Rabu, Februari 04, 2009

Makalah Filsafat Pendidikan Islam

ANALISIS KRITIS
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBN SINA

Oleh: Muhammad Kosim

A. Pendahuluan

Ibnu Sina (980-1037 M) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, penyair dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosof dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, akan tetapi beberapa kajian yang dilakukan oleh generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibn Sina ditemukan beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam. Oleh sebab itu, Ibn Sina juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang memiliki pemikiran brilliant.
Pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam memang telah banyak dikaji oleh para ahli, tetapi tidak berarti kajian tersebut berhenti di situ saja. Pemikiran Ibn Sina yang tertulis dalam karya-karyanya akan tetap relevan untuk dianalisis secara kritis hingga saat ini sehingga menimbulkan dinamika keilmuan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang bersifat solutif terhadap berbagai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini, termasuk di Indonesia.

Selain itu, pemikiran pendidikan yang dilahirkan oleh ilmuan muslim sejatinya menjadi referensi penting dalam pengembangan pendidikan Islam dalam konteks kekinian dan kedisinian. Sebab, pemikiran yang ia lahirkan tentu berlandaskan, atau tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup umat manusia dalam setiap lintasan zaman kehidupan.
Makalah yang sederhana ini akan mencoba untuk menganalisis pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan dikemukakan terlebih dahulu biografi Ibn Sina serta karya-karyanya, kemudian mengkaji pemikirannya tentang manusia dengan konsep jiwa, lalu beberapa komponen pendidikan Islam, seperti tujuan pendidikan, kurikulum, dan metode pembelajaran.

B. Biografi dan Karya Ibnu Sina

1. Riwayat Hidup

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ia lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di Afshana, sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.

Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibn Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa. Sejak kecil, banyak orang yang mengaguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya/Child prodigy, bahkan pada usia 10 tahun telah hafal al-Qur'an seluruhnya. Dalam hal ini ia mengatakan:
"Saya telah menghafal dan melengkapi studi al-Qur'an serta bagian-bagian terpenting dari kesusastraan bahasa Arab, sebegitu jauhnya sehingga orang-orang merasa ingin mengetahui lebih jauh tentang apa yang telah saya dapatkan."

Ia juga seorang ahli puisi Persia. Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada di masanya dan melebihi siapa pun juga. Karena kepintarannya itulah, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi setelah ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibn Manshur, dimana sebelumnya tidak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan.

Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai." Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.

Di antara guru yang mendidiknya adalah Abu 'Abd Allah al-Natili dan Isma'il sang Zahid. Dengan kejeniusannya, ia mampu menguasai ilmu yang diterimanya, bahkan melebih dari gurunya. Meskipun Ibn Sina sempat kebingungan untuk memenuhi hasrat belajarnya yang tak kunjung terpenuhi dari guru yang telah ia temui, akhirnya ia dapat lebih banyak belajar di perpustakaan istana, Kutub Khāna. Ia diberikan kebebasan belajar di perpustakaan ini karena keberhasilannya menyembuhkan sang pangeran, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Beragam ilmu pengetahuan yang ia pelajari dan kuasai di perpustakaan ini, termasuk di bidang filsafat. Namun, dalam mempelajari filsafat ini, terkadang ia memperoleh kesulitan. Pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku - bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan - kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya.

Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata - katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh al-Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Dengan mengenal pemikiran al-Farabi, ia mengaku berhutang budi kepada al-Farabi. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin. Peristiwa ini terjadi ketika ia berusia 18 tahun. Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar "meluas" tapi hanya perlu meningkatkan pemahamannya secara "mendalam" atas apa yang sudah dipelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun. Ketika ia memasuki usia senja, ia pernah menyatakan kepada muridnya, al-Juzjani, bahwa sepanjang tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari tidak lebih dari yang ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia 18 tahun. Pengalaman Ibn Sina mengajarkan kepada generasi sesudahnya bahwa masa muda amat menentukan keberhasilan seseorang.

Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibn Sina tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya. Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibn Sina yang membakarnya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di sana, kecuali Ibn Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan oleh putra al-Syam al-Daulah hanya karena ketidaksenangan, atau kedengkian. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini kemudian ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual.

Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.

2.Karya-karya Ibnu Sina

Ibn Sina sangat produktif dalam melahirkan karya tertulis, meskipun ia sibuk dalam pemerintahan dan tugasnya sebagai "dokter". Di antara karya tulisan yang ia tinggalkan dan berpengaruh terhadap generasi-generasi sesudahnya adalah:

a.Al-Syifā', terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat yang mencakup empat bagian, yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika. Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa pemikirannya tentang pendidikan;
b.Al-Najāt, merupakan ringkasan dari al-Syifa' yang ditujukan kepada para pelajar yang ingin mempelajari dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap;
c.Al-Qānūn fi al-Thibb (Canon of Medicine), berisikan tentang ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lain.
d.Al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt, berisikan uraian tentang logika dan hikmah.

Masih banyak karya-karya yang beliau tulis. Semua karyanya sekitar 250 karya yang diantaranya banyak berbicara tentang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Karyaa-karya ini sebagian besar berbahasa Arab, tapi ada sebagian kecil di antaranya berbahasa Persia, seperti Danishnamah 'ala'i (Buku ilmu pengetahuan yang dipersembahkan kepada 'Ala al-Dawlah). Buku ini merupakan karya filsafat pertama di Persia Modern.

C. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Sina

1.Hakikat Manusia

Bebicara tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia. Pandangan seseorang terhadap manusia akan berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia kemukakan. Demikian halnya Ibn Sina, juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia. Bahkan dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibn Sina tidak pernah terlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep jiwa.
Secara garis besar, manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Keduanya mesti dipelihara dalam kelangusungan hidup di dunia ini. Namun dalam kajian filsafat, unsur rohani atau jiwa mendapat perhatian lebih karena dianggap sebagai hakikat manusia yang sesungguhnya. Demikian halnya dengan Ibn Sina, meskipun ia sebagai seorang dokter yang mengkaji tentang organ tubuh manusia secara jasmani, tetapi ia juga memiliki pemikiran yang unik tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran (emanasi). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama; demikian seterusnya sehingga tercapai akal kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.16 Berlainan dengan al Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yaitu:

1. sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah (Wajib al Wujud li ghairihi), dan
2. sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (Mumkin al Maujud li Dzatihi).

Dengan demikian, ada tiga obyek pemikirannya yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.

Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari akal kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi Jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Hanya saja Ibn Sina menguraikan lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an. Adapun pembagian jiwa tersebut adalah:

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (Nabatiyyah) adalah daya yang terdapat dalam diri semua makhluk yang hidup atau yang bernyawa (tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia). Daya ini terbagi tiga macam, yaitu ghaziyab (makan); munmiyab (tumbuh); muwallidah (mereproduksi). Daya jiwa nabatiyah ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain.

2. Jiwa binatang (Hayawaniyyah), daya jiwa ini terdapat pada hewan dan manusia, tidak pada tumbuh-tumbuhan. Daya jiwa hayawaniyah terdiri dari dua macam, yakni:
a. Daya jiwa hayawaniyah muhrikah (menggerakkan) terbagi atas dua macam:
1) Muhrikah bā'itsah, ialah daya keinginan kecondongan yang mendorong lahirnya gerakan. Bā'itsah ini mempunyai dua macam yakni bā'itsah syahwiyah (kekuatan atau daya keinginan yang membangkitkan gerakan, untuk memperoleh kebutuhan) dan bā'itsah ghadlabiyah (daya keinginan yang membangkitkan gerakan untuk menghindari segala sesuatu yang memudlaratkan).
2) Muhrikah fā'ilah, ialah daya penggerak yang terdapat dalam urat-urat syaraf sampai bagian luar badan sehingga otot-otot melakukan gerakan sesuai dengan tuntutan daya-daya keinginan.
b. Daya jiwa hayawaniyah Mudrikab (menanggap), dengan dua bagian:
1) Mudrikah dari luar ialah jiwa menangkap dari penginderaan terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar.
2) Mudrikah dari dalam ialah daya jiwa hayawaniyah yang menangkap rangsangan yang datang dari dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri. Daya ini terbagi atas lima macam, yaitu: (a) Indra bersama (al-hiss al-musytarak), yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar; (b) Indra al-khayyal, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama; (c) Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayydl. (d) Indra wahmiyah (estimasi) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala. (e) Indra pemeliharaan (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.

3. Jiwa manusia (insaniyah), yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai dua daya, yaitu:
a. daya praktis {al-'amilat), hubungannya dengan jasad. Daya jiwa al-'amilah disebut juga al-'aqlul 'amali (akal atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia, dari seluruh binatang. Jika daya ini membirnbing daya-daya jiwa hayawaniyah serta dipengaruhi juga oleh aqlun nazhari (pikir teoritis) maka manusia akan hidup di atas keutarnaan, tetapi jika sebaliknya manusia akan hidup dalam kehinaan.
b. daya teoretis {al-'alimat) hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-'alimah disebut juga "aqlun nazhari". (akal intelegensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-konsep umum yang di-tajrid-kan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa tingkatan akal, yaitu.
1) Aqlun bil quwwab, yaitu intelegensia yang berkembang disebabkan proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun pengalaman-pengalaman. Aqlun bil quwwah ini dibagi tiga:
a) Al-Aqlu al-hayulani (akal material), yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b) Al-'Aqlu al-malakat, yaitu jiwa yang memperoleh perkara-perkara badihiyah (kebenaran aksioma) dengan ilharn ilahi tanpa melalui proses belajar, dia tidak pula lewat pengalaman indrawi. Contoh, keseluruhan lebih besar dari bagiannya, dua yang berlawanan tidak akan berkumpul.
c) Al-Aqlu bi al-fi'l, (akal aktual), yaitu bilamana jiwa memperoleh ilmu pengetahuan teoritis, namun dia tidak dalam keadaan sedang empelajarinya, tapi ilmu sudah siap padanya, kapan saja dia kehendaki dapat diketahuinya.
2) al-Aqlu al-Mustafad, yaitu akal yang muncul bilamana konsepsi rasional hadir pada akal itu, sedang dia dalam keadaan mengkajinya atau mempelajarinya. Perbedaan antara al-aql bi al-fi'li dengan al-aql al-mustafad adalah, umpamanya, seorang seniman pelukis, daya jiwanya pada waktu dia tidak dalam keadaan melukis, dan daya jiwanya pada waktu dia tenggelam dalam melukis (mustafad). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.

Dari tingkatan jiwa di atas, jiwa al-insaniyah adalah yang tertinggi. Sementara dalam jiwa al-insaniyah juga terdapat beberapa tingkatan akal, dari yang bersifat materil (hayulani) hingga kepada yang abstrak (mustafad). Untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia.

Ia juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya, jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang maka orang itu akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan sengsara selama-lamanya di akhirat.

Kemudian Ibn Sina juga membedakan antara jiwa dengan jasad. Berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Aristoteles, "jiwa adalah kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis", Ibn Sina mengganggap definisi itu tidak membedakan secara tegas antara jasad dengan jiwa. Bahkan pandangan Aristoteles mengisyaratkan adanya hubungan yang bersifat esensial antara keduanya dimana jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Bagi Ibn Sina, jiwa adalah "jauhar dari rohani". Ini menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi dari rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa kepada hancurnya roh (jiwa). Akan tetapi jiwa yang kekal adalah jiwa insaniyah dimana kelak akan mendapat pembalasana di akhirat, sementara jiwa tumbuh-tumbuhan dan hewan akan hancur bersama hancurnya jasad. Dengan demikian, jiwa memiliki kedudukan amat penting dari pada jasad. Hal ini berimplikasi kepada konsepnya tentang pendidikan yang mengutamakan pendidikan jiwa.

Meskipun demikian, antara jasad dengan jiwa juga memiliki hubungan yang erat dimana antara keduanya saling mempengaruhi dan membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa. Dengan kata lain jasad adalah syarat mutlak bagi adanya jiwa. Karenanya, manusia juga harus memelihara jasad sehingga dibutuhkan pula adanya pendidikan jasmani yang baik.

2. Tujuan Pendidikan

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Ibn Sina memandang bahwa manusia itu memiliki unsur jasmani dan jiwa (roh). Kemudian di dalam jiwa manusia terdapat beberapa tingkatan akal. Jadi, secara garis besar substansi manusia itu ada tiga, yaitu akal (intellect), jiwa (nafs), dan badan (jism).

Berangkat dari pandangan tersebut, Ibn Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti." Tampaknya tujuan ini bersifat universal.

Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan sese¬orang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.

Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibn Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional.

Dengan demikian, adanya pendidikan jasmani diharapkan seorang anak akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiiiki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan pula dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya. Begitu pula tujuan pendidikan keterampilan, diharapkan bakat dan minat anak dapat berkembang secara optimal.

Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibn Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia yang meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'adah). Kebahagiaan menurut Ibn Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Mula-mula kebahagiaan secara individu harus dicapai dengan memiliki akhlak mulia. Lalu jika individu yang merupakan anggota keluarga berakhlak mulia, maka keluarga itu pun akan bahagia pula dengan akhlak mulia. Selanjutnya keluarga yang berakhlak mulia akan menghasilkan masyarakat yang berakhlak mulia sehingga suatu masyarakat tersebut akan memperoleh kebahagiaan.

Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih.

Menurut Hasan Langgulung, jika dilihat dari fungsinya, salah satu fungsi tujuan pendidikan adalah sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan yang terbagi pada tiga tahap, yaitu tujuan khusus (objectivies), tujuan umum (goals), dan tujuan akhir (aims). Apabila dikaitkan dengan rumusan tujuan pendidikan Ibn Sina di atas, maka tujuan akhir adalah "pengembangan akal". Sebab, bagi Ibn Sina akal (intellect) adalah puncak dari kajadian ini. Walaupun pakar-pakar pendidikan yang terkemudian memberi definisi yang berbeda dengan Ibn Sina ini, tetapi sebagian besar mereka setuju bahwa akal adalah satu-satunya keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk yang lain. Sementara tujuan yang bersifat khusus (objectiviesi) adalah mencari kerja untuk hidup. Tujuan ini juga bisa disebut tujuan vokasional yang termasuk dalam tujuan khusus. Hal ini dapat dirumuskan berdasarkan tujuan pendidikan keterampilan sesuai dengan bakat minat anak, sebagaimana yang telah disinggung di atas.

Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah "mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sehingga memiliki akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga ia memperoleh kebahagiaan (sa'adah) dalam hidupnya."

Kemudian, jika dikaitkan antara tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa Ibn Sina telah merumuskan tujuan secara sistematis. Dalam istilah Abuddin Nata, tujuan pendi¬dikan Ibn Sina bersifat hirarkis-struktural. Artinya, di samping memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat uni¬versal (atau tujuan akhir) sebagaimana dikutip pada bagian pertama, juga memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat kurikuler atau perbidang studi dan tujuan yang bersifat operasional (atau dalam istilah Hasan Langgulung tujuan vokasional/tujuan khusus).

Hanya saja rumusan tujuan pendidikan Islam Ibn Sina, selain dari falsafahnya tentang hakikat manusia, juga dipengaruhi oleh perjalanan atau pengalaman hidupnya yang cerdas dengan pemikiran-pemikiran brilliant, juga terjun dalam pekerjaan sebagai tabib/dokter sesuai dengan keilmuan yang dikuasainya. Artinya, Ibn Sina menghendaki orang lain bisa meneladani apa yang telah ia perbuat. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Ibn Sina juga bersifat teoritis-praktis.

3. Kurikulum

Kurikulum, dalam artian sempit, adalah seperangkat mata pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, ilmu apa saja yang harus dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik termasuk dalam kajian kurikulum.
Ibn Sina juga menyinggung tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh seorang anak didik. Abuddin Nata, dalam desertasinya yang membahas "Konsep Pendidikan Ibn Sina" menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibn Sina didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu fase 3-5 tahun, 6-14 tahun, dan di atas 14 tahun.

a. Usia 3 sampai 5 tahun

Menurut Ibn Sina, diusia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.

1) Olah raga sebagai pendidikan jasmani.

Ibn Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya mengenai pendidikan olah raga. Menurutnya ketentuan dalam berolahraga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak lagi. Ia juga merinci olah raga mana saja yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian; dan mana pula olahraga yang tergolong ringan, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sebagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini dise¬suaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan si anak.

Pelajaran olahraga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak serta berfungsinya organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat jasad/tubuh adalah tempat bagi jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat. Mata pelajaran olah raga yang menginginkan kesehatan jasmani memang mendapat perhatian dari Ibn Sina, apalagi jika dihubungkan dengan keahliannnya di bidang ilmu kesehatan/kedokteran, tentu Ibn Sina memahami begitu pentingnya pelajaran oleh raga sebagai upaya untuk menjaga kesehatan jasmani.

2) Pelajaran akhlak/budi pekerti

Pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian si anak sehingga jiwanya menjadi suci, terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sukar diperbaiki kelak di usia dewasa. Dengan demikian, Ibn Sina memandang pelajaran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Pendidikan akhlak harus dimulai dari keluarga dengan keteladanan dan pembiasan secara berkelanjutan sehingga terbentuk karakter atau kepribadian yang baik bagi si anak.

3) Pendidikan kebersihan

Pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian Ibn Sina. Pendidikan ini diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam Islam.

4) Pendidikan seni suara dan kesenian

Pendidikan seni suara dan ke¬senian diperlukan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah satu upaya untuk memperhalus budi yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang suka keindahan. Mengenai pelajaran kebersihan, Ibn Sina mengatakan, bahwa pelajaran hidup bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak tidur kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan kepada anak di usia 3 – 5 tahun, menunjukkan bahwa Ibn Sina telah memandang penting pendidikan di usia dini. Hal ini relevan dengan konsep pendidikan modern yang dikenal dalam Sistem Pendidikan Nasional dengan istilah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) lalu Taman Kanak-kanak (TK).

Hemat penulis, jika dilihat dari pelajaran yang perlu diterapkan di usia ini, tampaknya lebih menekankan pada aspek apektif. Pentingnya pendidikan kebersihan, seni suara, dan kesenian pada dasarnya bagian dari upaya pembinaan akhlak anak. Hal ini penting mengingat setiap pengalaman yang dilalui oleh anak di usia dini akan jelas berbekas dalam kepribadiannya kelak ketika dewasa.

b. Usia 6 sampai 14 tahun

Selanjutnya kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menu¬rut Ibn Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olahraga.

1) Pelajaran al-Qur'an dan pelajaran agama

Pelajaran al-Qur'an adalah pelajaran pertama dan yang paling utama diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya. Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibn Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga untuk mendu¬kung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pela¬jaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lain-nya yang sumber utamanya adalah al-Qur'an. Efektivitas menghafal al-Qur'an di usia ini juga telah dibuktikan oleh Ibn Sina sendiri dimana ia telah hafal seluruhnya pada usia 10 tahun.
Selain itu pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa Arab, karena dengan menguasai al-Qur'an berarti ia telah menguasai ribuan kosa kata bahasa Arab atau bahasa al-Qur'an. Dengan begitu pelajaran membaca al-Qur'an tampak bersifat strategis dan mendasar, baik dilihat dari segi pembinaan sebagai pribadi Muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan Muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibn Sina sendiri. Sementara pelajaran agama harus lebih banyak diajarkan di usia ini, sebab pada usia ini anak telah mempu berpikir secara rasional sehingga dapat memahami dasar-dasar ajaran agama yang harus ia jalankan selaku seorang muslim.

2) Pelajaran keterampilan

Pelajaran keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan anak mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam pendidikan modern pelajaran ini dikenal dengan vokasional. Pentingnya pendidikan tersebut dinyatakan oleh Ibn Sina, seperti yang dikutip Hasan Langgulung:

"Setelah kanak-kanak diajar membaca al-Qur'an, menghafal dasar-dasar bahasa, barulah dilihat kepada pekerjaan yang akan dikerjakannya dan ia dibimbing ke arah itu, setelah gurunya tahu bahwa bukan semua pekerjaan yang diinginkannya bisa dibuatnya tetapi adalah yang sesuai dengan tabiatnya. jika ia ingin menjadi jurutulis (barnagkali sekarang boleh disebut kerani atau administrator) maka haruslah ia diajar surat menyurat, pidato, diskusi, dan perdebatan dan lain-lain lagi. Begitu juga ia perlu belajar berhitung dan mempelajari tulisan indah. Kalau dikehendaki yang lain maka ia disalurkan ke situ."

3) Pelajaran sya'ir

Pelajaran sya'ir tetap dibutuhkan di usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung nilai-nilai pendidikan akan sangat berguna dalam menuntun perilakunya, di samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah. Pelajaran ini dimulai dengan menceritakan syair-syair yangmenceritakan anak-anak yang glamour, sebab lebih mudah dihafal dan mudah menceritakannya serta bait-baitnya lebih pendek. Kemudian Ibn Sina menolak ungkapan "seni adalah untuk seni", ia berpendapat bahwa seni dalam syair merupakan sarana pendidikan akhlak.

4) Pelajaran olah raga

Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibn Sina yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran ada¬lah olahraga adu kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta. Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan si anak dan disuasaikan dengan tingkat perkembangannya.
Jika di usia 3-5 tahun lebih ditekankan pada aspek apektif atau pendidikan akhlak, maka di usia 6-14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan di usia ini telah diajarkan al-Qur'an dengan membaca, menghafal bahkan memahami tata bahasanya. Dengan demikian, aspek apektif dan psikomotor sudah banyak mendapat sentuhan. Hal ini beralasan mengingat di usia ini otak peserta didik telah berkembang dan mulai mampu memahami persoalan yang abstrak.

c. Usia 14 tahun ke atas

Di usia 14 tahun ke atas, Ibn Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun ke atas, amat banyak jumlahnya, namun pela¬jaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibn Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya. Jadi, di usia ini telah diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu (takhashshush/spesialisasi).

Di antara mata pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Tampaknya pembagian ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibn Sina banyak menambahkan ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang tentunya berdasarkan kepada ajaran Islam. Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah:
1) ilmu yang bersifat teoritis meliputi:
a) ilmu tabi'i, yang disebutnya dengan ilmu yang paling bawah, yaitu mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam), ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia;
b) ilmu matematika yang disebutnya dengan ilmu pertengahan, mencakup tentang ruang, bayang dan gerak, memikul beban, timbangan, pandangan dan cermin, dan ilmu memindahkan air;
c) ilmu ketuhanan, disebutnya ilmu paling tinggi, yaitu menuntut derajat kebebasannya dari materi, yang mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu'jizat, berita gaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh setelah berpisah dengan badan.

2) ilmu yang bersifat praktis, meliputi:
a) ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku seseorang;
b) ilmu pengurusan rumah tangga, yaitu ilmu yang mengkaji hubungan antara suami dan istri, anak-anak, pengaturan keuangan dalam kehidupan rumah tangga;
c) ilmu politik yang mengkaji tentang bagaimana hubungan antara rakyat dan pemerintah, kota dengan kota, serta bangsa dan bangsa. Ibn Sina juga menambahkan dalam ilmu politik ini tentang wujud kenabian dimana manusia perlu kepadanya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan menetapkan undang-undang dan syariat.

Pembagian ilmu praktikal ini juga hampir sama dengan pembagian Aristoteles. Tetapi Ibn Sina memberikian syari'at sebagai landasan yang amat penting dalam falsafah praktikal. Setelah pembagian ini ia menyatakan, "Semua itu hanya dapat terlaksana dengan pemikiran akal dan petunjuk syariat, sedangkan secara terperinci dengan syariat Ilahi". Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ibn Sina memandang penting antara akal dan wahyu dalam dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, pendidikan juga harus menyusun kurikulum yang mendidik manusia agar memiliki akal sempurna berlandaskan kepada wahyu Ilahi.
Lebih rinci, Hasan Langgulung menulis klasifikasi ilmu menurut Ibn Sina sebagai berikut:

ILMU

Tidak Kekal Kekal Abadi (Hikmat)

Sebagai Tujuan Sebagai Alat: Logik

Teoritikal: Praktikal:
- Ilmu Tabi'i - Ilm Akhlak
- Ilmu Matematika - Ilmu Administrasi Rumah
- Ilmu Metafisika (Ketuhanan) - Ilmu Administrasi Kota
- Ilmu Kully (Universal) - Ilmu Nabi (Syariat)
Gambar: Klasifikasi Ilmu Menurut Ibn Sina

Dari uraian pemikiran Ibn Sina tentang kurikulum di atas, dapat dipahami bahwa konsep kurikulum yang ditawarkannya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, dalam penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak. Oleh karena itu, mengenal psikologi anak amat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern mencakup tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengenal bakat minat, serta persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu maka mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah dikuasai oleh anak didik.

Kedua, kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potensi anak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Namun masing-masing unsur tersebut mendapat penekanan lebih pada masing-masing tingkat usia. Di usia dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja diseimbangkan antara apektif, psikomotor dan kognitif. Sedangkan di usia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai dengan keahlian yang ia mampu dan sukai. Artinya, diperlukan spesifikasi keilmuan sehingga ia ahli di bidang tertentu.

Ketiga, kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina bersifat pragmatis-fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada di masyarakat.

Keempat, kurikulum yang disusun harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang ditawarkan oleh Ibn Sina sejak usia kanak-kanak.

Kelima, kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibn Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak. Sedangkan perhatian Ibn Sina terhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini membuktikan bahwa ia memahami bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan harus terintegrasi antara iman, ilmu dan amal.

3. Metode

Ibn Sina juga memiliki beberapa konsep metode pembelajaran. Pada dasarnya metode pembelajaran yang ia tawarkan memiliki perbedaan antara materi yang satu dengan materi pelajaran yang lainnya. Artinya, pemilihan dan penetapan metode harus mempertimbangkan dengan karekteristik dari masing-masing materi pelajaran. Kemudian metode itu juga mempertimbangkan tingkat perkembangan/psikologis anak didik. Hal itu bisa dilihat dari beberapa metode yang ditawarkannya. Menurut Abuddin Nata, di antara metode yang ditawarkan Ibn Sina adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan. Kemudian Ali al-Jumbulati mengemukakan pula pemikiran Ibn Sina tentang metode dera dan hukuman.

a) Metode talqin
Metode talqin perlu digunakan dalam mengajarkan membaca al-Qur'an, mulai de¬ngan cara memperdengarkan bacaan al-Qur'an kepada anak di¬dik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal. Metode talqin ini menurut Ibn Sina dapat pula ditempuh dengan cara seorang guru meminta bantuan murid-murid yang sudah agak pandai untuk membimbing teman-temannya yang masih tertinggal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.

b) Metode demonstrasi
Menurut Ibn Sina, metode demonstrasi dapat digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makh-rajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.

c) Metode pembiasaan dan keteladanan
Ibn Sina berpendapat bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak. Ia mengakui adanya pengaruh "mengikuti atau meniru" atau contoh tauladan baik dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara tabi'iyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang ia lihat dan ia rasakann serta yang didengarnya. Oleh karena itu, dalam pergaluan pun, anak diharapkan berinteraksi dengan anak-anak yang berakhlak baik pula.

d) Metode diskusi
Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di hadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibn Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoretis. Pengetahuan model ini pada masa Ibn Sina berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pe¬ngetahuan tersebut.

e) Metode magang
Ibn Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibn Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari di ruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktek-kan teori tersebut di rumah sakit atau balai kesehatan. Metode ini akan menimbulkan manfaat ganda, yaitu di samping akan mempermahir siswa dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis. Dalam hal ini, guru harus mempersiapkan anak didiknya sebelum magang sehingga magang tersebut tidak merugikan pihak lain.

f) Metode penugasan
Metode penugasan ini pernah dilakukan oleh Ibn Sina dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikannya kepada para muridnya untuk dipelajarinya. Cara ini antara lain ia lakukan kepada salah seorang muridnya bernama Abu ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as-Suhaili. Dalam bahasa Arab, pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah at-ta'lim bi al-marasil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul).

g) Metode targhib dan tarhib
Targhib, atau dalam pendidikan modern dikenal istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Ibn Sina juga memberikan perhatian pada metode ini. Menurutnya, memberi dorongan, memuji dan sebainya yang sesuai dengan situasi yang ada kadangkala lebih berpengaruh dan lebih dapat mewujudkan tujuan dari pada hukuman, sebab pujian dan dorongan dapat menghapus perasaan salah, berdosa dan menyesal.

Namun, dalam keadaan terpaksa, metode hukuman (tarhib) dapat dilakukan. Dalam hal ini Ali al-Jumbulati menjelaskan pemikiran Ibn Sina tentang hukuman ini:
Jika terpaks harus mendidik dengan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan meninddak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik, atau kadang-kadang dipuji didorong keberaniannya untuk berbuat baik. Perbuatan demikian itu merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus.

Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak merasa ringan, dan memandang hukuman itu sebagai suatu yang remeh. menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak.

Dari beberapa metode yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa Ibn Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan. Paling tidak ada empat karakteristik metode yang ditawarkan oleh Ibn Sina, yaitu: pertama, pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran; kedua, metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikologis anak didik, termasuk bakat dan minat anak; ketiga, metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik; dan keempat, ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.

Tampaknya, karakter ini masih tetap relevan dengan tuntutan zaman hingga saat ini. Itu artinya Ibn Sina memang memahami konsep pendidikan baik secara teoritis maupun secara praktis sehingga pemikiran yang ia kemukakan tidak hanya berlaku pada masanya, melainkan jauh melampaui masa tersebut.

4.Konsep Guru

Guru memiliki peran amat penting dalam pendidikan. Ibn Sina pun menuliskan beberapa pemikirannya tentang konsep guru, terutama yang menyangkut tentang guru yang baik. Menurutnya, guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Kemudian Ibn Sina juga menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan ummat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.

Ibn Sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan, merubah budi pekerti dan kebebasannya dalam berfikir. Ia juga menekankan adanya perhatian yang seimbang antara aspek penalaran (kognitif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat pemahaman; aspek penghayatan (afektif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat perasaan; dan aspek pengamalan (psikomotorik) yang diwujudkan dalam pelajaran praktek.

Rumusan di atas menunjukkan bahwa Ibn Sina menginginkan seorang guru memiliki kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi anak didiknya. Hal ini penting, sebab jika guru tidak memiliki wawasan yang luas tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan kurang memiliki kharismatik, tentulah anak didik kurang menyukainya. Jika hal itu terjadi, maka ilmu akan sulit didapat, meskipun diketahui tetapi keberkahannya jelas berkurang.

D.Rekomendasi; Aktualisasi Pemikiran Ibn Sina dalam Pelaksanaan Pendikan Islam di Indonesia

Dari beberapa pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pemikirannya yang menurut penulis tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan aktualisasi pemikiran Ibn Sina ini bisa menjadi pendidikan alternatif dalam mewujudkan pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Adapun yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibn Sina tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pentingnya pendidikan akhlak. Sebagaimana yang diuraikan di atas, pendidikan akhlak menjadi salah satu tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibn Sina. Pentingnya pendidikan akhlak ini juga tergambar dalam kurikulum yang ia tawarkan, serta metode dan sikap guru yang mengutamakan keteladanan di samping kompetensi keilmuan. Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas penting. Bahkan akhlak mulia menjadi salah satu indikator penting dalam rumusan tujuan Sistem Pendidikan Nasional (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003). Namun dalam tataran pelaksanaan pendidikan akhlak, tampaknya belum ditemukan formulasi yang tepat dan jelas. Padahal persoalan akhlak menjadi problema utama yang terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, perhatian tokoh dan praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia amat dibutuhkan untuk membangun karakter (caracter building) bangsa ini ke arah yang lebih bermartarbat dan terhormat.
Dalam beberapa literatur pendidikan Islam, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas utama. Salah seorang penyair, Ahmad Syauqi Bey, seperi yang dikutip oleh Ali al-Jumbulati, melukiskan dalam bait syairnya:
إِنَّمَا اْلاُمَامُ اْلاَخْلاَقُ مَابَقِيَتْ - فَإِنَّ هُمُو ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
"Hanya saja suatu banga itu berdiri tegak selama ia masih berakhlak. Namun jika akhlak mereka hilang, maka bangsa itu pun lenyap pula."
وَلَيْسَ بِعَامِرٍ بُنْيَانُ قَوْمٍ – اِذَا اَخْلاَقُهُمْ كَانَتْ خَرَابًا
Dan tidaklah mungkin suatu bangsa membangun suatu kaum jika akhlak mereka mengalami keruntuhan.

Perhatian itu hendaknya terwujud dalam kebijakan pendidikan, seperi rekuitmen guru harus mempertimbangkan kepribadiannya bukan hanya melalui tes tertulis secara kognitif, kurikulum yang diterapkan hendaknya berbasis akhlak, sekolah-sekolah yang melakukan kecurangan harus ditindak tegas, dan sebagainya. Selain itu perlu pula merubah paradigma dari pemahaman akhlak hanya tugas guru agama semata menjadi tugas semua guru, terutama guru yang beragama Islam secara bersama bertanggung jawab menerapkan pendidikan akhlak (sesuai tuntunan Islam).

Kedua, pendidikan al-Qur'an sebagai model. Ibn Sina yang sering dikenal dunia internasional sebagai ahli di bidang kedokteran (termasuk rumpun sains) dan filosof, ternyata memahami benar tentang al-Qur'an. Bahkan di usia yang masih muda, sekitar 10 tahun, ia telah menghafal seluruh al-Qur'an. Itu artinya al-Qur'an sangat menentukan keberhasilan Ibn Sina sebagai seorang ilmuan tiada tandingan di masanya. Tampaknya ia juga menyadari pengaruh al-Qur'an tersebut sehingga ia menawarkan pentingnya mempelajari al-Qur'an yang dimulai sejak dini bahkan perlu mengajarkan untuk menghafalnya di usia 6 sampai 14 tahun.

Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya pendidikan al-Qur'an kurang mendapat perhatian serius. Tingkat sekolah dasar, misalnya, masih lebih memfokuskan belajar baca tulis al-Qur'an, sementara di tingkat Madrasah al-Qur'an hanya menjadi salah satu pelajaran yang digabung dengan Hadis. Untuk itu orang tua harus mengajarkan al-Qur'an sejak dini kepada anaknya. Sementara pihak sekolah, seharusnya mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an ke seluruh mata pelajaran, khususnya bagi MTs dan Madrasah Aliyah sebagai sekolah yang bercirikan Islam. Dalam hal ini, seluruh guru bidang studi perlu mendapat pelatihan dan pembinaan khusus untuk dapat mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an tersebut ke dalam pelajaran yang diasuhnya. Dengan upaya ini, diharapkan anak didik akan merasa semakin dekat dengan al-Qur'an serta akan lahir generasi penerus Ibn Sina sebagai "ulama yang ilmuan, atau ilmuan yang ulama".

Ketiga, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs). Salah satu pemikiran penting Ibn Sina dalam filsafat adalah konsep jiwa. Jika ditelusuri pemikiran pendidikan Islam Ibn Sina nampaknya akan diarahkan kepada pengembangan potensi anak didik sehingga memiliki tingkat jiwa yang tertinggi, yaitu al-aql al-mustafad. Penulis memahami bahwa konsep jiwa yang ditawarkannya telah mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagaimana yang dikenal dewasa ini, bahkan melebihi dari konsep itu.

Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi kepada kecerdasan jiwa tersebut. Salah satu di antaranya yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafsiyah). Dengan jiwa yang suci, niscaya akan memudahkan anak didik menguasai berbagai ilmu yang dipelajarinya serta mudah pula dibina kepribadiannya. Tegasnya, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs) dapat mencerdaskan peserta didik sekaligus membentuk kepribadian yang berakhlak mulia. Profil peserta didik seperti sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Keempat, membangun paradigma pendidikan nondikotomik, atau pendidikan integralistik. Dari beberapa pemikiran Ibn Sina di atas, bisa disimpulkan bahwa pendidikan yang diinginkan bersifat integral atau nondikotomik. Integralistik itu bisa dilihat antara jasad dan rohani, teoritis dan praktis, serta ilmu "umum" dengan "agama". Adanya paradigma integralistik atau nondikotomik telah membuat Ibn Sina sebagai seorang saintis sekaligus ulama terkemuka, paling tidak ke-ulama-annya dapat dilihat dari pemikiran filsafatnya serta penguasaannya terhadap ilmu al-Qur'an. Akhirnya, teori-teori yang dihasilkannya tetap berlandaskan kepada ajaran Islam.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma semacam ini harus terbangun. Adanya istilah "pendidikan umum" dan "pendidikan agama" yang biasa dikenal di negeri ini kerap kali menimbulkan paradigma dikotomik yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu yang dimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah, sikap beragama hanya urusan privasi seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak berbicara tentang nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih menguat, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemikiran Ibn Sina paradigma ini patut diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia indonesia yang berkualitas: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta cerdas dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan kebahagiaan hakiki.

E. Penutup

Dari uraian pemikiran pendidikan Ibn Sina di atas, penulis dapat menyimpulkan:
1. Ibn Sina memandang manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani sebagai jauhar dari jiwa. Namun jiwa menempati peran penting bagi manusia, sebab jiwa dianggap kekal dan menentukan kualitas seseorang. Jiwa itu sendiri terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan jiwa manusia. Manusia harus mencapai tingkatan jiwa manusia yang memiliki akal secara aktif. Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan bagi manusia.
2. Kurikulum berupa materi pelajaran yang ditawarkan Ibn Sina dimulai sejak usia dini (3 – 5 tahun), lalu usia pertengahan (6 – 14 tahun), dan usia di atas 14 tahun. Masing-masing tingkatan usia tersebut memerlukan materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan/psikologis anak. Di usia dini lebih menekankan aspek apektif/akhlak, di usia remaja telah memperkanalkan berbagai ilmu-ilmu dasar, sementara di usia dewasa harus di arahkan kepada keahlian atau spesifikasi keilmuan sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum tersebut sudah bersifat hirarkis-sturuktural.
3. Ibn Sina juga mengemukakan beberapa metode pembelajaran yang harus mempertimbangkan aspek psikologis anak dan jenis materi pelajaran yang diberikan. Dalam penyajian metode ini, seorang guru harus memperhatikan pembinaan akhlak, baik akhlak guru sendiri sebagai teladan maupun perilaku anak didik yang harus diarahkan kepada yang baik. Oleh karena itu seorang guru selain dituntut untuk cerdas dan kompeten dalam bidangnya, juga dituntut memiliki akhlak yang mulia penuh kharisma sehingga menjadi teladan dan idola bagi anak didiknya.
4. Pemikiran-pemikiran Ibn Sina di atas membuktikan bahwa ia adalah seorang tokoh pendidikan Islam, di samping bidang-bidang lain yang dikuasainya. Oleh karena itu di antara pemikirannya patut dianalisis dan perlu dijadikan referensi dalam pengembangan pendidikan Islam saat ini. Dalam hal ini, ada beberapa pemikirannya yang patut dikembangkan dan diaktualisasikan karena dianggap relevan dengan kondisi pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, di antaranya: pendidikan diselenggarakan hendaklah berbasis akhlak, pendidikan al-Qur'an harus diterapkan selain sebagai pedoman hidup juga akan menjadi inspirasi dan motivasi untuk meraih prestasi, pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi kepada pendidikan jiwa (al-tarbiyah al-nafsiyah) yang akan diharapkan mampu melahirkan peserta didik yang cerdas, beriman dan berakhlak mulia, serta perlu membangun paradigma pendidikan nondikotomik.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

haloo...
okkk deh buat blog spotnyaa...
mantan murid spendelll...!!!

Unknown mengatakan...

Mantap blog-ma pak!!