Kamis, Juni 19, 2008

Adanya Perbedaan; Rahmat atau Adzab?

Oleh: Muhammad Kosim, LA

Terbitnya SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah ternyata masih meninggalkan pro-kontra. Sejumlah protes masih nyaring terdengar karena kecewa terhadap SKB 3 Menteri tersebut yang dinilai tidak jelas dan terkesan masih memberi peluang bagi Ahmadiyah tumbuh berkembang di tanah air yang berpenduduk mayoritas muslim ini. Mereka yakin, Ahmadiyah adalah aliran sesat dan telah melecehkan ajaran Islam. Di sisi lain, suara pendukung Ahmadiyah juga tidak kalah nyaringnya. Mereka bertahan dengan pendapatnya karena menganggap bahwa negara Indonesia yang berazas Pancasila ini mesti memberikan ruang gerak yang luas terhadap “perbedaan”, termasuk perbedaan keyakinan. Ironisnya, kelompok yang pro-kontra ini justru dari kalangan umat Islam sendiri! Dengan demikian, salah satu pemicu pro-kontra yang terjadi antara pendukung dan penentang Ahmadiyah adalah persepsi tentang “Perbedaan”.

Berbicara tentang perbedaan, telah menjadi kultur yang mengakar dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Bahkan bangsa yang berlambang burung Garuda ini memakai semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang majemuk, plural, dan beragam budaya dituntut untuk saling menerima dan menghargai adanya perbedaan. Faktanya, perbedaan yang terjadi justru sering memicu perpecahan, bahkan tindakan anarkis. Lalu bagaimana sebaiknya kita menyikapi adanya “perbedaan”?

Dalam Islam, perbedaan juga menjadi kajian yang cukup menarik. Ada satu hadis kontraversi yang berbunyi “al-ikhtilafu baina ummati rahmah”, artinya “perbedaan di antara umatku adalah rahmat”. Namun ulama hadis banyak yang menganggap bahwa hadis ini palsu, termasuk Syaikh Al-Albani yang menegaskan bahwa hadis ini tidak ada asalnya. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahas apakah hadis di atas palsu atau tidak. Tetapi perlu disadari bahwa ada kecenderungan orang yang sering mengutip hadis di atas lalu memahaminya secara tekstual sangat fanatik terhadap perbedaan. Sebaliknya, bagi mereka yang menolak pernyataan di atas, malah bisa bersikap anti-perbedaan dan bercita-cita untuk mewujudkan persamaan.

Perbedaan Sesama Muslim

Jika kita tilik ke belakang, perbedaan sesama umat Islam tidak hanya terjadi saat ini, tetapi sejak masa Nabi SAW hidup, perbedaan di kalangan sahabat juga sering terjadi. Demikian pula pada masa generasi tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya. Dalam kajian hadis, misalnya, antara para ulama hadis memiliki metode penelitian hadis yang berbeda. Tetapi karya mereka tetap menjadi referensi dan diakui secara umum oleh umat Islam hingga saat ini. Di bidang fiqh, juga terkenal beberapa mazhab, di antaranya mazhab Imam Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Hanafi. Keempat mazhab tersebut juga diyakini keabsahannya, meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat. Begitu pula dalam kajian ilmu kalam, aliran jabariyah, qadariyah, dan mu’tazilah juga memiliki perbedaan cara pandang terhadap kajian di bidang aqidah.

Pada dasarnya, perbedaan-perbedaan di atas telah memperkaya khazanah intelektual Islam dan tetap menjadi kajian menarik bagi generasi-generasi sesudahnya, hingga saat ini. Perbedaan itu juga tidak merusak citra ke-ulama-an para pemikirnya. Tegasnya, perbedaan yang mereka timbulkan justru menimbulkan rahmat bagi khazanah intelektual Islam.

Hanya saja, di tingkat masyarakat awam yang tidak memahami perbedaan tersebut, kerap kali menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Akibat lebih lanjut, prasangka negatif, saling tuding, hingga kepada tindakan anarkis seketika dapat terjadi. Dalam hal ini, perbedaan telah menjadi “adzab” bagi sesama umat.

Meskipun demikian, bukanlah sikap yang adil jika kita menyalahkan para ulama yang telah disinggung di atas. Dan tidak pula membiarkan umat berada dalam pertikaian dan perpecahan hanya karena tidak memahami arti sebuah perbedaan. Islam tetap toleran terhadap “perbedaan”. Akan tetapi tidak seluruh perbedaan dapat ditoleransi. Dalam hal ini, perbedaan tersebut harus dilihat dalam kaitannya dengan ajaran Islam itu sendiri.

Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, diyakini oleh para ulama tafsir mengandung ayat-ayat yang bersifat qath’i (pasti), dan ayat-ayat yang bersifat zhanni (mengandung interpretasi). Ayat-ayat yang bersifat qath’i bersifat pasti, tidak menimbulkan keraguan dan tidak perlu diinterpretasikan lagi. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat. Sebaliknya, ayat-ayat yang bersifat zhanni adalah ayat-ayat yang masih memerlukan interpretasi dari umat sehingga maknanya dapat dipahami dan diamalkan. Ayat-ayat yang termasuk kategori kedua inilah yang diperbolehkannya perbedaan pendapat.

Di bidang ibadah, terdapat banyak perintah Allah tentang shalat. Seperti dalam surat al-Maidah ayat 6, ditegaskan bahwa orang-orang beriman mesti mendirikan shalat, tetapi harus berwudhu’ terlebih dahulu. Perintah ini bersifat qath’i. Tetapi, dalam ayat ini juga terdapat ayat yang bersifat zhanni, seperti kata “au la mastumun nisa’” yang artinya “atau kamu menyentuh perempuan” sebagai hal yang membatalkan wudhu’. Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang kata tersebut; Imam Syaf’I memahaminya bersentuhan antara kulit laki-laki dengan kulit perempuan, tetapi ada ulama lain yang berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah bersetubuh.

Para ulama tafsir juga ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang bersifat zhanni lebih banyak dari pada qath’i, baik di bidang aqidah, ibadah, maupun akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat merupakan keniscayaan dalam kehidupan internal umat Islam sendiri. Akan tetapi, penafsiran terhadap ayat-ayat yang bersifat zhanni tersebut mesti dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu pendukung. Dia mesti memahami hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, asbabun nuzul, termasuk hadis-hadis nabi yang berkenaan dengan ayat tersebut. Jika tidak, maka penafsiran tersebut bisa menimbulkan pemahaman yang salah.

Oleh karena itu, para ulama hendaknya memberikan pemahaman terhadap umat Islam tetang menghargai perbedaan. Jika para ustadz memliki jamaah, seperti dalam jamaah pengajian, majlis ta’lim, dan sebagainya, hendaknya tidak menyalahkan, apa lagi mencaci maki kelompok yang berbeda pendapat, selagi perbedaan itu tidak yang bersifat qath’i.

Perbedaan dengan non-Muslim

Islam juga menghargai perbedaan dengan non-muslim. Meskipun akidah berbeda, tetapi perbedaan itu tidak disikapi dengan perilaku negatif. Sebaliknya, umat Islam mesti menghargai mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap penduduk Madinah yang tidak beragam Islam.

Islam juga memberikan kebebasan beragama bagi mereka selagi mereka tidak menimbulkan permusuhan. Allah SWT mengajarkan dengan batasan yang tegas terhadap hubungan umat Islam dengan non-muslim secara aqidah dengan firman-Nya: Katakanlah: "Hai orang-orang kafir (non-muslim), Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (al-Kafirun/109: 1-6).

Karena itu pula umat Islam tidak pernah memaksa atau melakukan hal-hal yang mengandung unsur paksaan terhadap non-muslim untuk pindah ke dalam agama Islam. Agaknya, dengan adanya konsep seperti inilah yang membuat para ulama di tanah air periode awal untuk dapat menerima konsep Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Perbedaan dengan Ahmadiyah

Ada enam butir isi dari SKB 3 Menteri yang berisi tentang “Perintah terhadap Penganut Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia” dan diumumkan di kantor Departemen Agama (Depag), Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (9/6/), sekitar pukul 16.00 WIB. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa munculnya pro-kontra antara sesama umat Islam dalam menyikapi Ahmadiyah juga tidak terlepas dari pandangan mereka terhadap penting tidaknya menghargai ”perbedaan”. Hanya saja, perbedaan dengan Ahmadiyah tidak hanya menyangkut ayat-ayat yang bersifat zhanni, tetapi juga dengan ayat-ayat yang qath’i.
Perbedaan pemahaman yang bersifat zhanni, memang tidak menjadi persoalan. Namun, perbedaan yang bersifat qath’i memang tidak dapat ditolerir. Seperti pemahaman alirah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang notabenenya Ahmadiyah Qadiyan, mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi.

Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan tidak ada lahi nabi sesudahnya adalah ajaran Islam yang bersifat qath’i. Seperti firman Allah: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu , tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup-penutup nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs. Al-Ahzab/33: 40). Ayat ini dengan tegas dan jelas menyebutkan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Hal ini juga didukung oleh beberapa hadis shahih yang menyebutkan ”la nabiyya ba’di”, tidak ada nabi sesudahku.

Dengan demikian, perbedaan dengan Ahmadiyah masih bisa ditolerir selagi mereka berbeda dalam hal yang zhanni, namun dalam hal yang qath’i, tidak ada toleransi bagi mereka. Agaknya inilah yang dimaksud dalam butir kedua dalam SKB 3 Menteri yang menyebutkan bahwa: ”2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.”

Namun, jika mereka memang tetap mempertahankan keyakinannya, maka umat Islam memang tetap harus berupaya menghentikan mereka hingga mereka tidak membawa nama Islam lagi atau bertaubat dari keyakinannya. Namun cara yang ditempuh tidak bersifat anarkis, tetapi dengan cara yang bijak dan adil.

Oleh karena itu, umat Islam harus bersatu menentang ajaran yang mengaku Islam tetapi menyimpang dari keyakinan yang qath’i. Umat Islam yang masih berjuang mendukung Ahmadiyah segeralah berhenti. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan memang dapat mendatangkan rahmat ketika perbedaan itu sebatas pemahaman terhadap ayat-ayat yang zhanni dan urusan keduniawian yang tidak bertentang dengan ajaran Islam. Sebaliknya, ketika perbedaan telah memasuki wilayah ajaran yang bersifat qath’i, dan menimbulkan perpecahan dan perselisihan sesama umat, maka azab akan menemui umat Islam itu sendiri. Azab itu bisa berupa peperangan, permusuhan, bencana, atau perpecahan umat yang saling mencaci dan menyakiti sehingga merusak kewibawaan dan kekuatan umat Islam itu sendiri. Perhatikanlah firman-Nya: "Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan/berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Qs. al-Anfal: 46). Semoga Allah tetap melindungi dan memberikan petunjuk kepada kita, amin.

Baco Tokhus....

Senin, Juni 09, 2008

Islam, Demokrasi, dan Kekerasan

Oleh: Muhammad Kosim LA, M.A.
(Guru PAI SMP N 8 Padang)

“Kekerasan” kembali ramai diperbincangkan. Naiknya harga BBM dan ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap aliran Ahmadiyah menambah daftar panjang aksi kekerasan di negeri yang belajar demokrasi ini. Berbagai demonstrasi digelar, tindak kekerasan pun tak terhindarkan. Kekerasan itu dapat terjadi dalam bentuk kontak fisik, merusak bangunan, membakar kendaraan, hingga kepada kata-kata kasar penuh dendam. Ironisnya, kekerasan tersebut justru dilakukan oleh sekelompok umat Islam, ada yang dalam bentuk ormas (organisasi kemasyarakatan), bahkan ada pula yang dari kalangan terpelajar seperti mahasiswa.

Tampaknya aksi kekerasan yang terjadi turut dipicu oleh pandangan masyarakat terhadap demokrasi. Demokrasi selalu diidentikkan dengan kebebasan, sebab demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena rakyat yang berkuasa, maka rakyat bisa berbuat apa saja, termasuk tindakan kekerasan. Ketika penguasa dianggap salah, rakyat akan marah dan kemarahan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kekerasan. Padahal tindakan kekerasan yang mereka lakukan juga bisa menjadi suatu kesalahan.

Kebebasan memang menjadi bagian penting dalam demokrasi. Tetapi kebebasan tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai moral, etika, dan kebenaran. Apa jadinya bangsa ini jika demokrasi diidentikkan dengan kebebasan tanpa etika? Bukan menjadi bangsa yang beradab, malah menjadi bangsa yang biadab.

Islam dan Demokrasi
Islam sebagai agama yang cinta damai pada dasarnya tidak mengenal istilah “demokrasi”. Namun esensi dari demokrasi juga menjadi doktrin Islam yang dikenal dengan istilah “musyawarah” yang juga melibatkan banyak orang. Hanya saja musyawarah bukanlah suara terbanyak sebagaimana yang biasa dipraktekkan dalam berdemokrasi. Sebab tidak ada jaminan suara terbanyak memperjuangkan kebenaran. Bisa jadi sekelompok orang yang berwenang bersekongkol mengambil dan memutuskan kebijakan berdasarkan kepentingan pribadi mereka.
Prinsip “musyawarah” dalam Islam berdasarkan kepada nilai-nilai kebenaran dan berlandaskan kepada iman. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah akan diikuti dengan prinsip tawakal kepada Allah SWT dengan harapan keputusan tersebut mendatangkan manfaat bagi bangsa dan negaranya. Firman Allah: …dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. Ali Imran/3: 159).

Karena esensi demokrasi memiliki persamaan dengan musyawarah, maka umat Islam pun banyak yang dapat menerima konsep demokrasi. Hanya saja demokrasi tersebut tetap berlandaskan kepada nilai-nilai kebenaran. Demokrasi yang diterima umat Islam bukanlah bebas berbuat tanpa nilai. Demokrasi bukan bersikap apriori terhadap kejahatan yang terjadi di sekelilingnya. Demokrasi juga bukan bersikap semena-mena terhadap orang yang melakukan kesalahan. Demokrasi tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, perdamaian, dan kebaikan. Tegasnya, demokrasi yang dapat diterima tidak dipertentangkan dengan prinsip-prinsip kebenaran yang lain. Dengan demikian, sikap demokratis yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan adalah suatu kekeliriuan.

Islam dan Teologi Anti-Kekerasan
Selain dari pemahaman yang salah terhadap demokrasi, pemahaman yang kurang tepat terhadap ajaran agama juga bisa menimbulkan kekerasan. Akibatnya umat Islam yang melakukan kekerasan akan memperkuat stigma orang-orang di luar Islam yang menyatakan bahwa Islam identik dengan kekerasan.

Ajaran Islam yang sering memicu tindak kekerasan umat adalah konsep jihad dan amar makruf nahi munkar. Dalam al-Qur’an sendiri ditemukan beberapa ayat yang menyatakan ”perang” terhadap orang-orang kafir dan perang terhadap perilaku kekafiran sebagai begian dari doktrin jihad. Sedikitnya ada 20 ayat yang sering dijadikan landasan untuk mengangkat senjata atau berperang bagi seorang muslim. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat dalam Surat: Al-Baqarah/2: 190-193, 216, 224, Ali Imran/3: 157-158, 169, 195, An-Nisa/4: 101, 74-75, 89, 95, Al-Maidah/5: 36, 54, Al-Anfal/8: 12-17, 59-60, 65, At-Taubah/9: 5, 14, 29, Muhammad/47: 4, dan Ash-Shaff/61: 4.

Mestinya ayat tersebut tidak dipahami secara parsial dengan mengenyampingkan ayat-ayat lain. Dalam kondisi tertentu umat Islam memang harus berperang, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Tetapi peperangan itu bukan memaksa orang untuk masuk Islam, juga tidak memaksa orang mengikuti kebenaran yang kita yakini.

Setidaknya jihad dalam bentuk peperangan dapat dilakukan karena dua hal: pertama mempertahankan diri (self defense) jika diserang oleh umat lain. Hal ini dapat dilihat dalam surat at-Taubah ayat 13: Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman

Kedua, melawan terhadap tekanan (protection from oppression) yang dilakukan umat lain. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya untuk melindungi diri dari kejahatan-kejahatan pihak lain yang telah sengaja memusuhi dan menyerang umat Islam (baca surat al-Baqarah ayat 190-195).

Jadi, kekerasan dalam bentuk perang bukan dimulai oleh umat Islam sendiri. Begitu pula dalam sejarah perjungan nabi Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan lainnya bukanlah umat Islam yang mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya. Umat Islam justru diperintahkan untuk tetap berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada non-muslim yang dapat hidup rukun. Mengenai hal ini, Allah juga berfirman dalam surah Al Mumtahanah ayat 8 dan 9 ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari kampung-kampungmu sebab Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir kamu ,barangsiapa bersahabat dengan mereka maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

Selain dari pemahaman yang benar terhadap makna konsep perang dalam al-Qur’an, juga perlu dilakukan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang mengajarkan teologi anti-kekerasan. Dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 disebutkan bahwa nabi Muhammad SAW (baca: Islam) diutus untuk rahmat bagi segenap alam (rahmatan lil-’alamin). Salah satu makna rahmat itu adalah kebaikan atau kedamaian. Artinya kehadiran Islam di muka bumi ini untuk kebaikan dan kedamaian alam ini. Jadi Islam sangat menyayangi alam sekitarnya. Jangankan kepada manusia, kepada binatang pun Islam mengajarkan tidak memperlakukannya secara kasar. Jika ingin menyembelih hewan, maka sembelihlah dengan pisau yang tajam; jika ingin memeliharanya, maka peliharalah dengan memenuhi hak-haknya; jika ingin mengendarainya, maka tunggangilah dengan cara yang baik, begitu seterusnya.
Al-Qur’an juga mengajarkan agar tidak melakukan pengrusakan di muka bumi. Firman-Nya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-A’raf/7: 56). Oleh karena itu jangan melakukan kekerasan, apalagi dalam bentuk pengrusakan bangunan, membakar kendaraan, dan aksi-aksi kekerasan dan pengrusakan lainnya.

Al-Qur’an juga tidak membenarkan berkata-kata kasar, akan tetapi berkatalah dengan lemah lembut, termasuk dalam mengajak orang untuk melakukan kebaikan. Perhatikanlah firman Allah: ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.” (Qs. Ali Imran/3: 159).

Oleh karena itu, jika menyampaikan aspirasi janganlah berkata-kata kasar, kotor, dan penuh kebencian dan dendam. Sebaliknya sampaikanlah dengan lemah lembut. Lemah lembut bukan berarti takut; anti kekerasan bukan berati lemah. Kemaksiatan memang harus dilawan, bukan dengan cara kekerasan, tetapi dengan cara yang ”tegas”. Hal inilah yang dikenal dalam konsep amar ma’ruf nahi munkar.

Akan tetapi konsep amar ma’ruf nahi munkar juga bisa mendatangkan pemahaman keliru sehingga mengidentikkannya dengan kekerasan. Hadis yang terkenal mengenai nahi munkar adalah: Man ra-a minkum munkaran falyughaiyirhu biyadih, faman lam yastathi’ fabilisanih, faman lam yastathi’ fabiqalbih, wahua adh’aful iman. Artinya: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka tegahlah dengan tangan, kalau ia tidak sanggup (berbuat demikian), maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya, dan kalau tidak sanggup (pula), maka hendaklah ia melakukan dengan hatinya (mendo’akan), yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (H.R. Ahad bin Hanbal, Muslim dan Ashab as-Sunan (para ahli hadis penyusun kitab hadis Sunan).

Jika hadis ini dipahami secara tekstual, maka cara nahi mungkar yang utama adalah dengan cara kekerasan, yaitu dengan tangan. Tetapi tidak semua hadis, termasuk ayat, dapat dipahami secara tekstual. Adakalanya yang tertulis mesti dipahami secara kontekstual. Mencegah dengan tangan tersebut bukanlah dimaknai dengan kekerasan, tetapi dengan kekuasaan. Artinya kita harus mencegah kemungkaran dengan kekuasaan yang kita miliki, seorang pemimpin harus mencegah bawahannya dari perilaku kemungkaran, sebab dia berkuasa atas bawahannya; orang tua harus mencegah anaknya dari kemungkaran, sebab orang tua juga berkuasa atas anaknya; seorang suami juga mesti mencegah istrinya berbuat kemungkaran sebab suami berkuasa atas istrinya; begitu seterusnya.

Oleh karena itu, umat Islam harus memahami ajaran Islam itu sendiri secara utuh (komprehensif), jangan sepenggal-penggal (parsial). Berusahalah untuk menebar kebaikan di muka bumi, hindarkan kekerasan, mulai dari cara berbicara yang lemah lembut dan bertindak secara adil di lingkungan terkecil seperti keluarga dan di tempat kerja. Bicara lemah lembut berarti bicara yang tidak menimbulkan kebencian dan dendam, tetapi menyentuh hati orang lain agar sadar dan kembali kepada jalan yang benar. Bertindak adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Boleh berperang jika diserang, melawan jika ditindas, tetapi tetap mengedepankan prinsip kasih sayang dan perdamaian. Artinya perlawanan yang dilakukan semata-mata untuk menegakkan prinsip keadilan dan kedamaian alam sekitar.

Semoga kita senantiasa memperoleh hidayah dari Allah Yang Maha Rahman lagi Rahim.
Ingatlah, rahmat (kasih sayang) Allah jauh lebih luas dari pada murka-Nya. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Islam Dihina, Islam Berjaya

Oleh: Muhammad Kosim, LA, MA
(Guru PAI SMP Negeri 8 Padang)

Upaya mendiskritkan umat Islam seakan tiada henti. Tanggal 28 Maret lalu, Film dokumenter ”Fitna” karya seorang anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, telah ditayangkan perdana di internet. Sontak saja, film ini membuat umat Islam berang karena isi film tersebut menggambarkan sosok Islam sebagai agama teroris yang mendalangi banyak kekerasan di dunia, termasuk peristiwa penabrakan pesawat oleh teroris pada menara kembar WTC di New York, 11 September 2001 silam. Sebelumnya, penghinaan terhadap umat Islam juga dilakukan melalui penerbitan 12 karikatur nabi Muhammad di harian Jylliand-Posten Denmark pada tanggal 30 September 2006. Kemudian pada tanggal 13 Februari 2008, karikatur nabi juga diterbitkan pada tujuh media massa di Jerman. Bahkan di kota Padang sendiri, pada tanggal 30 Maret 2008 ditemukan komik yang isinya juga melecehkan Islam. Komik tersebut ditemukan di Hotel berbintang Jalan Bundo Kanduang Padang.

Fenomena ini jelas mengganggu kerukunan antar agama. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa konflik antar agama telah banyak merenggut korban jiwa. Terutama umat Islam, citra negatif yang dilontarkan orang-orang tertentu yang notabene-nya berasal dari ”Barat” seakan memaksa umat Islam melakukan anarkis sebagai bentuk protes terhadap penghinaan demi penghinaan tersebut.

Tampaknya, penghinaan yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu mengandung unsur provokasi yang sengaja direkayasa agar umat Islam bereaksi dan cenderung anarkis. Jika reaksi umat Islam bersifat anarkis benar-benar terjadi, maka provokasi yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab tersebut jelas akan berhasil. Keberhasilan ini pada gilirannya akan memperkuat citra negatif ”Islam sebagai agama teroris”.

Oleh karena itu, umat Islam mesti mencermati berbagai penghinaan yang dilontarkan dengan tidak terprovokasi bertindak anarkis. Umat Islam mesti menyadari bahwa Islam agama yang cinta kasih sayang dan penebar rahmat bagi sekalian alam. Allah SWT berfirman: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.s. al-Anbiya’ ayat 107).

Hal ini terbukti dari ajaran Islam itu sendiri. Ketika seseorang tidak bisa berbuat baik kepada orang lain, maka kehinaan akan ditimpakan kepadanya. Firman-Nya: Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali Allah (hablun minallah) dan tali (perjanjian) dengan manusia (hablun minannas), dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan...(Q.s. Ali Imran/3: 112). Hablun minnas pada ayat di atas pada hakikatnya mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik kepada sesama manusia, terlepas apakah dia seaqidah, atau berbeda agama. Dalam hadis juga disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik manusia adalah orang yang banyak memberikan manfaat bagi orang lain, (khairunnas anfa’uhum linnas). Lagi-lagi dalam hadis ini yang disebut bukan berbuat baik kepada sesama muslim akan tetapi kepada sesama manusia.

Tidak hanya kepada manusia saja, binatang pun dihargai oleh umat Islam. Buktinya, umat Islam tidak boleh menyiksa binatang, contohnya pada saat menyembelih hewan dilarang menggunakan alat yang tumpul sehingga menyiksanya. Bahkan dalam peperangan yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat pada masa sesudahnya, sebelum perang biasanya panglima perang mengingatkan kepada para tentaranya agar tidak membunuh binatang, dan merusah tumbuh-tumbuhan ketika dalam peperangan tersebut. Demikianlah sesungguhnya umat Islam, cinta kasih sayang, menebar rahmat ke sekalian alam.

Dengan begitu, sangat keliru jika Geert Wilders dalam film dokumenternya ”Fitna” menggambarkan umat Islam benci dan memerangi orang-orang non-muslim. Jika pun ada perintah untuk memerangi orang kafir, kafir yang dimaksud bukanlah setiap orang yang tidak beragama Islam. Dalam konsep Islam, kafir tersebut dipahami dua golongan, yaitu kafir zimmy dan kafir harby. Kafir zimmy adalah orang-orang yang tidak beragama Islam, tetapi mereka tidak mengganggu umat Islam. Kelompok ini sangat dihargai dan dihormati oleh umat Islam.

Bahkan Rasulullah SAW ketika memimpin Yatsrib merumuskan ”piagam madinah” yang pada dasarnya untuk melindungi dan memenuhi kepentingan orang-orang non-muslim yang ketika itu di bawah kekuasaan umat Islam. Dengan keteladanan dan kepemimpinan yang adil, Rasulullah berhasil membentuk masyarakat yang berperadaban. Masyarakat yang ia pimpin termasuk masyarakat yang pluralistik sebab berasal dari suku dan kepercayaan yang beragam, akan tetapi mereka dapat berinteraksi secara harmonis. Dalam konteks keduniawian, sesama mereka saling bekerja sama. Namun dalam soal aqidah, umat Islam berprinsip lakum di nukum wa liyadin, (untuk kamu agamamu dan bagiku agamaku).

Sementara kelompok kafir harby adalah golongan non-muslim yang mengganggu umat Islam. Kelompok inilah yang diperangi oleh nabi dan para sahabat, sehingga dikenal beberapa peperangan, seperti perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, dan sebagainya. Peperangan ini bukan didasari oleh rasa benci terhadap mereka yang tidak mau memeluk agama Islam, tetapi peperangan ini semata-mata dilakukan untuk membela diri, agama, dan harta umat Islam yang ketika itu diancam, dicerca, bahkan diserang oleh kelompok kafir harbi tersebut.
Kini, kedua golongan kafir itu memang masih ada, termasuk kafir harbi. Orang-orang yang menghina umat Islam melalui karya seni seperti karikatur nabi, atau melalui film fitna di atas merupakan golongan kafir harbi yang jelas-jelas mengganggu umat dan kerukunan antar agama. Dampaknya tidak hanya kepada umat Islam saja, akan tetapi agama lain yang menginginkan kedamaian pun niscaya merasa terganggu.

Hanya saja, menghadapi kelompok ini sulit rasanya untuk angkat senjata lalu melakukan peperangan fisik dengan mereka. Betapa tidak, untuk mempersatukan visi umat Islam saja amat sulit. Perhatikanlah nasib saudara sesama muslim di Palestina, hak-hak mereka jelas-jelas dirampas, peperangan yang berkepanjangan telah menewaskan para ayah, anak, bahkan kaum perempuan. Tetapi siapa di antara umat Islam yang siap membantu dan peduli terhadap nasib mereka?

Jangankan berperang, untuk mempengaruhi kebijakan PBB saja umat Islam kurang berkuku. Agaknya posisi umat Islam secara global masih terbelakang sehingga ketika menghadapi hinaan dan serangan, orang-orang yang memusuhi Islam tidak jera dan tidak berhenti.
Untuk menghadapi semua itu, jalan yang terbaik adalah umat Islam harus bangkit! Paling tidak, umat Islam harus mampu berdiri sejajar dengan negara-negara maju. Jika umat Islam memiliki power, maka orang-orang kafir yang memusuhi Islam tidak akan berkutik. Seperti halnya yang terjadi pada masa nabi, ketika nabi Muhammad menguasai madinah secara politik, orang-orang kafir yang dulunya memusuhi Islam tidak lagi berani mengganggu umat Islam. Orang-orang non-muslim lainnya tidak merasa tertekan, malah merasa aman dan terlindungi dengan kepemimpinan nabi Muhammad yang menegakkan nilai-nilai keislaman.

Lalu, bagaimana caranya umat Islam bisa bangkit? Kebangkitan Islam tidak mesti menyatukan seluruh benua lalu menguasainya secara politik. Akan tetapi, cara yang paling efektif untuk kebangkitan Islam adalah dengan menguasai ilmu pengetahuan. Sebab, keterbelakangan umat Islam saat ini turut sangat ditentukan oleh lemahnya penguasaan ilmu pengetahuan umat Islam jika dibandingkan dengan non-muslim, terutama yang berkenaan dengan sains, teknologi informasi, pertahanan keamanan, hingga kepada perekonomian umat.

Generasi muslim mesti berilmu yang didasari oleh motivasi iman. Artinya, ilmu yang mereka tuntut dimotivasi oleh kecintaan mereka kepada Islam. Hasilnya, mereka akan memanfaatkan ilmunya untuk kemajuan umat Islam. Jika umat Islam menguasai ilmu pengetahuan, dunia pun akan digenggam.

Oleh karena itu, berbagai penghinaan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam hendaknya menjadi cambuk untuk umat Islam sendiri agar segera bangkit dari tidurnya yang cukup panjang. Umat Islam hendaknya tidak terjebak dalam romantisme sejarah yang penuh dengan kedamaian dan kemajuan. Umat mesti menatap hari ini dan ke depan.

Hal yang terpenting lagi, meskipun Islam dihina, tidak akan membuat Islam ditinggalkan oleh orang lain. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa ketika Islam dihina, orang lain semakin tertarik untuk mengetahui Islam yang sesungguhnya. Hanya saja, mampukah umat Islam menampilkan Islam yang sesungguhnya melalui sikap dan tindakan sehari-hari sesuai dengan tuntunan Islam itu sendiri?Reaksi keras berupa kutukan dan kebencian terhadap orang-orang yang sengaja menghina umat Islam adalah sesuatu yang wajar. Akan tetapi sangat tidak wajar jika umat Islam terprovokasi dengan melakukan tindakan-tindakan anarkisme. Umat Islam mesti arif dan bijakasana menghadapi fenomena di atas. Jadikanlah hinaan tersebut sebagai momen untuk membangkitkan semangat umat agar bangkit dengan bertindak sesuai dengan tuntunan al-Qur’an sehingga Islam akan tetap berjaya di dunia. Semua itu dimulai dari upaya diri untuk belajar dan terus belajar membaca, memahami, dan mengamalkan al-Qur’an. Salah satu bentuk pengamalan tersebut adalah menguasai ilmu pengetahuan yang berlandaskan iman. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Kamis, Juni 05, 2008

Tanggungjawab Guru dalam Mendidik Akhlak Siswa

Oleh: Muhammad Kosim LA

Salah satu persoalan bangsa yang krusial dewasa ini adalah persoalan akhlak. Membudayanya KKN baik di kalangan birokrat maupun masyarakat bawah, menjamurnya media pornografi dan pornoaksi, konflik SARA yang mengancam disentegrasi bangsa, serta kasus illegal logging dan pekerjaan ilegal lainnya adalah sekelumit dari persoalan akhlak bangsa yang sedang dihadapi oleh negara yang sudah "merdeka" ini. Banyak kalangan yang menilai bahwa munculnya perilaku tersebut merupakan hasil dari pendidikan masa lalu. Di bidang pendidikan sendiri, tak jarang guru Agamalah yang dikambinghitamkan, sebab materi yang diajarkannya banyak menyangkut tentang akhlak.

Pendidikan memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian setiap manusia. Pendidikan merupakan proses pengembangan potensi peserta didik sehingga menjadi pribadi yang paripurna (insan kamil). Salah satu indikator insan kamil tersebut adalah setiap peserta didik melahirkan akhlakul karimah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa ada tiga lembaga pendidikan yang turut berperan dalam mengembangkan potensi tersebut, yaitu pendidikan formal, informal, dan non formal, masing-masing diwakili oleh sekolah, keluarga, dan lingkungan atau masyarakat. Dengan demikian sekolah sebagai lembaga pendidikan formal turut bertanggung jawab dalam mendidik akhlak setiap peserta didiknya. Itu sebabnya, ketika muncul perilaku negatif (akhlak mazmumah) di tengah-tengah masyarakat, maka salah satu factor yang disorot adalah bidang pendidikan, disamping factor-faktor lainnya.

Tetapi tidaklah tepat jika dikatakan bahwa tanggungjawab mendidik akhlak siswa hanyalah tugas guru agama. Meskipun prinsip-prinsip dasar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu akidah (keimanan), syari'ah (ibadah), dan ihsan (akhlak), bukan berarti pendidikan akhlak hanya menjadi tugas guru agama semata, melainkan tugas semua guru.

Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam Perspektif pendidikan Islam, guru disebut sebagai abu al-ruh, yaitu orang tua spiritual. Artinya setiap guru, khususnya yang beragama Islam—terlepas apakah dia guru bidang studi agama atau tidak—bertugas dan memiliki tanggungjaab dalam membimbing dan mendidik dimensi spiritual peserta didik sehingga melahirkan akhlakul karimah. Guru membawa misi penyempurnaan akhlak, sebagaimana misi diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Nabi sendiri dengan tegas pernah bersabda: Innama buitstu liutammima makaarima al-akhlaq, artinya sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak (manusia). Lantaran itu, tidak salah jika Ahmad Tafsir mengatakan bahwa posisi guru setingkat di bawah Nabi, sebagaimana yang ia pahami dalam sabda Nabi, al-Ulama'u waratsatu al-Anbiya', (Ulama [menurutnya termasuk guru] adalah pewaris para nabi).

Guru dalam pemahaman seperti ini tidak hanya dibatasi pada guru yang mengajarkan bidang studi keagamaan (keislaman) semata. Sebab, setiap ilmu yang dimiliki oleh setiap guru, baik di bidang sains, sosial dan lainnya pada hakikatnya bersumber dari Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Perhatikanlah salah satu firman-Nya: La 'ilmalana illa ma 'allamtana, Tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang diajarkan (Allah) kepada kami.

Karena hakikat ilmu hanya berasal dari Allah, maka setiap ilmu yang adiajarkan mesti melahirkan akhlakul karimah. Dengan demikian setiap ilmu membawa misi pembinaan akhlak, akhlak kepada khaliq maupun akhlak kepada makhluk secara mulia dan terpuji.

Amanah UUD 1945 dan UU Sisdiknas
Selain dari tugas dan tanggungjawab guru dalam perspektif pendidikan Islam, Undang-undang yang berlaku di Indonesia sebagai landasan yuridis formil dalam segala aspek kehidupan bangsa, termasuk aspek pendidikan, secara implisit juga mengamanahkan kepada guru untuk mendidik akhlak peserta didik. Dalam UUD 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (3) termaktub: "Pemerintah mengusahakan dengan menyelenggaraan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang."

Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa akhlak mulia menjadi salah satu indikator utama, disamping iman dan takwa dalam mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 itu sendiri. Lebih lanjut amanah UUD 1945 itu dituangkan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Sisdiknas, pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Lagi-lagi dalam ini ditegaskan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mendidik akhlak mulia.

Karena mendidik akhlak mulia menjadi salah satu tujuan pendidikan nasional, maka semua guru sebagai pendidik mesti mengarahkan proses pembelajaran yang dilakukannya ke tujuan pendidikan yang tertinggi dalam Sisdiknas di atas. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 6 bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…".

Berdasarkan dua pandangan di atas—guru dalam perspektif Islam dan amanah UUD 1945—maka setiap guru dituntut untuk berperan aktif dalam mendidik setiap akhlak siswanya. Setidaknya akhlak itu berkenaan dengan mata pelajaran yang diasuh oleh guru tersebut, sehingga guru agama tidak lagi dikambinghitamkan. Misalnya, ketika seorang anak—yang juga siswa—diberikan orangtuanya uang sebesar Rp10.000,00 untuk membeli seliter beras seharga Rp8.000,00 si anak hanya mengembalikan uang Rp1000,00. Dalam kasus ini, yang dipersoalkan bukan guru agama saja, tetapi yang lebih dipersoalakan adalah guru matematika, sebab 10.000 – 8.000 = 2.000, lalu kenapa si anak hanya mengembalikan Rp1000,00?
Jadi, guru matematika bertanggungjawab dalam mendidik akhlak siswanya agar tidak curang dalam takaran; guru bahasa bertanggungjawab mendidik akhlak siswanya dalam berbicara, sehingga tidak mengucapkan kata-kata kotor (mencarut); guru IPA bertanggungjawab mendidik akhlak siswa agar tidak melakukan pencemaran terhadap alam; demikian juga untuk guru-guru bidang studi lainnya akan bertanggungjawab dalam mendidik akhlak peserta didiknya, setidaknya yang berhubungan dengan bidang studi yang diasuhnya.

Untuk itu setiap guru diharapkan mampu melakukan pendekatan keagamaan dan pendekatan integral—dalam konteks keagamaan—ketika melakukan proses pembelajaran kepada siswanya, khususnya guru yang beragama Islam berhadapan dengan peserta didik yang beragama Islam. Artinya setiap materi yang diajarkan dikaitkan dengan pemahaman agama. Sebab secara garis besar, al-Qur'an telah memberi kerangka dasar untuk seluruh bidang ilmu pengetahuan. Itu sebabnya para ilmuan muslim—baik di ilmu bidang keislaman maupun ilmu bidang umum—banyak yang lahir di masa kejayaan Islam pada masa pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah. Keberhasilan itu tentunya tidak terlepas dari upaya mereka dalam mengintegrasikan antara ilmu umum dengan ilmu agama.

Ini bisa dilakukan mengingat setiap guru juga memiliki pemahaman keagamaan, sebab ia telah belajar bidang studi Pendidikan Agama Islam di setiap jenjang pendidikan yang pernah ia lalui. Kemudian hal ini juga sangat relevan dilakukan oleh lembaga pendidikan yang ada di Sumatera Barat, mengingat penduduk Sumatera Barat mayoritas muslim. Terlebih lagi di daerah ini dikenal falsah Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah. Kemudian kebijakan pemerintah di tingkat kota/kabupaten pada umumnya memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan akhlak ini. Seperti halnya pemerintah kota Padang, kabupaten Pasaman, Solok, Bukittinggi, Padangpanjang, dan lainnya mengeluarkan kebijakan mewajibkan setiap siswa berpakain muslim.

Selain dari pendekatan keagamaan, setiap guru dituntut untuk melakukan metode keteladanan. Persoalan mendidik akhlak siswa akan sulit—kalau tidak mustahil—berhasil tanpa keteladanan. Keberhasilan Rasulullah sendiri dalam menjalankan misinya untuk menyempurnakan akhlak umatnya tidak terlepas dari metode keteladanan yang ia terapkan. Mengenai hal ini, Allah menerangkan lewat Firman-Nya: "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah (Muhammad) itu terdapat uswah (keteladanan) yang baik" (QS. Al-Ahzab: 21).

Implikasi dari keteladanan ini, maka guru yang beragama Islam tersebut harus konsisten dan komitmen (istiqomah) dalam menjalankan syari'at Islam. Tanpa menjalankan syari'at Islam secara benar, mustahil ia akan mampu melahirkan akhlak al-karimah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Umpamanya, ketika diberlakukan peraturan siswa wajib mengenakan pakaian muslim/muslimah, maka setiap guru juga dituntut untuk berpakaian muslim/muslimah dengan baik dan benar.Jika semua guru dalam suatu lembaga pendidikan (sekolah) secara bersama-sama melaksanakan tanggungjawabnya dalam mendidik akhlak siswa sesuai dengan ajaran Islam, maka out came dari sekolah tersebut akan melahirkan SDM yang berkualitas, baik kualitas intelektual, emosional maupun spiritual secara integral. Generasi inilah yang akan mampu melakukan perubahan dalam mewujudkan bangsa yang berperadaban, diberkahi dan senatiasa memperoleh ampunan dari Allah SWT. Semoga saja!

Baco Tokhus....

Kantin Kejujuran dan Pendidikan Antikorupsi

Oleh: Muhammad Kosim, LA, MA

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, berbagai inovasi sangat dibutuhkan. Pemerintah Kota Padang telah melakukan berbagai inovasi yang tidak hanya peningkatan kualitas akademik an sich, akan tetapi pembinaan akhlak pun mendapat perhatian. Salah satu di antaranya adalah dengan memberlakukan kantin kejujuran.


Di tingkat SMP, Kantin Kejujuran baru diberlakukan di SMP Negeri 8 Padang di mana pada tanggal 19 Januari 2008 yang lalu, Ketua Karang Taruna Nasional DR. Dodi Susanto, M.S.i mencanangkan program tersebut yang dihadiri oleh Kajati Sumbar dan Walikota Padang, Drs. Fauzi Bahar, M.Si. Dipilihnya SMP Negeri 8 Padang sebagai percontohan mengingat bahwa sekolah ini telah memprogramkan kantin kejujuran sejak setahun terakhir—meskipun belum maksimal—sebagai implementasi dari motto SMP Negeri 8 Padang: “Cerdas dan Berakhlak Mulia”. Pencanangan tersebut langsung disambut positif oleh Walikota Padang dan akan menerapkan kantin kejujuran di seluruh sekolah yang berada di kota Padang. Direncanakan launching program tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 Mei mendatang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.

Kantin kejujuran merupakan upaya untuk mendidik akhlak siswa agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual makanan kecil dan minuman. Kantin kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam kantin. Dalam kantin tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut.

Di kantin ini, kesadaran siswa sangat dituntut untuk berbelanja dengan membayar dan mengambil uang kembalian jika memang berlebih, tanpa harus diawasi oleh guru atau pegawai kantin. Salah satu motto yang ditanamkan di kantin ini adalah “Allah Melihat Malaikat Mencatat”.

Kantin Kejujuran merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pendidikan Antikorupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu problema bangsa yang hingga kini belum tuntas diselesaikan adalah praktik korupsi. Virus korupsi yang telah mewabah dan tumbuh subur di masa orde baru telah mengakibatkan kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan, bahkan menghambat kemajuan bangsa dan negara. Sangat sulit untuk memutus tali rantai virus tersebut. Meskipun demikian, putra-putri bangsa yang masih memegang idealisme yang tinggi dan merindukan keadilan di negeri ini akan tetap berupaya untuk memberangus virus korupsi.

Korupsi merupakan penyakit masyarakat, bukanlah budaya. Sebab, budaya bangsa Indonesia yang luhur tidak pernah mengajarkan apalagi melestarikan penyakit tersebut. Praktik korupsi juga ditolak oleh agama, terlepas agama apa pun dia.

Oleh karena itu, sifat jujur merupakan penangkal yang efektif dari virus korupsi. Bahkan dalam ajaran Islam, sifat jujur akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan-perbuatan yang bernilai. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke dalam al- jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat disisi Allah sebagai ash-shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan kedalam an- naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat disisi Allah sebagai pendusta." (HR. Al Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2606).

Tanpa kejujuran, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk manipulasi lainnya akan tetap subur di negeri ini. Untuk itu, kantin kejujuran yang merupakan pendidikan Antikorupsi perlu diterapkan sebagai upaya prepentif bagi generasi muda. Sebab, prevention is better than cure, pencegahan lebih baik dari pada mengobati.

Namun pelaksanaan kantin kejujuran akan sukses dengan dukungan bersama dari warga sekolah. Program tersebut tidak hanya keinginan dari atasan, akan tetapi kebijakan pemerintah justru patut diberikan apresiasi yang tinggi dengan mensukseskannya secara bersama. Bukan berarti program ini menambah beban bagi sekolah, terutama bagi guru. Justru melalui program ini mempermudah guru untuk mendidik akhlak siswa. Sebab, tugas guru tidak hanya melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru turut bertanggung jawab dalam membina kepribadian siswa. Hal ini sesuai dengan amanah UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di mana pada pasal 6 disebutkan bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…". Sementara salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mewujudkan peserta didik yang berakhlak mulia. Hal ini ditegaskan dalam UU Sisdiknas, pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Sekali lagi, tugas guru tidak hanya mengajarkan materi an sich, tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kepribadian peserta didik yang sempurna. Selain itu, orang tua juga perlu memberikan motivasi dan pembinaan anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat. Dengan adanya kerja sama yang baik antara orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat Insya’ Allah kita akan mampu mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia sebagai modal utama untuk membangun bangsa yang berperadaban tinggi bebas dari korupsi. Amin…

Baco Tokhus....

Mendidik Anak Shaleh Sejak Mencari Jodoh

Oleh: Muhammad Kosim LA, MA

DAN janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya perempuan buduk mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik walau ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman lebih baik daripada orang musyrik walau ia menarik hatimu, mereka mengajak ke nereka, sedang Allah SWT mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah: 221).

Ayat di atas menjelaskan bahwa umat yang beriman dilarang untuk menikah dengan orang-orang musyrik, baik bagi mukmin laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membentuk kaluarga bahagia perlu memilih dan menentukan pasangan sebelum menikah. Pilihan pasangan ini juga berkaitan dengan keturunan, yaitu sebagai langkah awal untuk melahirkan anak yang shaleh.

Anak yang shaleh merupakan dambaan setiap orang tua, yaitu anak yang beriman, tekun beribadah, patuh kepada orang tua, dan memiliki akhlakul karimah. Setidaknya kriteria ini ada pada Isma'il, putra Nabi Ibrahim as, dimana sebelumnya nabi Ibrahim bermohon: rabbana hablana minashshalihin, "Ya Allah anugerahkanlah kepada kami anak yang shaleh". Namun untuk melahirkan anak yang shaleh, diperlukan pendidikan dari orang tua. Sebagaimana ayat di atas, maka pendidikan itu dimulai sejak pencarian jodoh.

Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa untuk menikahi perempuan hendaklah mengutamakan agamanya. Sabdanya: Dinikahi perempuan itu karena empat hal, yaitu kekayaan, keturunan, kecantikan, agamanya, maka pilihlah yang mempunyai agama yang kuat, niscaya kamu akan beruntung. (HR. Bukhari dan Muslim).

Agama yang dikemukakan dalam hadis ini bukan hanya sekedar beragama dalam artian formal—sering disebut Islam KTPtetapi lebih dari itu ia komitmen dalam menjalankan ajaran agama tersebut sehingga melahirkan akhlak yang mulia. Dengan sikap keberagamaan yang taat seperti, diharapkan ia mampu melahirkan dan mendidik anak yang shaleh.

Namun, pola hidup materialisme dan pragmatisme kerap kali membuat seseorang mengutamakan kekayaan, keturunan dan kecantikan daripada agama dalam mencari dan menentukan pasangan hidupnya. Cara pandang seperti ini juga turut didorong oleh pandangan masyarakat, dimana ketika pertama kali mendengar seseorang akan menikah, yang ditanyakan adalah "Apa pekerjaannya?", "Siapa dan bagaimana keluarganya?", dan "orangnya cantik/gagah atau tidak?". Sebenarnya, pertanyaan seperti itu tidaklah salah, tetapi hendaknya yang utama dan pertama kali dipertanyakan adalah "Apakah dia taat beribadah atau tidak?", "Akhlaknya baik atau tidak?".

Dengan pasangan yang taat dan berakhlakul karimah besar kemungkinan keluarga ini mampu membina keluarga yang sakinah dan pada gilirannya akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sebaliknya, jika hanya harta dan kecantikan yang diutamakan, maka kelak si anak akan mengalami krisis keteladanan. Keluarga semacam ini diperkirakan tidak akan mampu mendidik anaknya menjadi anak yang shaleh.

Di samping itu, dalam proses pencarian jodoh, hendaknya dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syari'at Islam. Saat ini, para pemuda biasanya mencari jodoh menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, yang dikenal dengan istilah "pacaran". Ironisnya, pacaran dibarengi dengan motivasi nafsu syahwat. Awalnya saling kenal-menganal, lalu berikrar saling mencintai. Ikrar cinta tersebut selanjutnya dibuktikan dengan "kemesraan". Wujud dari kemesraan itu pun beragam, mulai dari duduk berduaan, pegangan tangan, berciuman, berpelukan, bahkan ada yang sampai melakukan hubungan haram, atau "zina".

Anehnya pacaran seperti ini menjadi tren bagi para remaja. Padahal Islam sangat melarang pacaran dalam pengertian di atas. Jangankan berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, apalagi berzina, duduk berduaan dengan lawan jenis yang tidak muhrim saja dilarang oleh Rasulullah SAW. Perhatikanlah sabdanya: Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, karena sesungguhnya pihak ketiga dari mereka adalah syetan, kecuali bila ia muhrimnya. (HR. Ahmad).

Dalam upaya pencarian jodoh, saling kenal-mengenal (ta'aruf) memang perlu dilakukan. Tetapi ta'aruf tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, yaitu tidak boleh berkhalwat, apalagi bersentuhan mesra sebagaimana yang dipraktekkan oleh orang yang berpacaran di atas. Jika selama ta'aruf tersebut telah membuat hati menjadi yakin bahwa dia pantas dijadikan pasangan hidup, maka hendaklah bermohon kepada Allah SWT agar semakin kuat keyakinan hatinya dengan melakukan shalat istigharah.

Jika telah kuat keyakinannya, maka lakukanlah peminangan (khitbah). Kemudian, bila telah ada kesepakatan antara dua belah pihak, lakukanlah pernihakahan secara sah sebagaimana yang diatur dalam ajaran Islam.

Dalam proses pernikahan, biasanya dilakukan walimah, atau pesta perkawinan, dengan mengundang karib-kerabat untuk memeriahkan pesta tersebut sebagai bentuk "syukuran". Setidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan walimah ini, yaitu: pertama, memberitahukan kepada khalayak bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri; kedua, mohon doa restu dari karib kerabat agar kedua mempelai mampu membentuk keluarga yang sakinah dan melahirkan anak-anak yang shaleh.

Karena walimah sebagai bentuk rasa syukur dan do'a, maka acara inimeskipun disesuaikan dengan tradisi atau adat setempatharuslah dilaksanakan secara hak tanpa mencampurnya dengan perbuatan maksiat. Acara walimah yang dibarengi dengan minuman khamar, permainan judi di malam harinya, dan musik seperti organ tunggal dengan artis yang bergoyang seraya memperlihatkan aurat, jelas termasuk perbuatan maksiat. Persoalannya, mungkinkah do'a orang-orang yang bermabukan, orang yang berjudi, dan orang yang berjoged seraya memperlihatkan auratnya di pesta tersebut akan dikabulkan oleh Allah SWT?

Dengan demikian, acara walimah juga mengandung nilai pendidikan untuk melahirkan anak yang shaleh. Di pihak mempelai sendiri, mesti menyadari bahwa acara tersebut mengandung nilai yang sakral. Mereka dituntut untuk berniat melaksanakan pernikahan lebih diutamakan untuk mengharap rahmat dan ridho Allah SWT. Jadi, ketika pelaksanaan pesta tersebut, kedua mempelai diharapkan tetap mengingat dan bersyukur kepada Allah SWT, bukan justru meninggalkan shalat dengan alasan "jika berwudhu' maka dikhawatirkan rusaklah tata rias wajahnya, dan hal ini kan hanya sekali seumur hidup?". Jika alasan ini yang dilakukan, mungkinkah ia akan melahirkan anak yang shaleh di kemudian hari? Mendidik anak yang shaleh sejak pencarian jodoh ini hendaknya menjadi perhatian, baik orang tua maupun para generasi muda sendiri yang sudah memiliki keinginan untuk menikah. Memang tidak ada jaminan ketika pasangan suami istri yang bertakwa akan melahirkan anak yang shaleh, sebab banyak factor yang melatar belakangi berhasil tidaknya mendidik anak yang shaleh. Namun keluarga memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan karakter setiap anak. Kalau kedua orangtuanya tidak beriman, perkembangan sikap keberagamaan si anak jelas akan terhambat. Untuk itu wujudkanlah keluarga yang beriman dengan terlebih dahulu mencari pasangan hidup yang beriman dengan harapan akan melahirkan anak yang beriman pula. Wallahu a'am.

Baco Tokhus....