihitung sebagai jam tatap muka, maka banyak yang enggan. Maka berbagai program pengembangan diri yang sarat akan pendidikan karakter, seperti pramuka, kesenian, olah raga, ROHIS, dan sebagainya kurang ber¬jalan dengan optimal karena tidak diakui sebagai jam tatap muka. Ironis memang.

Begitu juga memberi penghargaan pada siswa, yang diumumkan sebagai juara hanyalah mereka yang mengum¬pulkan angka-angka kognitif, semen¬tara siswa yang berbudi luhur, tetapi kemampuan kognitifnya tergolong menengah tidak mendapat peng¬har¬gaan dan tempat istimewa.

Maka bagi sebagian siswa—bah¬kan sekolah—menghalalkan segala cara agar nilai ujian akhir (seperti Ujian Sekolah dan Ujian Nasional) mendapat angka-angka yang tinggi. Dengan begitu mereka akan dihargai oleh kepada dinas bahkan masyarakat, karena dianggap berhasil meluluskan siswa 100% dengan nilai rata-rata yang tinggi.

Dalam perspektif pendidikan Islam, tanggung jawab pendidikan akhlak anak sepenuhnya ada pada orangtuanya. Namun, orangtua sadar akan keterbatasannya sehingga ia menyerahkan anaknya kepada guru di sekolah. Guru menerima amanah mulia dari orangtua. Hukum me¬ngem-ban amanah adalah wajib. Kare¬na itu, guru disebut sebagai orang tua ruhani (abu al-ruh/spiritual father).

Untuk itu, setiap guru harus ber¬upaya semaksimal mungkin untuk terlibat aktif membina dan mendidik ranah afektif siswa, di samping ranah kognitif dan psikomotornya.

Kedua,bergesernya paradigma tentang agama. Di satu sisi, banyak pakar yang menyebut bahwa agama memiliki peran yang signifikan dalam mendidik karakter setiap manusia. Sebab agama sarat akan nilai-nilai karakter. Apalagi di Sumatera Barat, kultur masyarakatnya demikian kental dengan nuansa agama sehingga di¬kenal filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Namun di sisi lain, agama mulai dipandang sebagai urusan pirvasi seseorang. Negara tidak boleh banyak campur tangan terhadap agama. Misalnya, penulis mendengar per¬nyataan beberapa orang mengkritik Pergub No. 73 Tahun 2012 tentang Pendidikan Karakter Sumbar itu “tidak netral”, lebih cenderung pada tataran agama. Bukankah bangsa ini dibangun atas dasar Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa? Bukankah paradigma pendidi¬kan yang dikembangkan sesuai de¬ngan kearifan lokal, tanpa melakukan deskriminasi terhadap kelompok lain?

Tidak itu saja, program-program yang telah disusun dan difasilitasi oleh pemerintah daerah Sumbar terkait dengan agama juga tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Misalnya, satu-satunya propinsi yang membuat Perda (Perda No. 3 Tahun 2007) dan Pergub (Pergub No. 70 dan 71 Tahun 2010) tentang Muatan Lokal Pendidikan Alquran adalah Sumatera Barat.

Muatan lokal ini dirasa sangat penting mengingat masyarakat di wilayah ini mayoritas muslim dan dikenal sangat dekat dengan al-Qur’an (ABS-SBK). Nyatanya, seiring kelang¬kaan surau sebagai lembaga pendi¬dikan, banyak fakta yang menun¬jukkan bahwa remaja muslim tidak lagi fasih membaca Al-Quran, apalagi memahami dan mengamalkannya. Padahal Mulok ini diyakini menjadi salah satu upaya yang efektif untuk mendidik karakter siswa.

Coba terapkan, seluruh siswa mus¬lim dibimbing membaca Al-Quran, lalu mengartikan memahami dan berupaya mengamalkannya. Begitu pula di dalam tas mereka ada al-Qur’an, apakah mereka berani juga mencuri, tawuran, atau berbuat onar, paling tidak ketika memakai seragam sekolah?

Akan tetapi, berapa banyak seko¬lah yang tak kunjung ridho menerap¬kan Pendidikan Alquran sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di sekolahnya. Apalagi pada kurikulum 2013, kedudukan Mulok itu akan semakin terancam karena Mulok lebih diintegrasikan pada Olahraga, Kese¬nian, dan Prakarya.

Ketiga, kurangnya ketegasan dan kerjasama kepala daerah, khususnya tingkat kota/kabupaten dalam mene¬rapkan, mengawal, mengevaluasi, dan menindaklanjuti program pendidikan karakter. Program pendidikan karak¬ter kadang dianggap hanya sebatas proyek, kebijakan dari atasan, dan tentu akan bertahan selagi dana proyek yang tersedia masih ada.

Seperti yang telah disebutkan di muka, setiap kota/kabupaten di Sum¬bar terdapat sekolah piloting. Akan tetapi sumber dana yang diberikan hanya dari APBD Propinsi, sementara APBD tingkat Kota/Kabupaten ku¬rang mendapat perhatian di beberapa tempat.

Seharusnya, pelaksanaan pendi¬dikan karakter tidak saja di sekolah piloting, tetapi seiring dengan itu dikembangkan oleh sekolah-sekolah lain. Maka untuk mendukung program tersebut, butuh dukungan dan ketegasan kepala daerah.

Ketegasan dan kerjasama yang dimaksud tidak sekedar meminta guru buat perangkat pembelajaran dengan nilai-nilai karakter, tetapi memberi perhatian dan penghargaan kepada sekolah yang mengedepankan pen¬didikan akhlak.

Selama ini, masih saja terdengar suara sumbang, kepala sekolah dimin¬ta untuk pandai-pandai meningkatkan hasil UN siswa-siswanya. Kepala sekolah yang diberi amanah bukan karena kompetensinya, tetapi karena masuk dalam jajaran tim sukses kepala daerah yang berkuasa.

Ketika pendidikan dipolitisir demi kepentingan sekelompok orang, maka hal inilah yang menjadi penyebab utama gagalnya pelaksanaan pen¬didikan karakter. Jika di hulu telah keruh, maka sangat sulit untuk me¬nyaringnya agar jernih di hilir.

Masih banyak persoalan-persoalan lain yang perlu dievaluasi dan ditin¬daklanjuti. Tentu butuh keseriusan dan kesungguhan hati. Jika tidak, maka jelaslah pendidikan karakter hanya setengah hati, atau malah hanya slogan. Maka bagi pemegang ke¬bijakan, pengelola dan praktisi pen-didikan, sejatinya konsisten antara kata dan perbuatan; antara konsepsi dan aplikasi. Semoga Allah memberi kita pertolongan. Amin.

Baco Tokhus....